1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jejak Abu-abu Kasad Baru, Andika Perkasa

22 November 2018

Pelantikan Andika Perkasa sebagai Kepala Staf Angkatan Darat memicu cibiran aktivis HAM. Selain dinilai banyak berutang karir pada sang mertua AM Hendropriyono, Andika juga disebut memiliki catatan pelanggaran HAM berat.

https://p.dw.com/p/38hOL
Ernennung von Andika Perkasa als Chef Generalstabes der indonesischen Landstreitkräfte durch Präsident Joko Widodo in Jakarta
Foto: Rusman/Biro Pers Setpres

Empat tahun silam Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut Presiden Joko Widodo "mulai pamrih" dengan mengangkat kerabat salah seorang anggota tim suksesnya sebagai Komandan Pasukan Pengaman Presiden. Kini sang presiden menghadapi hujatan serupa.

Kerabat yang dimaksud adalah Andika Perkasa, menantu AM Hendropriyono, yang kini dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD).

Baca juga:Amnesty: Polri dan TNI Bunuh 95 Warga Papua Secara "Ilegal" 

Pria kelahiran 21 Desember 1964 itu mencatat karir cemerlang selama di TNI Angkatan Darat. Andika adalah lulusan Akademi Militer angkatan 1987 pertama yang menyandang pangkat Mayor Jendral. Setelah menjabat Danpaspampres, dia berturut-turut diangkat menjadi panglima daerah militer Tanjungpura dan panglima komando strategis angkatan darat pada pertengahan 2018 silam.

Hubungan kekerabatan dengan AM Hendropriyono acap membayangi karir Andika.

Pada 2005 silam, editor The Washington Post, Dana Priest, melaporkan tentang program dinas rahasia AS, CIA, untuk mengamankan kerjasama dengan berbagai dinas intelijen di berbagai negara dalam perang melawan teror, termasuk dengan Badan Intelijen Negara (BIN)

Saat itu Hendroprioyono sebagai kepala BIN disebut mengajukan permintaan spesial kepada George Tennet, Direktur CIA, yakni menyediakan modal awal untuk pembangunan sekolah intelijen di Batam dan menjamin seorang kerabatnya mendapat tempat di universitas terkemuka AS.

Baca juga: Amnesty Desak Polisi Usut Tuntas Kasus Deiyai

"Ketika nilainya menjadi hambatan, Direktur CIA mengatur agar dia bisa masuk ke National War College di Fort McNair, tutur empat sumber," demikian tulis Priest dalam laporan yang memenangkan hadiah Pulitzer tersebut. Berbagai pihak berspekulasi Andika Perkasa yang lulus dari NWC pada 2004 merupakan kerabat yang dimaksud.

Buah kerjasama itu adalah penangkapan Omar al-Faruq, tangan kanan Osama Bin Laden, di Bogor yang dipimpin Andika pada 2002 lalu. Uniknya penangkapan tersebut diperintahkan oleh BIN yang notabene tidak memiliki kewenangan menggerakkan pasukan TNI.

Namun jejak abu-abu Andika Perkasa terutama terekam pada kasus pembunuhan tokoh Papua Barat, Theys Eulay. Dia meregang nyawa usai menghadiri undangan peringatan Hari Pahlawan di markas Kopassus di Jayapura. Saat itu empat perwira dan tiga serdadu Kopassus diadili lantaran kasus tersebut, Andika bukan salah seorangnya.

Surat yang dikirim oleh Agus Zihof, ayah seorang terdakwa, Kapten Inf. Rionardo, menyeret nama sang mantu ke pusaran hitam pelanggaran HAM di Papua. Surat Agus kepada Kasad Ryamizard Ryacudu itu mengisahkan betapa anaknya dipaksa mengakui pembunuhan Theys oleh seorang yang bernama Mayor Andika.

Jika bersedia, Rionardo, kata sang ayah, dijanjikan karir cemerlang di Badan Intelijen Negara. "Andika menjanjikan anak saya posisi yang baik di BIN karena ayahnya memegang jabatan tinggi di sana," tulis Agus dalam surat yang juga dibocorkan ke berbagai media.

Meski demikian tim penyelidik khusus yang dibentuk untuk mengungkap dalang pembunuhan Theys Eulay menolak untuk memeriksa Andika. "Tapi kalau kita tarik berbagai titik dan cek latar belakang pribadinya sebagai menantu Hendropriyono, memang sulit membantah bahwa Andika bermasalah dalam catatan Hak Asasi Manusia," kata Direktur Riset Setara Institute, Halili, kepada Deutsche Welle.

Sebab itu pula Presiden Joko Widodo dianggap tidak memiliki "keberpihakan yang jelas kepada aspirasi publik mengenai catatan pelanggaran HAM," kata Halili lagi. "Begitu banyak jendral yang bermasalah tapi diangkat oleh pak Jokowi," imbuhnya. "Dan pengangkatan Andika ini hanya menegaskan saja."

Sebab itu pula Setara Institute menyangsikan Jokowi akan mampu menuntaskan kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua Barat. "Ada begitu banyak kejahatan HAM masa lalu yang tidak ditanggapi secara proporsional oleh presiden, antara lain karena ada banyak beban sejarah di orang-orang di sekitar dia," kata Halili.

rzn/vlz (dari berbagai sumber)