1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Jadi Orang Tua Tunggal sekaligus Berkarir di Negeri Orang

Marjory Linardy
30 September 2022

Yang penting percaya pada diri sendiri. Tidak perlu dengarkan omongan orang lain yang meragukan kemampuan kita. Begitu kiat sukses Kartika Murdoch dalam hidup dan berkarir di Swiss.

https://p.dw.com/p/4HYls
Kartika Murdoch | indonesisch-stämmige Schweizerin
Foto: Privat

Kartika Cahya Apriani, yang panggilan akrabnya Tika, lahir dan besar di Jakarta. Ia sudah bermukim di Swiss sejak 2016. Sekarang ia sedang dalam proses pindahan ke Hamburg, Jerman. Di Swiss ia juga dikenal dengan nama belakang Murdoch, yang berasal dari nama keluarga mantan suaminya.

Ia berkuliah di Universitas Mercu Buana, di jurusan "Advertising & Marketing Communication", atau periklanan dan komunikasi pemasaran. Tapi titik berat yang ia pilih adalah komunikasi pemasaran. Ia lulus S1 tahun 2012. Beberapa hari setelahnya, ia langsung mulai bekerja di perusahaan perkapalan Swiss yaitu Mediterranean Shipping Company atau MSC.

Di hari pertama bekerja saja, ia sudah merasa terkagum-kagum dengan Swiss. Ia bercerita, dulu ia sering mendapat file untuk program Power Point, di mana terlihat berbagai gambar dari Swiss. Selain itu, kadang ada pegawai dari kantor pusat MSC di Jenewa yang datang untuk melakukan auditing di kantor MSC di Jakarta. Ditambah lagi, seorang saudara sepupunya tinggal di Swiss. Maka ia berjanji kepada diri sendiri, satu hari nanti ia akan pergi ke Swiss. Itulah alasan pertamanya mengapa ia beberapa tahun kemudian berimigrasi ke Swiss.

Di MSC ia bekerja selama dua tahun. Awalnya sebagai asisten pada bagian human resource department, atau bagian sumber daya manusia, kemudian beralih ke bagian lain.

Kartika Murdoch | indonesisch-stämmige Schweizerin
Bersama rekan-rekan di perusahaan tempat kerjanya di SwissFoto: Privat

Ketika sudah bekerja dua tahun di sana, ia meminta izin libur setidaknya 14 hari dari atasannya, untuk pergi ke Swiss. Tapi ia tidak mendapat izin, bahkan untuk 12 hari pun dia tidak mendapat izin. "Aku tuh bukan orang kaya. Aku tuh nabung, pengen ke Swiss. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja."

Setelah berhenti bekerja, ia pergi berlibur ke Swiss. "Kalau visa turis kan 90 hari. Jadi waktu itu aku ambil 86 hari." Oktober 2014 ia bertolak ke Swiss, dan itulah kali pertamanya Tika meletakkan kaki di negara di pegunungan Alpen itu. Pertengahan Januari 2015 ia kembali ke Jakarta. Ketika di Swiss, tepatnya di kota Zürich, di mana saudara sepupunya bermukim, ia bertemu dengan pria Swiss, yang sekarang sudah jadi mantan suaminya.

Selama setahun mereka sekadar berteman jarak jauh. Saat itu, Tika jadi manajer vila milik saudaranya di Bali, dan bekerja di sebuah perusahaan Jerman di Jakarta. Setelah beberapa bulan resmi berpacaran, mereka menikah, dan ia ikut suaminya ke Swiss. Dia mengaku, ketika pertama kali datang ke Swiss, dia memang hanya ingin jalan-jalan saja. Tidak pernah terpikir untuk menetap, dan tidak terpikir akan menikah dengan pria Swiss.

Kaget ketika kembali ke Swiss

Walaupun sebelumnya sudah pernah ke Swiss, dan sudah bertemu dengan pria yang kemudian jadi suaminya, Tika mengaku tetap kaget ketika kembali ke Swiss dengan suaminya. "Karena waktu tiga bulan liburan itu kan aku dalam holiday mood [suasanya hati saat liburan], ga untuk tinggal."

Kartika Murdoch | indonesisch-stämmige Schweizerin
Tika bersama putranyaFoto: Privat

Dia bercerita, ketika baru datang kembali di Swiss, dia mengalami culture shock, dan dia sedang hamil pula. "Bawaan orang hamil, pastinya beda kan?" Selain itu, kehamilannya juga tidak berjalan mudah. Ia kehilangan berat badan dan tidak bisa makan dengan baik. Jadi saat itu, ia juga belum terpikir untuk mencari pekerjaan. "Karena untuk bangun dari tempat tidur aja ga bisa," kata Tika.

Tapi ketika sedang hamil pun, ia sudah mulai mengambil kursus bahasa Jerman. Ketika di Indonesia dia juga sudah pernah kursus bahasa Jerman di Goethe Institut, tetapi masih belum cukup memadai.

Ketika anaknya telah lahir, ia ingin mulai mencari pekerjaan. Tetapi anaknya menderita gangguan kulit. "Jadi, it's a hard life juga," kata Tika. Apalagi, ia biasa tinggal di kota besar seperti Jakarta. Sedangkan mantan suaminya tinggal di desa sangat kecil di pegunungan. Ditambah lagi, sebagian besar warga desa itu, temasuk suaminya, orang kaya, karena punya perkebunan anggur sendiri. Jadi Tika mengalami syok. Mencari teman saja tidak mudah. "Mereka melihat aku, Asian, mereka tuh udah mikir yang macem-macem, kan?"

Tika mengungkap, ia tidak menyalahkan mereka. Mungkin jika ia tinggal di Zürich atau kota besar lainnya di Swiss, tidak ada masalah. "Cuman aku kan di desa, di pegunungan, dengan orang-orang yang masih belum tahu, kenapa ada orang Asia di sini." Akhirnya, sebelum anaknya berusia setahun, Tika berpisah dari suaminya, terutama karena masalah perbedaan budaya dan culture shock, yang sama-sama mereka derita.

Kartika Murdoch | indonesisch-stämmige Schweizerin
Tika (ketiga dari kiri) bersama Duta Besar Indonesia untuk Swiss, Bapak Muliaman Darmansyah Hadad (pertama dari kiri), dan istri Duta Besar Indonesia untuk Swiss (keempat dari kiri)Foto: Privat

Ketika itu, Tika mulai mencari pekerjaan, walaupun tidak mudah. Ia mulai dengan mengambil kursus terlebih dahulu. Walaupun banyak orang yang mengatakan, dia bekerja saja di Starbucks atau di kiosk. "Ga ada kerjaan yang buruk," kata Tika. Tapi ia ingin merasa senang dalam pekerjaannya. "Pasti aku ga akan merasa senang, kalau aku cleaning toilet di Starbucks." Apalagi hidup di negeri orang seperti di Swiss sudah cukup berat, kata Tika. Jadi dia lebih memilih kursus bahasa Jerman terlebih dahulu, sampai mumpuni, baru mulai mencari pekerjaan yang ia suka. Jadi ibaratnya sudah punya senjata untuk perang.

Jadi Tika mengikuti kursus bahasa Jerman hingga tingkat B2. Akhirnya tahun 2019 dia mulai mencari pekerjaan, dan mendapat yang ia suka, serta sesuai dengan latar belakangnya, yaitu komunikasi pemasaran. Memang bekerja di toko sangat berbeda dengan bekerja di bidang administrasi. Kalau bekerja di toko, orang berkomunikasi langsung dengan pelanggan, sedangkan di bidang administrasi, orang bekerja di belakang meja. Tapi dalam pekerjaannya itu, ia menggunakan keahliannya. Nanti setelah pindah ke Hamburg, ia akan berganti perusahaan, tetapi tetap di bidang retail.

Tantangan sebagai orang tua tunggal di negeri orang

Tatangan terbesar yang ia rasakan adalah bahasa Jerman. Ditambah lagi, bahasa Jerman yang digunakan di Swiss adalah Schweizerdeutsch, yaitu bahasa Jerman dialek Swiss, jadi bukan bahasa Jerman yang bisa dipelajari di Goethe Institut.

Tika bercerita, saat wawancara untuk mendapat pekerjaan, ia mengaku bahwa bahasa Jermannya tidak sempurna. Dia juga selalu membawa buku, di mana ia mencatat berbagai kata yang tidak dia kenal. Dengan begitu, dia menunjukkan bahwa dia selalu berusaha untuk belajar. Ia akhirnya diterima karena menunjukkan keinginan untuk mendapat pekerjaan itu. Awalnya dia hanya bekerja 40% saja. Tetapi terus bertambah, hingga akhirnya dia menjadi manajer toko. "Kalau ada pembeli datang, dan aku bener-bener ga ngerti dia ngomong apa, aku ga malu nanya ke temanku, 'Dia ngomong apaan, sih?'"

Karena Tika memiliki seorang anak, memadukan pekerjaan dan waktu bersama anaknya tentu juga tidak mudah. Ia bercerita, orang tua dari mantan suaminya dulu tinggal di daerah sama, tetapi mereka kemudian pindah ke negara lain, sehingga tidak bisa membantu Tika menjaga anak. Oleh sebab itu, dia berusaha mencari Tagesmutter, atau pengasuh, bagi anaknya saat dia bekerja. Ketika dia mulai bekerja, anaknya sudah berusia sekitar dua tahun.

Kartika Murdoch | indonesisch-stämmige Schweizerin
Bersama rekan-rekan di SwissFoto: Privat

Tika bercerita, ia berhubungan baik dengan orang tua dari mantan suaminya. Ia dulu juga diajar oleh orang tuanya, bahwa "mantan suami" memang ada, tapi "mantan orang tua" tidak ada. Jadi dia juga mengatakan kepada orang tua mantan suaminya, bahwa dia tetap anak mereka, dan bagi dia mereka juga tetap orang tuanya. Pada awalnya memang tidak baik, kata Tika, karena mereka sempat ribut. "Tapi sejalan dengan berjalannya waktu, kita baik banget bahkan," kata Tika sambil tertawa.

Dia menambahkan, karena sudah akan pindah ke Hamburg bulan depan, dia sudah berhenti menyewa apartemen sendiri, dan sekarang tinggal di rumah mantan suaminya. Selain itu, orang tua Tika baru saja berkunjung ke Swiss, dan mereka menginap di rumah itu pula. "Jadi kami tuh, walaupun bukan suami-istri, tetapi hubungan baik tetap dijaga."

Negeri orang yang “dingin”

Tika bercerita, di daerah tempat dia tinggal di Swiss, warga di kawasan itu terasa dingin. Sangat berbeda jika tinggal di Indonesia, di mana keluarga banyak dan teman juga banyak. Itu juga tantangan bagi dia, karena ketika datang dari Indonesia, dia hanya berdua dengan suaminya, tanpa teman sama sekali. Saudara sepupunya juga ada yang bermukim di Swiss, tetapi di kota Zürich, yang jaraknya sekitar dua jam dari rumahnya.

Sekarang, setelah tinggal beberapa tahun di daerah itu, dan anaknya pergi ke Kindergarten, atau Taman Kanak-Kanak di sana, Tika berusaha mendekatkan anaknya dengan teman-temannya. Kadang dia mengundang teman-teman anaknya untuk datang, misalnya untuk merayakan ulang tahun bersama.

Memang ada orang tua yang  awalnya mengatakan, anaknya akan datang. “Tapi di hari H-nya, selalu ada alesan,“ kata Tika, sehingga tidak datang. “Itu tantangan besar,“ ungkap Tika, “kebudayaan mereka tidak hangat seperti kebudayaan kita.“ Sebelum ada ketetapan jaga jarak dua meter akibat wabah Corona, orang Swiss sudah jaga jarak tiga meter. Begitu diungkap Tika sambil tertawa.

Dia bercerita juga, dia senang minum kopi di Starbucks. Memang tidak terlalu bagus, karena membuat dia tambah gemuk, begitu diakui Tika, tetapi dia suka minum kopi di sana, sementara di kota tempat dia tinggal, tidak ada Starbucks. “Adanya di Zürich,“ katanya lagi sambil tertawa.

Pindah ke negeri orang yang lain lagi

Ia bercerita, dia lebih suka tinggal di kota daripada di desa. Jika dia kembali ke Jakarta, dari mana dia berasal, mungkin perbedaannya terlalu besar, begitu pertimbangan Tika. Oleh sebab itu, dia akan pindah ke Hamburg.

Yang jadi pertimbangannya pula, kalau di Hamburg, jarak tempat tinggal antara anaknya, dan ayah anaknya tidak akan terlalu jauh. Selain itu, di Jerman tentu komunikasi masih menggunakan bahasa Jerman pula. Sehingga kemampuan berbahasa Jermannya tentu akan semakin baik lagi.

Lagi pula, Tika sudah mendapat pekerjaan baru di perusahaan lain. Memang dia tidak akan menjabat sebagai store manager lagi seperti di perusahaan tempat dia bekerja di Swiss, melainkan akan menjadi asisten store manager. Tapi dia percaya pada prinsip mengambil dua langkah ke belakang, untuk bisa melompat lebih jauh.

Kartika Murdoch | indonesisch-stämmige Schweizerin
Tika menemani putranya bermain di saljuFoto: Privat

Dia percaya, apa yang dia impikan akhirnya nanti akan jadi kenyataan. “Karena sekarang aku berada di Swiss aja, kan sesuatu yang aku visualize [bayangkan] dan menjadi kenyataan,” begitu dikemukakan Tika.

Ia mengemukakan pula, di Swiss memang ada kota besar juga, misalnya Zürich. Tetapi kota itu lebih merupakan kota perbankan, asuransi dan perhotelan. “Dan aku ga ada ketertarikan untuk bekerja di bidang itu.“

Ia mengungkap, ia senang bekerja di perusahaan perkapalan. Sekarang dia yakin, suatu hari nanti dia akan kembali bekerja di perusahaan perkapalan. Seperti halnya pekerjaannya yang pertama dulu, di Indonesia. “Karena di Hamburg tentu tempat yang tepat, ada DHL, Hapag-Lloyd, MSC,“ dijelaskan Tika, dan menambahkan, “Jadi ada peluang lebih besar.“

Tantangan yang sudah ia antisipasi sebelum pindah ke Hamburg adalah masalah cuaca. “Memang Swiss dingin, tetapi matahari masih bersinar. Sedangkan Hamburg lebih gloomy [muram],” kata Tika.

Ia bercerita, dari Swiss dia sudah belajar banyak. Yaitu, bagaimana caranya untuk mandiri, untuk puas dengan diri sendiri dan percaya pada diri sendiri, serta kemampuan yang dimiliki. Jadi pelajarannya, “Jangan dengerin omongan orang, dengerin kata hati, dan dengerin diri sendiri.“ (ml/hp)