1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikIsrael

Israel - Masyarakat yang Terpolarisasi

Kersten Knipp
Kersten Knipp
4 November 2022

Hasil pemilu di Israel menunjukkan bahwa masyarakatnya saat ini terpecah di antara dua kubu besar. Ada kekhawatiran, para politisi ultrakanan akan membatasi budaya demokrasi, kata editor DW Kersten Knipp.

https://p.dw.com/p/4J0ca
Benjamin Netanyahu
Benjamin NetanyahuFoto: Ilia Yefimovich/dpa/picture alliance

Kemungkinan, masyarakat Israel ke depan akan terpecah di antara dua kubu politik yang berseberangan: kubu liberal dan kubu ultra nasionalis, yang pertama, kubu yang berpikiran terbuka dan toleran, sementara satu lagi yang tidak mau menerima identitas lain, selain Yahudi.

Bahwa hal itu akan terjadi, sudah terlihat sejak kampanye pemilu digelar. Hasil pemilu terbaru pun menunjukkan, perbedaan antara kedua kubu politik di masyarakat Israel makin dalam.

"Jajak pendapat mengindikasikan, sedikitnya 10 persen warga Israel menyetujui satu partai, yang ingin mengusir 20 persen warga Israel keturunan Arab,” kata Gil Troy, komentator harian Jerusalem Post yang berhaluan kanan. Pandangan ini menunjukkan apa yang sedang terjadi di Israel: jurang makin dalam di tengah masyarakat yang sudah terpecah.

Memang banyak pengamat yakin, bahwa Partai Zionisme Agara pimpinan Bezalel Smotrich und Itamar Ben-Gvir, yang sering digambarkan sebagai partai ultra kanan, akan melanjutkan politik garis keras mereka, terutama ketika mereka akan terlibat dalam pemerintahan Benjamin Netanjahu.

Ketegangan politik luar negeri

Perpecahan dalam masyarakat Israel terjadi justru ketika Israel menghadapi situasi politik luar negeri yang kritis. Hubungan Israel dengan sebagian negara tetangga Arab tetap sulit, sekalipun apa yang disebut "Perjanjian Abraham” membuka hubungan baru dengan beberapa negara Arab seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, lalu Sudan dan Maroko. Semoga langkah ini bisa berlanjut dengan normalisasi hubungan yang lebih luas lagi.

Namun keberhasilan diplomasi yang dicapai belakangan ini masih menghadapi tantangan berat. Terutama dalam hubungan dengan musuh bebuyutan Iran, yang di negaranya sedang menghadapi kritik luas dari dalam negeri, namun lebih senang berbicara tentang "pemusnahan Israel” dan terus memperkuat persenjatannya. Upaya ini makin lantang dilakukan untuk mengalihkan perhatian dari kritik di dalam negeri, namun tampaknya tidak berhasil.

Ancaman lain muncul dari kelompok Hisbollah di Lebabon, yang sering disebut sebagai "kepanjangan tangan Iran” di kawasan. Kelompok ini menumpuk ribuan rudal dan menjadi ancaman serius di perbatasan utara Israel. Sekalipun baru-baru ini dicapai kesepakatan gas antara Lebabon dan Israel, ancaman ini tetap ada dalam jangka panjang.

Pendukung politisi ultrakanan Itamar Ben Gvir di Tel Aviv
Pendukung politisi ultrakanan Itamar Ben Gvir di Tel AvivFoto: Tania Kraemer/DW

Pergeseran diskursus politik?

Selain itu, kelompok Hamas dan Islam Jihad di di Jalur Gaza tetap menjadi ancaman yang sulit diperhitungkan. Dialog antara pemerintah Israel yang makin kanan dan kelompok Palestina di masa depan akan makin sulit.

Sementara kubu para pemukim ilegal Yahudi akan makin lantang menuntut peluasan kawasan permukiman. Bezalel Smotrich und Itamar Ben-Gvir tentu akan memanfaatkan isu ini. Juga tuntutan aneksasi kawasan Palestina yang diduduki akan makin kuat. Pakar politik Nir Zilber dari Israel Policy Forum memperkirakan, kedua politisi ultra kanan itu ingin menggiring politik Israel ke haluan yang lebih radikal. Antara lain dengan mendeklarasikan negara Israel sebagai negara agama.

Benjamin netanyahu sendiri tampaknya tidak perlu kahwatir lagi dengan beberapa proses pengusutan yang sedang berjalan terhadapnya. Jika dia menjadi Perdana Menteri lagi, jabatan itu akan menyelamatkan dirinya dari kejaran hukum. Untuk itu dia siap membangun aliansi dengan kubu ultrakanan. Dampak perkembangan dan polarisasi ini akan segera dirasakan oleh kubu moderat, baik di Israel maupun di Palestina. (hp/yf)