1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hasutan dan Kejahatan Islamofobia Meningkat Pesat di Eropa

6 September 2024

Islamisme radikal menawarkan umpan bagi kaum ekstrem kanan untuk menyebar kebencian terhadap minoritas muslim di Eropa. Dalam sejumlah kasus, hasutan online menjadi serangan fisik.

https://p.dw.com/p/4kJ39
Seorang perempuan muslim mendorong kereta bayi di Jerman
Foto ilustrasi perempuan muslim di JermanFoto: Caro/Hechtenberg/picture alliance

Ujaran kebencian terhadap kaum muslim dan warga berlatar migran meningkat tajam di Jerman setelah serangan pisau akhir Agustus lalu oleh seorang pencari suaka asal Suriah di Solingen. Dalam kejahatan yang kemudian diklaim oleh ISIS itu, pelaku membunuh tiga orang dan melukai delapan lainnya.

Sesaat sebelum pemilu negara bagian di Sachsen dan Thüringen, Minggu (1/9), partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman, AfD, menyerang kebijakan imigrasi pemerintah federal sebagai biang keladi di balik meningkatnya kriminalitas warga asing.

Alhasil, perolehan suara partai-partai koalisi pemerintah anjlok, sementara AfD dan partai populis kiri Aliansi Sahra Wagenknecht, BSW, bertengger di posisi teratas.

Seiring dengan insiden teror di Solingen dan pemilu di Jerman Timur, ujaran kebencian dan hasutan  terhadap minoritas muslim meningkat pesat. Fenomena ini tidak hanya menjamur di Jerman, namun juga di negara-negara Eropa lainnya dan, seperti di Southport di Inggris, telah menyebabkan kerusuhan rasial oleh kelompok ekstremis sayap kanan.

Islamofobia meningkat di seluruh Eropa

Di kota Toledo, Spanyol, kasus penikaman seorang bocah laki-laki berusia 11 tahun pada Agustus lalu memicu gelombang hasutan terhadap imigran muslim dari Afrika Utara. Padahal, pelakunya adalah seorang warga Spanyol berusia 20 tahun.

Pola penyebaran kampanye disinformasi terhadap Muslim dan migran di Eropa seringkali mengikuti pola tertentu, kata Lorena Martinez, kepala tim editorial Eropa di organisasi pengecekan fakta "Logically Facts" dalam sebuah wawancara dengan DW.

"Mereka memulai dengan berita terkini dan membombardir audiens dengan konten yang dirancang untuk mengarahkan mereka ke jalur spekulasi dengan kesimpulan yang tak terelakkan bahwa kaum muslim dan migran merupakan ancaman nyata bagi Eropa.”

Betapa kebencian di media sosial bisa berimbas ke kehidupan nyata, terlihat jelas di Southport, Inggris.

Setelah serangan pisau pada akhir Juli lalu yang menewaskan tiga remaja perempuan, spekulasi tersiar bahwa pelakunya adalah seorang migran Muslim. Berdasarkan informasi polisi, pelaku lahir di Cardiff, Wales, dari orang tua berkewarganegaraan Rwanda.

Laporan palsu tentang asal usul dan agama pelaku memicu kerusuhan serius yang dilakukan kelompok ekstremis sayap kanan di Inggris dan Irlandia Utara.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Dari dunia maya menjadi realita

Ekstremis sayap kanan, influencer, dan troll online semakin memicu kerusuhan dengan membagikan gambar yang terkadang dimanipulasi.

Salah satu unggahan tersebut, misalnya, mengklaim bahwa "lobi multikultural” telah menyebabkan petugas polisi mencium kaki para imam di London. Namun, setelah diperiksa lebih dekat, detail pada gambar mengungkap jejak teknologi kecerdasan buatan atau AI.

Meski demikian, banyak pengguna yang membagikan gambar tersebut. "Jika negara terus melindungi Islam dari warga negaranya dan bukannya melindungi warga negaranya dari Islamisme, akan ada kerusuhan dan kekerasan di seluruh Eropa,” tulis sebuah tweet di platform X dari sebuah akun di Jerman.

Beberapa tokoh sayap kanan terkenal juga menyerukan agar masyarakat bergabung dalam kerusuhan di Southport dan menyerang masjid. Angka resmi menunjukkan adanya peningkatan kejahatan Islamofobia.

Di Inggris, organisasi Tell Mama, yang mendokumentasikan insiden anti-Muslim di Inggris, mencatat peningkatan kejahatan anti-Muslim sebesar tujuh kali lipat antara tanggal 7 Oktober dan 7 Februari dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Hal serupa juga terjadi di Jerman. Pada tahun 2023, jumlah kasus kejahatan bermotifkan Islamofobia meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Hampir satu dari sepuluh kejahatan mengandung unsur kekerasan, menurut "Aliansi Melawan Islamofobia dan Muslimfobia” atau CLAIM Jerman.

Perkembangan serupa juga dapat diamati di Austria dan negara-negara Eropa lainnya.

X dan Telegram: Sarang kebencian dan agitasi

Gelombang kebencian terutama diamati meninkagt di platorm X dan Telegram. Perubahan kebijakan moderasi dan celotehan radikal multi-miliarder AS Elon Musk dinilai ikut mempermudah pengunggah hasutan.

Musk, misalnya, mengklaim bahwa konflik tidak bisa dihindari jika budaya-budaya yang saling bertentangan berusaha disatukan tanpa adanya asimilasi. Dia membagikan lusinan postingan dari influencer sayap kanan dengan 195,8 juta pengikutnya.

Platform seperti Telegram juga menawarkan ruang bagi agitator sayap kanan untuk menyebarkan kebencian dan ancaman. Setelah pembunuhan di Southport, puluhan ribu pengguna rajin berbagi konten dan komentar yang menyerukan kekerasan dan perundungan, termasuk serangan terhadap masjid.

Regulasi platform masih sulit dilakukan

Negara-negara Eropa telah lama berupaya mewajibkan platform media sosial untuk menindak ujaran kebencian, termasuk terhadap Muslim dan komunitas agama. Jerman sudah memiliki instrumen hukum dengan Undang-Undang Penegakan Jaringan, NetzDG. Pun Undang-Undang Layanan Digital, DSA, milik Uni Eropa, mewajibkan jejaring sosial memeriksa lebih dekat apa yang terjadi di platform mereka.

How do Germans feel about the Israel-Hamas war?

Setelah informasi palsu di internet memicu kerusuhan sayap kanan di Inggris, pemerintah Inggris juga mempertimbangkan untuk mengubah undang-undang keamanan online nasional. Berdasarkan UU yang berlaku saat ini, perusahaan hanya akan dikenakan denda jika mereka gagal mengendalikan konten ilegal seperti hasutan untuk melakukan kekerasan atau ujaran kebencian.

Perubahan yang diusulkan dapat memungkinkan perusahaan untuk dikenakan sanksi jika mereka menyebarkan atau mengizinkan konten yang "legal namun berbahaya” seperti disinformasi.

"Perusahaan-perusahaan ini pada dasarnya bisa bertindak seperti diktator jika mereka mau. Mereka beroperasi berdasarkan ideologi kekanak-kanakan yang salah memahami kebebasan berekspresi. Politik platform seperti ini jelas memperburuk proses ini,” kata Dr. Bharath Ganesh, peneliti studi media dan komunikasi politik di Universitas Amsterdam, mengatakan kepada DW melalui platform media sosial.

Namun begitu, penegakan hukum masih merupakan sebuah tantangan, kata Ganesh. Setidaknya, selama perusahaan menikmati kebebasan yang tinggi di negara asalnya seperti Amerika Serikat atau Cina.

(rzn/yf)