1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Iran dan Biaya Perang Melawan Israel

3 Oktober 2024

Sebelum eskalasi dengan Israel, Iran sebetulnya sudah menderita dampak inflasi tinggi, masalah pengangguran, dan krisis mata uang. Bisakah ekonominya bertahan di tengah konflik berkepanjangan?

https://p.dw.com/p/4lMUI
Ilustrasi Minyak Iran
Ekspor minyak menjaga perekonomian Iran tetap bertahanFoto: Maksym Yemelyanov/Zoonar/picture alliance

Eskalasi ketegangan yang sangat cepat antara Iran dan Israel, yang memuncak saat Teheran menembakkan sedikitnya 180 rudal ke Israel pada tanggal 1 Oktober lalu, membuat harga minyak global melonjak sekitar 5%, kenaikan terbesar dalam setahun.

Harga minyak mentah Brent kembali naik di hari berikutnya dan diperdagangkan di atas $75 (seiktar Rp1,15 juta) per barel, setelah Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bertekad akan membalas Teheran, yang semakin meningkatkan risiko eskalasi di wilayah yang bertanggung jawab atas sepertiga pasokan minyak dunia.

Eskalasi besar-besaran yang dipicu oleh Iran ini juga berisiko menyeret Amerika Serikat (AS) ke dalam konflik, tulis penyedia data Capital Economics dalam sebuah catatan kepada para investor pada hari di mana serangan itu terjadi. Hal itu berdampak pada harga minyak yang akan tetap menjadi "saluran transmisi utama bagi ekonomi global.”

"Iran menyumbang sekitar 4% dari produksi minyak global, tetapi pertimbangan penting adalah apakah Arab Saudi akan meningkatkan produksi jika pasokan Iran terganggu,” tulis Capital Economics. Kenaikan 5% pada harga minyak ini menambah sekitar 0,1% angka inflasi umum di negara-negara maju.

Analis berpendapat pasar belum sepenuhnya memperhitungkan risiko serangan itu terhadap fasilitas-fasilitas kilang minyak di Iran, atau bahkan gagasan bahwa Teheran mungkin akan mencoba memblokir Selat Hormuz, ancaman yang sering dilontarkan Iran, tanpa benar-benar terjadi. Jalur perairan sempit di mulut Teluk Persia ini menangani hampir 30% perdagangan minyak dunia.

Saad Rahim, kepala ekonom di perusahaan pemasok komoditas Trafigura Group mengatakan, tidak ada yang tahu seberapa jauh dampak dari ekskalasi ini akan meluas. "Apa reaksi saat ini dari Israel, apa reaksi balasan dari Iran, apakah pemain-pemain lain mulai terlibat?” tanyanya dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg TV.

Kapal tanker minyak Iran Teluk Persia
Kedalaman Selat Hormuz membuat kapal rentan terhadap ranjau, dan kedekatannya dengan Iran membuat kapal tanker rentan terhadap seranganFoto: picture-alliance/AP Photo

Minyak membuat ekonomi Iran tetap bertahan

Ekspor minyak adalah sumber pendapatan negara yang cukup penting bagi Iran. Meski ada sejumlah sanksi dari AS terhadap industri minyak negara ini, Iran terus menjual minyakya ke luar negeri, terutama ke Cina.

Pada Maret 2024, Menteri Perminyakan Iran Javad Owji menyebutkan, ekspor minyak Iran telah "menghasilkan lebih dari $35 miliar (sekitar Rp539 triliun)” pada 2023. Harian bisnis Inggris Financial Times mengutip pernyataan Owji yang mengatakan, meski musuh-musuh Iran ingin menghentikan ekspor negaranya itu, "saat ini, kami dapat mengekspor minyak ke mana pun yang kami inginkan, dan dengan diskon minimal.”

Analis sektor energi Vortexa juga melaporkan, dari Januari hingga Mei 2024 ada peningkatan penjualan lebih lanjut, dan bahkan memperkirakan Iran telah menjual rata-rata 1,56 juta barel per hari.

"Peningkatan produksi minyak mentah, permintaan yang lebih tinggi dari Cina, dan peningkatan besaran jaringan  armada gelapnya telah membantu memfasilitasi peningkatan ekspor minyak Iran,” tulis Vortexa dalam sebuah laporan pada Juni 2024.

Istilah "armada gelap” atau "armada bayangan” ini mengacu pada kapal-kapal terselubung yang menyelundupkan pasokan minyak, sehingga terhindar dari sanksi-sanksi. Menurut organisasi nirlaba yang berbasis di AS, "United Against Nuclear Iran”, armada bayangan Iran terdiri dari setidaknya 383 kapal. 

Menurut stasiun TV "Iran International" yang berbasis di London, rezim di Teheran telah menjual pasokan minyaknya dengan diskon 20% dari harga pasar global, sebagai kompensasi atas risiko yang dihadapi pembeli karena sanksi yang berlaku untuk Iran.

"Kilang-kilang di Cina adalah pembeli utama pengiriman minyak ilegal Iran yang dicampur dengan kargo-kargo dari negara-negara lain oleh para perantara, dan dibongkar di Cina sebagai impor dari Singapura dan sumber-sumber lain,” demikian dilaporkan oleh media oposisi Iran baru-baru ini. 

Inflasi dan devaluasi mata uang bebani perekonomian

Sanksi-sanksi itu tidak hanya berlaku bagi industri minyak Iran, tetapi juga berdampak pada kemampuan negara ini untuk melakukan transaksi keuangan internasional lainnya. Hal ini menyebabkan penurunan tajam pada mata nilai tukar uang nasionalnya, rial.

Saat ini, di pasar gelap nilai tukar untuk satu dolar AS sekitar 580.000 rial (sekitar Rp212 ribu). Sebagai perbandingan, pada 2015 setelah penandatanganan kesepakatan nuklir, satu dolar AS nilai tukarnya berkisar pada 32.000 rial (sekitar Rp11.714). 

Meski pendapatan dari minyak berangsur stabil dalam beberapa tahun terakhir, Iran masih jauh dari status kekuatan ekonomi. Total populasi Iran saat ini 88 juta, hampir 10 kali lipat lebih banyak dari populasi musuh bebuyutannya, Israel. Namun pada 2023, output ekonomi Iran mencapai $403 miliar (sekitar Rp6,6 kuadriliun), di mana angka tersebut jauh lebih rendah dibanding Israel yang mencapai $509 miliar (sekitar Rp7,8 kuadriliun). 

Perbedaan ini semakin menonjol, jika membandingkan nilai total barang dan jasa yang diproduksi keduanya dalam setahun. Tahun lalu, PDB per kapita Iran mencapai $4.663 (sekitar Rp72 juta), sementara Israel adalah $52.219 (sekitar Rp804 juta), menurut Dana Moneter Internasional.

Mata Uang Rial Iran
Nilai tukar rial Iran yang terdepresiasi telah menaikkan harga-harga barang kebutuhan sehari-hari seperti makananFoto: ecoiran

Korupsi dan nepotisme di berbagai tingkatan

Bagi kelas menengah Iran, situasi ekonomi semakin memburuk secara nyata. "Standar hidup telah kembali seperti 20 tahun yang lalu akibat sanksi,” kata Djavad Salehi-Isfahani, seorang profesor ekonomi di Virginia Tech, kepada DW.

Pada saat yang sama, sejumlah besar pendapatan negara Iran menghilang ke dalam struktur pemerintahan yang tidak jelas. Indeks Persepsi Korupsi yang disusun oleh Transparency International menempatkan Iran di peringkat 149 dari 180 negara.

Garda Revolusi Islam, pasukan elit paramiliter di dalam angkatan bersenjata Iran dan sejumlah organisasi keagamaan lainnya, dilaporkan mengendalikan bagian-bagian penting dari perekonomian negara tersebut. Kelompok-kelompok itu tidak membayar pajak dan tidak pernah menyerahkan neraca keuangan.

Di Iran, presiden memang dipilih oleh rakyat pada pemilu terakhir Juli 2024, tetapi negara ini bukanlah negara demokrasi. Dari 80 kandidat, Dewan Wali yang ultra-konservatif hanya mengizinkan enam orang untuk maju.

Rezim ini mencoba membeli kedamaian sosial dengan subsidi kebutuhan pokok seperti makanan dan bensin. Terlepas dari semua aksi penindasan, rezim ini tampaknya takut akan ketidakpuasan publik. Protes terhadap kepemimpinan politik berulangkali meletup,  seringkali dipicu oleh kenaikan harga atau baru-baru ini oleh kewajiban memakai jilbab bagi perempuan.

Perang dengan Israel ini hanya akan menjadi tekanan ekonomi yang sangat besar bagi Iran, dan berpotensi memaksa pemerintah Teheran untuk memotong pengeluaran di tempat lain, di mana jika itu terjadi maka akan memperburuk ketidakpuasan publik Iran. 

 

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Jerman

Becker Andreas
Andreas Becker Editor bisnis dengan fokus pada perdagangan global, kebijakan moneter dan globalisasi.