1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Investasi Cina di Asia Tenggara: Berkah Atau Masalah?

25 April 2017

Bagi Asia Tenggara, peningkatan kerjasama ekonomi dengan Cina bisa jadi pedang bermata dua. Ambisi investasi Beijing tidak hanya ditujukan untuk pengembangan ekonomi, melainkan juga untuk memperbesar pengaruh geopolitis.

https://p.dw.com/p/2bsde
China Neue Region für die Entwicklung um Peking
Foto: picture-alliance/dpa/Imaginechina/ Wang Yixuan

Menurut perkiraan Asian Development Bank, kebutuhan infrastruktur untuk kawasan Asia Tenggara semakin meningkat. Untuk mengimbangi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, negara-negara di kawasan itu membutuhkan investasi besar-besaran dalam penyediaan energi, transportasi, telekomunikasi, kapasitas air dan sanitasi.

Pemerintah Asia Tenggara makin sadar tentang krisis infrastruktur yang mengintai. September tahun lalu, sepuluh negara anggota ASEAN menyepakati "Rencana Induk untuk konektivitas ASEAN," agenda kerja untuk memperluas jaringan kereta api di wilayah ini.

Namun, implementasi rencana induk ASEAN sangat lamban, kata Yap Kioe Sheng dari University of Cardiff. "Sejauh yang saya tahu, hanya sedikit kemajuan."

Wolfram Schaffar, pengamat politik dari Universitas Wina, punya pandangan serupa.

"Rencana infrastruktur ASEAN melambat karena penurunan ekonomi yang terus berlanjut di kawasan ini. Negara-negara di sana kebanyakan berinvestasi pada proyek murah, rencana yang lebih besar tidak dapat dijalankan karena situasi ekonomi," katanya.

Kebanyakan negara di ASEAN sekarang kekurangan dana untuk pembangunan infrastruktur yang sangat mahal. Di sinilah Cina lalu meraba peluang.

Hegemoni Cina

Cina memang punya sumber dana yang hampir tidak terbatas. Sejak Presiden Xi Jinping berkuasa tahun 2013, Beijing juga menerapkan kebijakan luar negeri baru, terutama di bidang ekonomi dan investasi.

Untuk mengelola dana investasi ke luar negeri, Cina mengumumkan pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan apa yang disebut prakarsa "One Belt, One Road (OBOR)". Tujuan OBOR - yang juga dikenal dengan sebutan Prakarsa Jalan Sutra Baru - adalah membangun infrastruktur lintas benua. Beijing ingin memperluas jaringan daganyang ke Eropa, Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara, baik melalui darat maupun laut.

Infografik Chinas neue Seidenstraße Englisch
OBOR: One Belt, One Road, prakarsa baru Cina untuk memperluas jaringan perdagangan

Pada tahun 2014, Xi Jinping menjelaskan bahwa prakarsa baru Cina ini bukan melulu soal ekonomi dan uang, namun berlandaskan pada "nilai-nilai bersama".

William A. Callahan dari London School of Economics menjelaskan, ambisi Cina dengan slogan "Asia for the Asian" adalah retorika baru yang jauh melampaui sekedar kerjasama ekonomi antara negara di kawasan.

"Bisa disimpulkan, Xi menganggap komunitas regional sebagai perpanjangan dari negara Cina, atau setidaknya sebagai bagian dari nilai-nilai peradaban Tiongkok. Jadi, gagasan, struktur, dan proyek Xi dirancang untuk membangun pengaruhnya di kawasan dan pada tatanan dunia, "kata Callahan.

Yap Kioe Sheng juga menjelaskan, prakarsa baru Cina memang tidak hanya menyasar pada perdagangan, namun pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu perubahan geopolitik.

Dengan bantuan OBOR, Beijing berusaha memperluas pengaruhnya di kawasan tidak hanya secara ekonomi, melainkan juga secara politis dan ideologis.

Menurut Wolfram Schaffar, masih belum jelas apakah strategi baru Cina akan berhasil. Faktor yangh akan turut menentukan adalah, apa benar integrasi ekonomi yang didorong oleh Cina benar-benar turut menguntungkan negara-negara tetangganya. Tapi, kekuatan ekonomi Cina memang menjadi daya tarik yang sulit dihindari, kata Yap Kioe Sheng.

"Langkah untuk mendekati Cina hampir tak terelakkan, karena Beijing memang memiliki uang dan pasar, serta kedekatan geografis (dengan Asia)," katanya.

hp (dw)