1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kisah Nasib Anak-anak Anggota ISIS di Irak

22 Oktober 2018

Penderitaan demi penderitaan dialami anak-anak anggota ISIS yang hidup dalam ketakutan. Sejak ISIS terpukul mundur, pembalasan dendam dari para korban bukan hanya pada anggota ISIS namun juga mengancam anak-anak mereka.

https://p.dw.com/p/36diF
Dawlat Suleiman
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Alleruzzo

Enam kakak-beradik yang hidup tanpa orang tua tinggal diam-diam di sebuah apartemen kecil di antara orang-orang asing di kota Irak utara ini.

"Kepala keluarga” di rumah itu adalah seorang anak laki-laki berusia 18 tahun. ia keluar setiap pagi mencari kerja harian guna membayar uang sewa rumah. Saudaranya yang berumur 12 tahun bertindak sebagai ‘ibu'. Ia memasak, membersihkan dan merawat saudara-saudara kandungnya.

Desa asal mereka berjarak kurang dari satu jam perjalanan dari kota itu, tetapi mereka tidak bisa kembali. Milisi Syiah membakar rumah mereka karena diketahui ayah anak-anak itu anggota ISIS. Anak-anak takut terhadap pembalasan oleh mantan tetangga mereka,  yang memendam kemarahan pada kelompok militan tersebut yang pernah memerintah daerah asal mereka.

Jadi kini, anak-anak Suleiman berjuang sendiri. Ayah berada di penjara. Ibu mereka meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu. Anak-anak ini trauma dengan kematian orang yang dicintai dalam perang.  Di rumah sementara untuk bernaung, mereka dihantui rasa cemas bahwa tetangga baru mereka akan tahu hubungan ISIS dengan keluarga mereka.

"Saya lelah," kata Dawlat, seorang gadis kecil di rumah itu yang baru berusia 12 tahun. "Ibuku mengunjungiku dalam mimpiku. Saya takut ketika listrik padam di malam hari. Saya ingin ayah dan ibu berada di sini di sebelah saya."

Ribuan anak-anak anggota kelompok ISIS, banyak yang telantar, sebagaimana keluarga Dawlat. Gadis kecil itu sendiri adalah korban yang tidak bersalah atas kebrutalan dan kehancuran Daesh, sebutan lain kelompok Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Kehidupan sosial Irak terkoyak ketika kelompok kaum militan itu hampir tiga tahun berkuasa di beberapa wilayah di Irak. Ketika ISIS mengambil alih wilayah-wilayah tersebut di tahun 2014, banyak kaum Syiah, Kurdi, Kristen, Yazidi, Pejuang Muslim Sunni dan anggota polisi atau militer yang terbantai. Masyarakat pun tak sedikit yang kehilangan tempat tinggalnya.

Kini banyak anggota ISIS yang telah diusir dari hampir semua wilayahnya. Tak sedikit pula para korbannya ingin balas dendam. Seorang perwira polisi senior di provinsi utara Nineveh mengatakan sejauh yang ia ketahui setidaknya 100 rumah di dan sekitar kota Mosul telah dihancurkan oleh anggota suku yang marah karena ada anggota ISIS  yang masih tinggal di sana.

Keluarga yang terkait dengan Daesh ditembak dan rumah mereka dilempar granat, katanya. Beberapa anggota kaum minoritas Yazidi – yang menjadi korban kebrutalan terburuk ISIS lewat pembantaian laki-laki dan perbudakan seks perempuan - membalas perbuatan ISIS dengan menghancurkan rumah-rumah di desa-desa di Singar, tambahnya.

Stigma yang kuat

Ribuan warga Irak berada di balik jeruji penjara atas dugaan berhubungan dengan ISIS. Akibatnya, puluhan ribu anak hidup tanpa  ayah dan kadang juga tanpa ibu. Stigma terhadap anak-anak keluarga ISIS sangat kuat.

Bahkan keluarga besar mereka dalam beberapa kasus menolak untuk merawat anak-anak anggota ISIS, demikian kata seorang petugas lembaga bantuan internasional yang telah bekerja untuk mencari rumah untuk anak-anak seperti itu. Para kerabat anak-anak itu mungkin khawatir jadi dianggap terkait dengan ISIS atau berada di bawah tekanan suku mereka yang tidak menerima anak-anak itu, kata petugas lembaga tersebut yang tak mau disebutkan namanya untuk alasan keamanan.

Sebagian besar anak-anak anggota ISIS di Irak hidup berbaur di antara ratusan ribu orang di kamp-kamp pengungsian akibat tiga tahun pertempuran dengan ISIS. Lebih dari 1.000 anak hidup dengan ibu di penjara yang penuh sesak atau tahanan remaja.

Beberapa ratus anak lainnya berada di panti asuhan. Salah satunya panti asuhan di Baghdad, telah menjadi rumah bagi anak-anak  jihadis asing yang datang dari luar negeri untuk bergabung dengan ISIS. Orangtua mereka kini sudah meninggal  atau dipenjara. Polisi telah mendirikan pos pemeriksaan di semua jalan menuju ke asuhan sebagi upaya antisipasi agar panti asuhan tak diserang.

Anak-anak di sini mengalami trauma yang sangat mendalam, baik dari  kehidupan mereka sendiri bersama ISIS atau akibat dari perang itu sendiri. Di panti asuhan lain, di Mosul, seorang gadis Irak berusia 9 tahun bernama Amwaj mengatakan ayahnya dibunuh karena bergabung dengan ISIS. Lalu rumahnya ditembaki, ibu  dan tiga saudara kandungnya terbunuh. Dia menyaksikan jenazah ibunya digali dari puing-puing.  "Wajahnya berlumuran darah," katanya. Air matanya berlinang, suaranya nyaris tak terdengar. Di panti asuhan, dia merawat ketiga adiknya  yang masih hidup, Mohammed, Hashem, dan Tahrir.   

Dia bilang ayahnya memberikan uangnya untuk membeli keripik dan soda. Dia memimpikan ayahnya datang ke panti asuhan untuk membawanya pulang. Dia memimpikan ibunya menyisiri rambutnya.

Nasib keluarga Sulaeman

Dawlat, saudara laki-lakinya yang berumur 18 tahun, Saleh dan  Abdullah, 16 yang berusia tahun; Adam 8 tahun;  seorang saudari mereka  yang berumur 6 tahun, Umaimah; dan si kecil Dawoud berusia 4 tahun – mengalami berbagai tragedi sejak ISIS mengambil alih kampung halaman, di pinggiran kota Hawija, pada tahun 2014.

Mereka menderita di tangan Daesh, di tangan musuh Daesh dan di tangan ayah mereka sendiri. Ayah mereka bergabung dengan kelompok ISIS dan bekerja memperbaiki generator untuk para militan. Seorang kakak laki-laki mereka yang juga bergabung  dengan ISIS tewas dalam pertempuran saat membela ISIS. Seorang kakak perempuan mereka terbunuh akibat bom ketika dia mencoba lari dari wilayah ISIS.

Gejolak keluarga juga membuat mereka terpisah. Ternyata ayah mereka melakukan kekerasan terhadap salah satu putrinya. Saleh berhadapan dengan ayahnya untuk membela saudarinya dan mereka hidup selama berbulan-bulan sebagai musuh di bawah satu atap.

Saleh mengatakan dia bahkan berpikir untuk membunuh ayahnya pada suatu malam - "tapi dia terjaga dengan pistolnya di sampingnya." Sebagai balasan, Saleh menceritakan, sang ayah menyerahkannya pada Daesh dengan tuduhan menjual rokok, hal yang dilarang di bawah ISIS. Saleh dicambuki anggota ISIS.

Remaja itu melarikan diri ke wilayah yang dikuasai Kurdi pada bulan Maret 2016 dan ditahan selama enam bulan oleh para pejuang Kurdi karena dicurigai terkait ISIS. Saleh mengatakan mereka menggantungnya di langit-langit dan memukuli telapak kakinya dengan selang.

Adik perempuan yang jadi korban ayahnya dinikahkan dengan seorang anggota ISIS, yang kemudian terbunuh. Di usia 14 tahun adiknya dinikahkan lagi dan menjadi  istri kedua seorang polisi dan tinggal di kamp pengungsi.

Sementara itu, ISIS menemukan seorang istri baru untuk ayah mereka, memaksa seorang perempuan syiah untuk menikah dengannya. Wanita itu, yang suaminya sendiri terbunuh, membawa empat anaknya sendiri untuk tinggal bersama suami barunya. 

Dua bulan kemudian, pasukan Irak menyerbu Hawija. Ayahnya melarikan diri dengan keluarganya, bersembunyi di antara puluhan ribu orang lain yang melarikan diri.  Namun, istrinya yang baru menyerahkannya ke pejuang Kurdi dengan memberitahu para pejuang Kurdi di pos pemeriksaan bahwa suaminya adalah Daesh atau anggota ISIS. Istri yang baru itu kemudian pergi membawa anak-anak kandungnya saja.

Anak-anak dari suami Sulaeman pindah ke sebuah kamp untuk para pengungsi, di mana mereka hidup selama hampir satu tahun. Akhirnya, seorang saudara mencarikan sebuah apartemen untuk mereka di kawasan  Kurdi yang miskin di lingkungan Kirkuk.

Dikelilingi oleh tetangga yang tergabung dalam komunitas yang dianiaya oleh ISIS,  Saleh takut identitas mereka diketahui. Sementara, eluarga besar mereka telah memperingatkan bahwa tidak aman untuk kembali ke rumah mereka di kampung halaman."Saya terus menangis. Saya lelah," kata Saleh.

Masa kecil Dawlat telah hilang. Di apartemen mereka di Kirkuk, dia memasak tiga kali sehari; sementara anak-anak yang lebih kecil bersekolah, dia membersihkan rumah, merapikan tempat tidur, mencuci piring dan pakaian.

Ada saat-saat ketika senyuman menyinari wajah Dawlat, yang untuk sementara menghapus pandangan ‘angkernya'. Dia berbicara tentang bagaimana dia suka sekolah dan masih berharap menjadi dokter atau guru. Dia juga berharap untuk menikah.

Di pedesaan Irak, pernikahan gadis di usia muda adalah hal biasa. Setelah menikah, katanya, ia diizinkan berdandan.  "Saya belum pernah ke salon,"katanya." Saya suka rambutku panjang, tapi saya ingin mewarnai rambut denganw arna yang berbeda. "

Tapi kemudian dia kembali menjadi sosok gadis kecil yang rindu untuk bermain, menyesali bebannya dan terlepas dari semuanya, ia rindu ayahnya."Dia sangat saya sayangi ... saya ingin dia kembali bersama kami," dia berbisik, jadi Saleh tidak bisa mendengar.

ap/hp(ap)