1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia di Museumsuferfest Frankfurt

Ayu Purwaningsih5 September 2008

Penghujung bulan Agustus 2008, kompleks museum di tepi sungai Main di kota Frankfurt tak seperti biasanya. Dari ujung jalan terdengar hingar bingar musik membahana. Tiga hari berturut-turut digelar Museumsuferfest.

https://p.dw.com/p/FCAa
Salah satu museum di Frankfurt, Museum Komunikasi
Salah satu museum di Frankfurt, Museum KomunikasiFoto: AP

Kawasan museum di tepi Sungai Main Frankfurt terletak di sekitar pusat kota. Sekitar dua puluh gedung museum tertata rapi menjepit sungai. Ada museum arsitektur, museum komunikasi, museum film, museum sejarah, serta museum Yahudi. Ada pula museum budayawan Goethe, museum patung hingga museum uang. Museum seni modern dan museum budaya dunia juga terdapat di kompleks ini.

Setiap tahunnya pada kedua tepian sungai, baik sebelah kanan maupun kiri, digelar Festival Seni Budaya Museumsuferfest, yang diikuti oleh berbagai peserta dari beraneka bangsa. Mereka memamerkan dan menjajakan aneka kerajinan tangan atau pernak-pernik menarik. Ada pula yang menawarkan pelayanan membuat tatoo, tindik alias piercing, sampai kepang rambut warna-warni ala Afrika. Aroma makanan khas dari berbagai negara memancing selera dan lidah bergoyang. Mulai dari makanan-makanan Timur Tengah, seperti Iran dan Libanon, hingga makanan Asia seperti makanan khas Jepang, Vietnam, China dan Korea. Maka bila tak mampir untuk mencicipi, rugi rasanya.

Saya menyambangi sebuah petak kecil stand makanan khas Nepal, yang menjajakan Momo atau Momos. Bentuknya mirip dengan bakpau karena terbungkus oleh tepung, yang diisi dengan berbagai pilihan, ada daging, kentang, keju atau sayuran. Enak sekali. Impress Iniar, si penjaja yang berasal dari Nepal bersama suaminya sudah bertahun-tahun tinggal di Frankfurt dan berbisnis makanan. Ia dan suaminya menyewa stand kecil kurang lebih 2x2 meter dengan harga sekitar 26 juta rupiah untuk tiga hari pameran. Katanya: “Ya ... ini mahal sekali. Harganya 2.000 Euro untuk tiga hari. Tapi balik modal kok.”

Dari stand Nepal saya keliling lagi dan salah satu yang saya mampiri adalah stand makanan Jerman. Yang bikin tergiur adalah di stand ini orang sibuk dengan Fleischspieß-nya atau sate ala Jerman dalam ukuran jumbo, hampir setengah meter, lengkap dengan roti di pucuk tusuk sate. Kita bisa memakannya dengan saus barbeque sambil menikmati anggur muda yang difermentasi: Federweisser. Sangat segar diminum di tengah cuaca panas akhir Agustus. Banyak organisasi kemanusiaan ternyata juga ikut ambil bagian dalam ajang ini, diantaranya organisasi bantuan Terre des Home dan organisasi HAM untuk Tibet yaitu Tibethaus atau Rumah Tibet. Annette Kirsch, manajer Tibethaus mengungkapkan:

"Tibethaus tergolong baru. Kami baru dua setengah tahun berkantor di Bockenheim. Ini pertama kalinya ambil bagian di Museumsuferfest dengan stand sendiri, untuk menarik perhatian pengunjung. Di Rumah Tibet atau Tibethaus sendiri kami juga menyediakan banyak layanan informasi dengan berbagai tema tentang Tibet, misalnya masalah politik Tibet, Budhisme di Tibet dan obat-obatan dari Tibet. Siapa saja boleh datang ke tempat kami di Bockenheim untuk mendapatkan informasi tentang Tibet, seperti misalnya budaya Tibet.“

Sebenarnya tema tahun ini adalah 'Pesona Turki'. Mereka hadir dengan berbagai kerajinan tangan dan makanan serta pertunjukan musik. Namun tahukan anda, stand Indonesia malah cukup menarik perhatian. Tersedia makanan dan minuman khas Indonesia, seperti sate, nasi rames, baso, lumpia, es kelapa, es buah dan lain-lain.

Di samping stand makanan, didirikan sebuah panggung sederhana namun unik berdekorasi ala Bali dan Sunda, dengan hanya beratapkan daun-daun rindang. Disinilah pemusik Dwiki Darmawan berkolaborasi dengan grup Angklung Saung Ujo serta Alunan Rumpun Bambu memanjakan telinga para pengunjung.

Berbagai lagu, mulai dari lagu-lagu modern hingga lagu-lagu daerah dimainkan. Mulai dari lagu Rintak Rebana, lagu Minang, Tambo Cie, hingga Selayang Pandang, yang mengajak penonton ikut bergoyang. Dwiki Dharmawan sendiri merasa puas dengan antusiasme yang ditunjukkan oleh para penonton: "Ini awalnya dari pukulan-pukulan rebana, kemudian dikembangkan dengan jazz dan latin dan rampak rebana. Bisa mengajak penonton bergembira.“

Alat-alat musik tradisional seperti angklung dan gendang bersenyawa apik dengan alunan organ, saksophone dan akordion. Pemain akordion Tiwi Shakuhachi mengatakan cukup senang melihat penonton dapat menikmati improvisasi-improvisasi yang dimainkan: "Yang diperbarui modulasi kord. Misalnya dari G ke D, begitu pula sebaliknya. Melihat penonton seperti ini antusiasmenya uhhh asyik sekali.“

Tidak ketinggalan ikut meramaikan panggung kelompok seni dari Institut Teknologi Bandung. Dari sore (Jumat, 29 Agustus 2008) saat musik berkumandang hingga malam hari, jumlah penikmat sajian hiburan tak berkurang, malah semakin ramai. Ini merupakan bentuk promosi Indonesia yang didukung Konsulat Jendral Indonesia di Frankfurt, seperti diungkapkan Konsul Jendral RI di Frankfurt Eddy Setiabudhi:

“Kita melaksanakan diplomasi total. Di sini banyak pelaku diplomasi, orang Indonesia disini. Jadi konsep saya diplomasi total itu. Apa yang dilakukan Rusia di Georgia itu kan termasuk hard power, atau mengandalkan kekuatan keras. Kita punya banyak nilai unggul dalam soft power. Misalnya lewat seni budaya. Contohnya India berhasil dengan Bollywood nya. India berhasil, lalu kenapa kita tidak bisa, mari kita tampilkan di sini promosi lewat seni budaya sebagai sarananya, obyektifnya ya ekonomi dan lain-lain yang bermanfaat. Bila kita mampu menampilkan seni budaya yang berkualitas, apalagi di Jerman yang punya tradisi seni tinggi. Bila mereka sudah tergugah rasa simpatinya, tinggal kita masuki kepentingan kita.”

Bila dilihat dari ramainya pengunjung dan penonton hiburan, bisa dibilang promosi ini sukses. Meskipun pertunjukan seni yang ditampilkan kali ini masih dari budaya Indonesia bagian barat. Penonton pertunjukan tak hanya jadi tertarik dengan seni musik Indonesia, namun juga tertarik untuk mengenal lebih jauh Indonesia. Giselle Watz mengatakan: “Musiknya asyik sekali sangat bagus. Kami belum pernah ke Indonesia, tapi kami jadi ingin ke sana.”

Demikian juga dengan Peter Sasche yang mengaku sebelumnya pernah mendengar musik tradisional Indonesia, namun belum pernah mendengarnya digabung dengan jenis musik modern seperti jazz yang dibawakan Dwiki Darmawan: "Ini benar-benar istimewa. Mengejutkan karena saya tak biasa mendengar kolaborasi musik seperti ini. Apalagi ketika alat musik tradisional digabungkan dengan jazz. Fantastis, belum pernah saya mendengar ini sebelumnya. Saya punya cd atau cakram musik gamelan hadiah dari seorang kawan di Indonesia. Tapi campuran musik tradisional dengan jazz baru kali ini saya dengar, ternyata.sangat menarik.“

Menampilkan seni budaya Indonesia, menjadi ajang cukup menarik untuk menarik masyarakat internasional lebih dekat dengan Indonesia. Ini bukan misi yang mustahil atau Mission Imposible, seperti soundtrack sebuah serial barat yang dimainkan pada penghujung acara, dengan alat musik tradisional dan modern.(ap)