1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Indonesia Butuh Pemerataan Pembangunan Bukan Ibu Kota Baru

Monique Rijkers
Monique Rijkers
31 Agustus 2019

Untuk apa ibu kota pindah jauh-jauh ke Kalimantan Timur? Apakah di era telekomunikasi serba digital ketika jarak, ruang dan waktu makin menciut simbol sebuah ibu kota masih dibutuhkan? Demikian opini Monique Rijkers.

https://p.dw.com/p/3OZIt
Karte Indonesien Kalimantan ID

Indonesia tidak butuh ibu kota baru. Pemerintah menetapkan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur sebagai pilihan ibu kota baru untuk Indonesia. Alasan yang dikemukan oleh Presiden Joko Widodo adalah beban berat Jakarta yang sudah kepayahan menanggung kepadatan jumlah penduduk serta faktor rawan bencana. Menurut Presiden Joko Widodo berdasarkan kajian risiko bencana di wilayah Kalimantan Timur risiko minimal. Risiko minimal bukan berarti tidak terjadi bencana alam.

Juni 2019 silam Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendata ada 16 ribu jiwa terdampak banjir akibat hujan deras sehingga tujuh desa di dua kecamatan di Tenggarong kebanjiran. Selain banjir, bencana alam yang baru terjadi adalah kebakaran lahan gambut seluas 15 hektar di Kabupaten Penajam Paser Utara yang berdekatan dengan Kutai Kartanegara. Tahun 2015 area hutan Bukit Soeharto terbakar seluas tujuh hektar.

Indonesia tidak butuh satu ibu kota baru melainkan Indonesia butuh kota-kota metropolitan baru yang tersebar di seluruh Indonesia. Jangan mengira metropolitan itu dari gaya hidupnya. Bukan! Indonesia membutuhkan kota-kota metropolitan dalam arti berfungsi sebagai sebuah zonasi yang bisa berfungsi seperti Jakarta. Bangunlah kota metropolitan di Papua, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera.

Monique Rijkers bicara soal ibu kota baru.
Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Saat ini Indonesia masih menghadapi problem ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Wilayah Indonesia bentuknya kepulauan sehingga kondisi infrastruktur dan mutu kehidupan di setiap pulau berbeda-beda, inilah yang menjadi prioritas untuk dibereskan dalam 5-10 tahun mendatang.

Standar kehidupan guna memenuhi hajat hidup orang banyak belum sama meski sama-sama warga negara Indonesia. Ketersediaan infrastruktur dasar masih banyak yang belum bisa dipenuhi dengan baik oleh pemerintah. Pemerataan pembangunan harus dimulai dari pemenuhan hajat hidup orang banyak dahulu alih-alih membangun ibu kota baru.

Akses air bersih untuk warga, listrik yang tidak mati-nyala, akses layanan kesehatan gratis, mudah dan terjamin di setiap kecamatan serta ketersediaan sekolah, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah umum, inilah yang harus bisa dirasakan oleh semua warga negara Indonesia. Dengan demikian tidak mengandalkan Jawa saja atau Jakarta saja.

Banyak warga negara Indonesia yang tinggal di wilayah Indonesia bahkan tidak mampu untuk bepergian ke ibu kota Jakarta karena ongkos pesawat yang mahal untuk ukuran kantung mereka. Mempunyai ibu kota baru atau lama, tidak terlalu berdampak bagi perubahan taraf hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Lebih baik dana untuk membangun ibu kota baru itu dialokasikan untuk proyek-proyek infrastruktur yang mampu menghidupkan perekonomian di daerah-daerah. 

Tanpa sumber dana yang jelas untuk memindahkan ibu kota, sebaiknya rencana ini dibatalkan dulu

Memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara bisa dilakukan setelah pemerataan pembangunan tercapai. Jika pemerataan pembangunan belum terwujud, ketergantungan pada Jakarta sebagai ibu kota (dan Jawa) akan terus terjadi. Karena itu yang perlu dilakukan adalah mengurangi ketergantungan itu.

Pemerintah merinci dana investasi yang dibutuhkan membangun sarana kegiatan ibu kota seluas 40 ribu hektar guna menampung 1,5 juta aparatur sipil negara dari eksekutif, yudikatif dan legislatif mencapai Rp 466 triliun rupiah. Sumber pendanaan sebanyak itu menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro berasal dari APBN, BUMN, perusahaan swasta dan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Salah satu opsi yang ditawarkan Bappenas adalah skema tukar guling yakni menukar aset pemerintah di Jakarta dengan pembangunan di ibu kota baru. Harapannya dari tukar guling uang yang akan diperoleh mencapai Rp 150 triliun. Di negara manapun, aset negara sebaiknya tidak dijual karena itu opsi menjual aset negara adalah sebuah kesalahan yang bisa berakibat fatal.

Menjual aset negara bukan langkah bijak karena sekalipun status ibu kota pindah, kegiatan perekonomian dan bisnis pasti masih berlangsung di Jakarta. Teorinya, status ibu kota bisa berpindah tetapi belum kegiatan bisnis otomatis pindah. Apalagi jika merujuk pada data jumlah pabrik yang berada di kawasan industri Karawang, Jawa Barat yang mencapai 1.762 pabrik hingga tahun 2018, termasuk pabrik swasta, penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Sementara di kawasan industri Pulogadung di Jakarta juga terdapat 400 perusahaan.

Idealnya yang bisa dilakukan pemerintah dalam rentang waktu 5-10 tahun ke depan bukan pemindahan ibu kota tetapi revitalisasi atau pemberdayaan kota-kota lain di Indonesia sebagai klaster-klaster untuk kegiatan perekonomian. Misal pembangunan klaster perikanan di sejumlah garis pantai di Indonesia dengan pusat di Jayapura, klaster perkebunan di Sumatera, klaster hortikultura di Sulawesi, klaster peternakan di Nusa Tenggara Timur, klaster industri di Kalimantan dan klaster unggas di Jawa.

Selama masa Orde Baru terjadi ketergantungan pada Pulau Jawa yang begitu tinggi akibat dari kebijakan pembangunan yang diskriminatif. Jika pemerataan pembangunan tidak ada maka pemusatan aktivitas pemerintahan dan perekonomian akan terus terjadi sekalipun ibu kota sudah dipindahkan dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Selama sistem transportasi serta sarana dan prasarana bisnis tidak memadai di wilayah luar Jawa maka Jawa masih akan terus menjadi andalan karena faktor kemudahan sarana transportasi. Sesungguhnya Indonesia sangat diuntungkan dengan luasnya kepulauan Indonesia yang merentang di antara dua samudera dan dua benua sehingga pemerintah bisa membagi kegiatan perekonomian menjadi kawasan Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur secara maksimal.

Dalam jangka 5-10 tahun pemerintah bisa mengembangkan pelabuhan Batam sebagai pelabuhan andalan yang dapat menyaingi Singapura. Saat ini Singapura adalah pelabuhan kedua tersibuk di dunia karena faktor lokasi yang sangat ideal di tengah Asia dan Australia. Indonesia sebagai maritim seharusnya membangun infrastruktur pelabuhan yang menjadi alternatif perusahaan-perusahaan pengguna pelabuhan Singapura. Ketergantungan pada Pelabuhan Tanjung Priok yang masih menjadi andalan seharusnya sudah diurai dan dibagi dengan pembangunan pelabuhan di Bitung, Sulawesi Utara. Kedekatan dengan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, China dan Amerika Serikat akan meningkatkan aktivitas perdagangan sehingga bisa menjadi perantara antara negara-negara Asia Timur dengan Australia.

Begitu pula dengan transportasi kargo udara bukan lagi fokus dari Cengkareng,

Banten tetapi hidupkan kembali jalur internasional di Biak, Papua. Dahulu di masa Belanda masih bercokol di Papua, KLM perusahaan penerbangan Belanda ingin menjadikan Biak sebagai lokasi bandara internasional. Garuda Indonesia pernah menerbangkan rute ke Amerika Serikat dari Jakarta melalui Denpasar, Bali dan transit di Biak. Membangun bandara udara berkelas internasional idealnya ada di setiap ibu kota provinsi di Indonesia karena andalan Indonesia adalah pariwisata. Kita tidak ingin para turis yang jauh-jauh datang ke Indonesia tidak menikmati kemudahan dan kenyamanan saat datang atau hendak meninggalkan kota-kota tujuan wisata di Indonesia.

Mengubah ketergantungan atas Pulau Jawa dan Jakarta khususnya tidak bisa diselesaikan dengan memindahkan ibu kota. Memindahkan ibu kota dengan alasan pemerataan antara Jawa dan luar Jawa tanpa melakukan pemerataan pembangunan di luar Jawa, boleh dibilang hanya mencari-cari alasan saja. Karena pemerintah kelak akan fokus hanya pada pembangunan ibu kota baru saja. Daerah lain tetap ketinggalan dan berpeluang makin ditinggalkan menyusul alokasi penyerapan anggaran dana pada pembangunan ibu kota baru tersebut.

Patut diingat, Presiden Joko Widodo hanya menjabat sebagai Presiden selama lima tahun saja. Artinya pemindahan ibu kota ini bisa gagal sebagaimana wacana ibu kota di Jonggol yang pernah disinggung oleh pemerintah Orde Baru. Namun akhirnya terlantar karena salah satu kebiasaan pemerintah Indonesia adalah suka berwacana tanpa tanggung jawab merealisasikan wacana tersebut. Karena itu daripada membangun satu ibu kota baru, mari kita dorong pemerintah membangun kesetaraan infrastruktur di seluruh Indonesia dulu.

Guna mengatasi kejenuhan Jakarta sebagai ibu kota, pemerintah pusat dan pemerintah daerah di sekitar Jakarta bisa menyusun rencana pemberdayaan kota-kota di sekitar Jakarta sebagai lokasi kementerian yang saling berkaitan. Misal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Bogor, Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Sosial berada di Bekasi. Sementara Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dipusatkan di Tangerang. Kementerian Pertanian di Karawang, Kementerian Agama di Depok agar beban Jakarta menjadi ringan. Menguraikan beban pemerintahan di Jakarta saat ini dengan wilayah terdekat di sekitar Jakarta adalah solusi yang lebih masuk akal di tengah beban anggaran yang sudah sempoyongan.

Penulis @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.