ILO: Pekerja Anak Terus Meningkat
13 Juni 2023Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang merupakan badan khusus di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pertama kali menetapkan tanggal 12 Juni sebagai Hari Menentang Pekerja Anak Sedunia pada tahun 2002 silam.
Sekitar 21 tahun sejak pertama kali dicanangkan, laporan terbaru ILO menyebutkan bahwa konflik, krisis, dan pandemi COVID-19 telah menyebabkan peningkatan jumlah pekerja anak di dunia. Hal itu telah "menjerumuskan lebih banyak keluarga ke dalam kemiskinan dan memaksa jutaan anak lainnya untuk menjadi pekerja anak."
Anak-anak Afrika kurang mendapat perlindungan
Menurut badan PBB untuk anak-anak, UNICEF, pertumbuhan penduduk, krisis yang berulang, kemiskinan ekstrem, dan langkah-langkah perlindungan sosial yang tidak memadai, telah menyebabkan 17 juta anak perempuan dan laki-laki terlibat sebagai pekerja anak di sub-Sahara Afrika dalam empat tahun terakhir.
Seruan Aksi Durban atau "The Durban Call to Action”, yang diadopsi pada Konferensi Global ke-5 untuk Penghapusan Pekerja Anak pada tahun 2022 lalu, memang telah ditetapkan sebagai "pedoman untuk membalikkan keadaan melawan pekerja anak" di bawah kerangka hukum yang kuat, akses pendidikan yang lebih menyeluruh, dan pemberantasan kemiskinan.
Namun, ILO mengatakan bahwa "pertumbuhan ekonomi belum cukup, dan juga tidak cukup inklusif, untuk meringankan tekanan yang dirasakan oleh begitu banyak keluarga dan lingkungan, yang membuat mereka terpaksa mempekerjakan anak-anak."
Badan PBB tersebut juga memperkirakan bahwa satu dari lima anak, atau lebih dari 72 juta anak di sub-Sahara Afrika terkena dampak dari pekerja anak ini.
Dalam sebuah acara peringatan di Jenewa, Asisten Direktur Jenderal ILO Manuela Tomei mengatakan bahwa jumlah pekerja anak di dunia semakin meningkat untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir.
"Saya khawatir bahwa di era yang penuh dengan kemajuan pesat ini, ada begitu banyak anak yang justru masih tertinggal," kata Tomei.
Kemiskinan faktor pendorong utama
ILO mendeskripsikan pekerja anak sebagai pekerjaan atau kegiatan ekonomi yang merampas anak-anak dari masa tumbuh kembangnya, dan mengganggu kesempatan mereka untuk bersekolah, serta membahayakan mental, fisik, sosial, hingga moral anak-anak tersebut.
Di Afrika, pekerja anak telah memiliki akar sejarah yang dalam. Sudah menjadi hal yang wajar bagi anak-anak untuk membantu keluarga mereka, seperti dalam kegiatan bertani.
Namun, ILO telah membedakan antara pekerjaan tradisional untuk membantu keluarga dan eksploitasi terhadap pekerja anak yang merampas hak-hak serta pendidikan anak-anak.
Pakar tenaga kerja Kamerun Alex Soho mengatakan bahwa kemiskinan merupakan faktor pendorong utama bagi kebanyakan masyarakat untuk mengandalkan pekerja anak di hampir seluruh benua Afrika. "Penghasilan mereka sangat rendah, sehingga mereka tidak mampu mempekerjakan tenaga kerja orang dewasa, jadi mereka harus mengandalkan anak-anak mereka," kata Soho.
Ibu kota Kamerun, Yaounde, dipenuhi oleh para pedagang muda. Sebagian besar adalah anak-anak berusia antara 7-14 tahun, yang berjualan di persimpangan jalan hingga pasar utama, dan sering kali anak-anak itu harus bekerja sampai larut malam.
Kevin yang baru berusia 8 tahun dan Lea yang berusia 10 tahun misalnya, telah bekerja di lingkungan padat penduduk di Yaounde, sepanjang liburan sekolah mereka.
"Saya menjual air untuk membantu orang tua saya membayar buku-buku pelajaran untuk tahun ajaran baru," kata Kevin kepada tim DW.
"Dan saya menjual kacang untuk membayar perlengkapan sekolah," tambah Lea.
Seruan aksi di Durban
Kepala Sekolah di Kamerun, Chantal Zanga, merasa begitu prihatin terhadap isu pekerja anak ini. "Saya menentang kegiatan berjualan bagi anak-anak di jalanan," kata Zanga. "Anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan. Jika kita mengirim mereka ke jalanan, siapa yang akan melindungi mereka?"
Dengan latar belakang itulah, para ahli dan aktivis kesejahteraan anak mengadakan pertemuan Konferensi Dunia ke-5 tentang Penghapusan Pekerja Anak di Durban, Afrika Selatan, untuk mendiskusikan langkah-langkah yang lebih nyata dalam melindungi hak anak-anak di dunia, bulan lalu.
Tomei mengatakan bahwa "Seruan Aksi Durban” ini memiliki satu pesan yang begitu jelas, bahwa "meningkatkan pekerjaan yang layak bagi orang dewasa adalah kunci untuk menghapus pekerja anak."
Selain menghapus pekerja anak, rencana aksi ILO tahun 2023 juga meliputi tentang mewujudkan keadilan sosial di seluruh dunia, meratifikasi usia kerja minimum global dan secara efektif mengimplementasikan tiga strategi inti dari Seruan Aksi Durban.
"Saya yakin dengan tekad yang baru, penghapusan pekerja anak dapat tercapai," kata Tomei dalam pernyataannya di Jenewa pada hari Senin (12/06).
Dipekerjakan sebagai buruh oleh orang tua
Anak-anak yang bekerja sebagai pedagang kaki lima harus menghadapi bahaya setiap harinya, mulai dari lalu lintas, cuaca, hingga kekerasan seksual. Salah satunya Juliette Lemana, 12 tahun, yang berjualan buah safo, atau yang juga dikenal sebagai buah prem, dan pisang raja panggang di Yaounde.
"Mama menyuruh saya berjualan," katanya kepada tim DW, seraya menambahkan bahwa baru-baru ini sebuah sepeda motor telah menabrak teman sekelasnya. "Kadang-kadang kami pulang ke rumah pada malam hari dan kami tidak bisa menemukan jalan pulang."
Hukum Kamerun sebenarnya telah melarang pekerja anak, kata Pauline Biyong, presiden Asosiasi untuk Pendidikan Perempuan dan Anak.
"Kamerun telah meratifikasi banyak pasal untuk melindungi anak-anak. Fenomena ini seharusnya marjinal, namun sayangnya, kami mengamati di kota-kota kami bahwa anak-anak masih digunakan sebagai tenaga kerja oleh orang tua mereka. Itu tidak normal," tambah Biyong.
Kesulitan ekonomi telah memaksa banyak anak untuk bekerja di tambang emas di negara-negara seperti Tanzania dan Republik Demokratik Kongo, atau sebagai tentara anak di negara-negara seperti Sudan Selatan.
Tidak mendapatkan pendidikan yang layak
ILO memperkirakan ada sekitar 2,1 juta anak telah bekerja dalam produksi kakao di Pantai Gading dan Ghana. Sekitar dua pertiga kakao yang diproduksi di seluruh dunia, ternyata berasal dari Afrika.
Perusahaan Nestle telah membangun ruang kelas untuk anak-anak di daerah penghasil kakao tersebut. "Masalah pekerja anak itu nyata," kata Toussaint Luc N'Guessan, manajer program perusahaan makanan raksasa Nestle, kepada tim DW.
Di jalanan Maiduguri, negara bagian Borno, Nigeria, banyak anak yang bekerja atas permintaan orang tuanya.
"Ayah saya membawa saya ke sini untuk belajar menjahit," kata seorang anak laki-laki kepada tim DW. "Kadang-kadang, saya mendapat 150 naira (sekitar Rp4.800)."
Adamu Umar, yang memiliki 15 anak, mengaku kepada tim DW bahwa dia juga menyuruh anak-anaknya untuk bekerja sebagai pedagang kaki lima, agar membantu menambah penghasilan keluarga.
Namun komitmen anak-anak ini untuk keluarganya harus dibayar mahal, karena banyak organisasi bantuan sosial mengeluhkan dampaknya dan mengatakan bahwa anak-anak itu tidak mendapatkan pendidikan yang layak untuk kehidupan masa depan mereka yang lebih baik. (kp/gtp)