1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

IEA Ingatkan Transisi Energi Bersih Dunia 'Terlalu Lambat'

Farah Bahgat
14 Oktober 2021

Badan Energi Internasional (IEA) sejak lama dituduh mengabaikan upaya mengatasi perubahan iklim. Namun sekarang, menjelang KTT iklim global, badan tersebut mendesak pemerintahan membuat komitmen yang lebih kuat.

https://p.dw.com/p/41cUW
Pembangkit Listrik Tenaga Angin
IEA mengatakan langkah besar telah diambil dengan mengandalkan lebih banyak energi angin dan matahari — tetapi tidak cukupFoto: Blend Images/picture alliance

Jika dunia ingin komitmen iklimnya terwujud, maka investasi energi terbarukan harus ditingkatkan tiga kali lipat sampai akhir dekade, kata Badan Energi Internasional (IEA) pada Rabu (13/10).

IEA yang tugasnya memberikan masukan kepada pemerintahan terkait kebijakan energi itu telah merilis laporan tahunannya, World Energy Outlook (WEO), pada Rabu (13/10).

Laporan tersebut dirilis hanya beberapa minggu sebelum KTT COP26 PBB digelar di Glasgow, dan muncul di saat harga listrik melonjak ke rekor tertinggi di tengah pelonggaran pembatasan COVID-19 di seluruh dunia.

Laporan tahunan IEA kali ini banyak diantisipasi karena dinilai membentuk ekspektasi pemerintah, perusahaan, dan investor terkait penggunaan batu bara, minyak dan gas di masa depan.

IEA telah lama dituduh terus-terusan mendukung investasi bahan bakar fosil , yang pada akhirnya memperlemah upaya melawan perubahan iklim. Namun, dalam laporan tahunannya kali ini, IEA telah mendesak pemerintah untuk memperkuat komitmennya mengurangi emisi gas rumah kaca.

Yang disorot dalam laporan IEA

Badan energi yang berbasis di Paris itu mengatakan, sumber energi terbarukan, seperti matahari, angin, tenaga air, dan bioenergi, harus menjadi bagian yang jauh lebih besar dalam rebound investasi energi setelah pandemi COVID-19.

"Kita tidak berinvestasi cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan energi masa depan, dan banyak ketidakpastian telah menyiapkan panggung bagi kita untuk berada di sebuah periode yang bergejolak di masa depan,” kata kepala IEA Fatih Birol.

IEA mencatat permintaan energi terbarukan terus tumbuh. Namun, kemajuan energi bersih tersebut dinilai masih terlalu lambat untuk mewujudkan target iklim global menuju nol bersih (net zero) pada 2050, yang menurut IEA sangat berperan dalam membatasi peningkatan suhu global hingga 1,5° Celcius.

Dalam laporannya, IEA juga berpendapat bahwa investasi tambahan mungkin tidak akan sesulit kedengarannya untuk dijalankan.

"Lebih dari 40% pengurangan emisi yang diperlukan akan muncul dari langkah-langkah yang justru menguntungkan diri sendiri, seperti meningkatkan efisiensi, membatasi kebocoran gas, atau memasang pembangkit angin dan surya di lokasi-lokasi di mana mereka menjadi teknologi pembangkit listriknya paling kompetitif saat ini,” kata laporan tersebut.

Dua skenario

IEA lantas menganalisis dua kemungkinan skenario.

Skenario pertama adalah terkait langkah-langkah atau kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah. Terlepas dari langkah-langkah tersebut, emisi tahunan di seluruh dunia akan tetap sama ketika negara-negara berkembang membangun infrastruktur mereka, kata IEA.

Di bawah skenario pertama, suhu pada tahun 2100 diprediksi akan lebih tinggi 2,6 Celcius dari tingkat pra-industri.

Di skenario kedua, IEA menyoroti janji pemerintah untuk mencapai emisi nol bersih, yang kemungkinkan akan menggandakan investasi energi bersihnya selama satu dekade berikutnya.

Menurut IEA, jika negara-negara berhasil menerapkan janji ini tepat waktu, maka kenaikan suhu rata-rata global akan menjadi sekitar 2,1° Celcius pada tahun 2100.

Skenario kedua ini memang menunjukkan peningkatan dibanding skenario pertama, tetapi angka tersebut masih jauh di atas 1,5 Celcius yang menjadi target yang disepakati dalam Perjanjian Iklim Paris, kata IEA menyimpulkan.

Tekanan menjelang COP26

Laporan IEA kali ini mengisyaratkan tekanan untuk pemerintah agar mengambil tindakan yang lebih besar di KTT COP26.

"Banyak pemerintah mengandalkan WEO di masa lalu untuk membenarkan dukungan mereka terhadap bahan bakar fosil,” kata David Tong dari NGO Price of Oil, yang mengadvokasi transisi energi bersih.

"Jika mereka [pemerintah] mengabaikan panduan IEA yang akhirnya konsisten dengan batas 1,5 derajat sesuai kesepakatan Paris saat ini, maka mereka akan merusak kredibilitas mereka sendiri.”

"Para pemimpin kita harus berhenti mendengarkan CEO-CEO bahan bakar fosil dan sudah saatnya beralih ke sains,” ujar Tong. Ia juga mempertanyakan, "akankah mereka [pemerintah] mendukung net zero dan 1,5 derajat dengan menghentikan ekstraksi minyak, gas, dan batu bara baru, serta menggelontorkan uang ke energi bersih dan solusi efisiensi?”

(gtp/as)