1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ide Khilafah Tidak Akan Pernah Sama Sekali Hilang

Imam Prihadiyoko
27 April 2019

Ide tentang khilafah, bagi sebagian kalangan muslim, tetap akan menarik. Apalagi, jika mereka merasakan ketidakadilan. Dan celakanya, perasaan ketidakadilan ini terkadang amat subyektif, dan amat situasional.

https://p.dw.com/p/3H8jX
Indonesien Bekasi - Muslimische Frauen nehmen an Bogenschiessen und Reitstunden teil
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry

Bagi sebagian lain, perasaan itu dianggap sebuah bayang-bayang yang tidak jelas. Namun yakinlah, bagi sebagian muslim, kondisi ketidakadilan itu amat nyata, dan solusinya adalah penerapan sistem pemerintahan khilafah.

Terkait sistem pemerintahan khilafah, memang tidak bisa diwujudkan melalui sistem demokrasi. Karena itu, demokrasi, apalagi model sistem demokrasi yang dijalankan di Indonesia, amat tidak memungkinkan lahirnya sistem politik khilafah.

Sebagai sebuah ide, boleh saja dikatakan utopia, namun tidak sedikit kalangan muslim meyakini, sistem itu akan menemukan jalannya sendiri untuk mewujudkan sistem khilafah itu.

Penulis: Imam Prihadiyoko
Penulis: Imam PrihadiyokoFoto: Privat

Terwujudnya kehidupan Islam yang utuh, merupakan sunatullah atau hukum Allah, seperti air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, sesuatu yang pasti akan terujud. Artinya, cepat atau lambat, pendukungnya pasti akan lebih semakin banyak, dan khilafah akan terwujud. Apalagi, sekali lagi saya tekankan, jika kondisi ketidakadilan di dunia Islam makin sering terjadi dan dirasakan amat menekan kalangan muslim.

Mungkin ada yang bilang muslim, di Indonesia sudah mendapatkan kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai syariat Islam. Dan khilafah sudah tertolak oleh perjanjian ketika pendiri bangsa, mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara. Majelis Ulama Indonesia menyebutnya, Indonesia sebagai negara terbentuk atas dasar mitsaq atau kesepakatan. Sementara Muhammadiyah dengan tegas mengatakan, Indonesia sebagai darul ahdi wal syahadah atau negara kesepakatan.

Mengingat sejarah

Namun jangan lupa, kekecewaan muslim pada perjalanan sejarah bangsa ini, ketika piagam Jakarta batal menjadi pembukaan UUD 1945, ketika konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan dekrit presiden.

Akibat dekrit presiden itu, di antaranya berisi perintah untuk kembali menggunakan UUD 1945, termasuk Piagam Jakarta yang dijadikan pembukaan UUD 1945. Namun, pengembalian Piagam Jakarta tidak dilakukan dengan utuh. Alasannya, demi menjaga kesatuan kebangsaan, agar beberapa wilayah Indonesia tidak terlepas.

Untuk itu, dilakukanlah penghilangan tujuh kata yang bagi sebagian umat Islam Indonesia, ini sangat mengecewakan. Bagian yang dihilangkan itu adalah tujuh kata pada sila pertama Pancasila. Ketuhanan yang maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariatIslam bagi pemeluk-pemeluknya. Inilah perjanjian kebangsaan pertama yang dilanggar oleh sebagian elite politik Indonesia ketika itu.

Pantaskah khawatir

Itu sebabnya, penentang penerapan syariat Islam pantas khawatir. Sama khawatirnya dengan Israel yang terus menerus menekan Palestina. Sama takutnya seperti polisi Israel yang terus menekan umat Islam, bahkan melarang untuk memperdengarkan panggilan shalat, azan dan menjalankan ibadah shalat di Masjid Al-Aqsha. Dan ini menjadi satu ingatan kolektif bagi muslim di seluruh dunia. Sebuah ingatan kolektif yang sama, bisa memantik perasaan sependeritaan. Ingatan kolektif yang sama, juga mendorong keinginan untuk menyatukan diri, dengan melupakan berbagai perbedaan yang mungkin ada diantara umat Islam.

Jadi, bagi semua penentang ide khilafah, sangat pantas untuk khawatir. Kita semua pasti khawatir, selama penyerangan yang dilakukan oleh Israel terhadap muslim Palestina dan gangguan terhadap masjid terbesar ketiga yang amat "disakralkan” oleh Muslim di seluruh dunia terus terjadi.

Jika ada yang mengatakan, jauh amat, kok memikirkannya kondisi muslim di Palestina, bagaimana dengan kondisi muslim di Indonesia?

Jawabannya sederhana, semua itu saling berkaitan. Apalagi dalam kondisi "borderless” seperti saat ini. Dan jangan lupa, bagi muslim, setiap muslim itu bersaudara.

Seperti kasus penembakan di Selandia Baru beberapa waktu lalu, tentu amat menyakitkan bagi Muslim, dan bagi seluruh manusia yang punya rasa kemanusiaan. Tapi yang terlupakan oleh pelaku.

Jika ada yang mengatakan, tidak ada yang bisa mencegah tren perubahan dari Islamisasi ke radikalisme selain penerapan aturan hukum yang rigid, maka saya pikir ini pandangan yang terlalu sembrono.  Karena, ujung dari Islamisasi bukanlah radikalisme. Tetapi penerapan syariat Islam secara kaffah, utuh, holistik. Dan jika kita bukan menjadi bagian dari ini, ataupun tidak bisa berdamai dengan kondisi penerapan Islam secara utuh ini, maka pantas jadi khawatir.

Saya pikir, kekhawatiran terhadap ide khilafah, merupakan bagian dari cara merayakan akal sehat. Kekhawatiran itu, justru sebagai investasi peradaban. Karena sebagai ide, khilafah tidak akan pernah mati.

Penulis:

@imamprihadiyoko, penulis lepas dan pendiri menara62.com.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini