1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hubungan Jerman-Iran Setelah Raisi Dilantik Menjadi Presiden

Marie Sina
6 Agustus 2021

Ebrahim Raisi pernah menindas para kritikus pemerintah untuk disiksa dan dieksekusi. Sekarang dia menjadi presiden baru Iran. Pemilihannya menimbulkan banyak pertanyaan bagi hubungan Jerman-Iran.

https://p.dw.com/p/3yaZl
Iran Ebrahim Raisi
Foto: jamaran

Ebrahim Raisi, ulama berusia 60 tahun, hari Kamis (05/08) mengucapkan sumpah jabatannya sebagai Presiden Iran. Pengacara ultrakonservatif ini mengambil alih kursi kepresidenan pada masa-masa genting bagi Iran. Negosiasi tidak langsung dengan Amerika Serikat di Wina mengenai masa depan perjanjian nuklir dari tahun 2015 mengalami stagnasi. Serangan-serangan gelap terhadap kapal tanker di lepas pantai Oman yang sering dituduhkan kepada Iran membuat situasi di Teluk Persia makin eksplosif.

Terutama bagi aktivis hak asasi manusia, masa depan Iran terlihat suram di bawah Ebrahim Raisi. Di masa lalu, sebagai kepala lembaga peradilan, dia mengeksekusi banyak peserta aksi protes selama 2018 dan 2019.

Para pengamat dan politisi kebijakan luar negeri Jerman sekarang mendesak perubahan dalam hubungan Jerman-Iran. "Jika seorang hakim dengan darah di tangannya menjadi presiden negara, kita harus menempatkan masalah hak asasi manusia sebagai agenda teratas," kata Omid Nouripour, juru bicara kebijakan luar negeri Partai Hijau kepada DW.

Aksi protes di Khuzestan, Iran
Aksi protes karena kelangkaan air di Khuzestan, Iran (17/07)Foto: Mellium.org

Mencari strategi baru hubungan Jerman-Iran

Selama ini, hak asasi manusia memang memainkan peran kecil dalam hubungan Jerman-Iran. Bahkan ketika aparat keamanan Iran secara brutal menindas demonstrasi menentang kenaikan harga bensin pada tahun 2019, pemerintah Jerman tidak mengeluarkan kecaman yang tegas terhadap Teheran. "Ini harus dihentikan," tegas Omid Nouripour.

"Kami membutuhkan strategi baru untuk Iran," kata Bijan Djir-Sarai, juru bicara kebijakan luar negeri kubu liberal demokrat FDP kepada DW - sebuah strategi yang menurutnya tidak boleh hanya dipengaruhi oleh negosiasi untuk menyelamatkan perjanjian nuklir.

Sejak awal tahun ini, pembicaraan telah berlangsung di Wina untuk memulai kembali kesepakatan nuklir yang ditandatangani pada 2015 setelah bertahun-tahun negosiasi antara AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia dan Cina di satu sisi dan Iran di sisi lain. Berdasarkan kesepakatan itu, Iran setuju dilakukan kontrol ketat terhadap kegiatan nuklirnya dengan imbalan bantuan ekonomi.

Namun, pada tahun 2018, Amerika Serikat di bawah Donald Trump secara sepihak menarik diri dari perjanjian nuklir. Setahun kemudian, Iran juga menyatakan tidak mengindahkan lagi kesepakatan itu.

Tanda-tanda perubahan haluan politik

Namun, dengan pergantian presiden di Washington, kebijakan luar negeri Jerman juga sedang bergeser. Bulan lalu, parlemen Jerman, Bundestag, mengeluarkan resolusi hak asasi manusia teradap Iran, yang pertama dalam 10 tahun.

Gerakan bersama parpol-parpol CDU, CSU, SPD, FDP, dan Partai Hijau baru-baru ini mendesak untuk menjadikan situasi hak asasi manusia sebagai fokus kebijakan Jerman terhadap Teheran - dan menyerukan agar kebijakan ini ditinjau secara berkala. Pemerintah Jerman didorong untuk mencoba memastikan bahwa Iran juga menyetujui konvensi PBB tentang hak-hak perempuan dan menentang penyiksaan.

Namun, para pengamat juga mengingatkan bahwa masalah ekonomi dan lingkungan Iran pun harus jadi fokus dalam hubungan Jerman-Iran, demi kepentingan Jerman sendiri. Iran saat ini menghadapi pengangguran yang tinggi, kekurangan air yang ekstrem, dan keadaan darurat medis. Selain itu, juru bicara kebijakan luar negeri Partai Hijau Omid Nouripour juga mengingatkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia "di luar Iran, misalnya, di Suriah, juga harus ditangani." Iran memang punya peran cukup penting sebagai pendukung utama rezim Assad di Suriah.

Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengusulkan agar program rudal Iran juga dimasukkan dalam negosiasi perjanjian nuklir di Wina. Namun, langkah seperti itu ditolak mentah-mentah oleh Presiden Iran yang baru, Ebrahim Raisi.

(hp/ha)