1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hubungan Italia-AS / Pengkajian Perjanjian non-proliferasi/ Pemilihan parlemen di Inggris

4 Mei 2005

Kasus penembakan agen dinas intelijen Italia Nicola Calipari oleh tentara AS , menimbullkan kontroversi antara Italia dan AS. Selain itu, pengkajian perjanjian non-proliferasi dan sosok PM Inggris Tony Blair disoroti media massa internasional.

https://p.dw.com/p/CPOO
PM Inggris Tony Blair berpidato di depan para pendukung Partai Buruh
PM Inggris Tony Blair berpidato di depan para pendukung Partai BuruhFoto: AP

Laporan para penyidik AS membebaskan tentara AS dari tanggung jawab dalam insiden yang menewaskan agen Nicola Calipari itu. Sementara Italia menolak pernyataan AS bahwa tentara AS tidak bersalah atas kematian Calipari.

Sebagaimana diketahui , Calipari ditembak mati oleh seorang serdadu AS pada 4 Maret lalu, ketika mengawal seorang wartawati Italia yang baru dibebaskannya dari penyanderaan menuju Bandara Baghdad. Kontroversi antara Italia dan AS menjadi berita utama di koran-koran Italia.

Harian Il Messaggero yang terbit di Roma bahkan berkomentar hubungan Italia-AS berada dalam krisis.

Tokoh yang paling berwenang untuk politik luar negeri AS setelah presiden, yaitu Menlu Condoleezza Rice menyatakan penyesalannya atas kontroversi dalam laporan para penyidik AS dan Italia. Hal itu menunjukkan adanya krisis yang berat dan serius antara kedua partner sekutu. Dalam 50 tahun belakangan relatif jarang terjadi kontroversi politik antara Italia dan AS. Bahwa kasus kematian Calipari akan mempengaruhi hubungan persekutuan yang bersejarah itu , atau akan melatarbelakangi partisipasi Italia dalam perang Irak, tampaknya tidak relevan dan juga bertentangan dengan UU yang mengatur hubungan antar kedua negara. Namun kiranya wajar dan benar untuk mengkaji kembali hubungan antara kedua negara dan peraturan yang digunakannya.

Suratkabar Corriere della Sera mencela sikap AS dalam kasus Calipari:

Kini mungkin agak lebih jelas duduk perkaranya. Kematian Nicola Calipari di Bagdad bukan suatu kesengajaan, dan lebih merupakan suatu kecelakaan. Calipari tewas karena tembakan seorang tentara AS yang mungkin sedang stress. Justru dalam hal ini AS harus menunjukkan sensibilitasnya. Sewajarnya AS secara obyektif mengakui tanggung jawabnya , kemudian menarik konsekuensinya dan meminta maaf. Namun AS malah dengan tegas menyatakan dirinya tidak bersalah , dan mengira dengan demikian selesai sudah kasus tsb.

**********

Tema berikut: Konferensi pengkajian perjanjian non-proliferasi .

Suratkabar Washington Post setelah mengamati pengkajian tsb menulis, dunia internasional mudah dilukai:

Sejak 35 tahun dunia berusaha mencegah penyebarluasan senjata atom. Hari Minggu lalu, Korea Utara yang memandang dirinya sebagai negara átom menolak perundingan multilateral mengenai program nuklirnya, dan menguji kemampuannya untuk menyerang Jepang dan AS dengan meluncurkan uji coba rudal. Hari Selasa kemarin , Menlu Iran menegaskan negaranya akan melaksanakan program pengayaan uranium. Meski lebih dari 180 negara menanda tangani perjanjian non proliferasi , mereka diperkenankan melakukan pengayaan uranium dan pengolahan kembali plutonium – memang dua langkah paling penting untuk memproduksi senjata atom, namun teknologi itu juga dapat digunakan untuk tujuan sipil ,misalnya oleh industri energi nuklir. Iran memanfaatkan celah itu, dan bila ia berhasil, negara lain dapat mengikuti jejaknya, seperti Taiwan, Mesir, Korea Selatan dan mungkin banyak negara lainnya.

Harian Rusia Kommersant berkaitan dengan konferensi pengkajian perjanjian non proliferasi berkesimpulan, AS hendak melemahkan PBB

Dalam konferensi non proliferasi itu tampak bahwa perjanjian itu tidak mampu mencegah penyebarluasan senjata pemusnah massal. Tetapi juga perkembangan di tahun-tahun belakangan mengoyahkan kredibilitas dan kemampuan lembaga dan institusi internasional untuk menjamin keamanan , termasuk PBB. Konferensi di New York itu seharusnya dihadiri oleh para menlu masing-masing negara , tetapi AS hanya mengutus seorang pejabat ranking kedua . Itu jelas mengisyaratkan keinginan lama Washington, untuk membenarkan peran AS di dunia sebagai satu-satunya negara adi daya, yang dapat bertindak semaunya tanpa menghiraukan pendapat dunia yang diwakili dalam PBB.

**********

Tema sorotan selanjutnya: Pemilihan umum di Inggris.

Hari Kamis (5/5) rakyat Inggris memilih parlemen baru. Saat laporan ini diturunkan pemilu di Inggris belum dilaksanakan. Namun di hari-hari menjelang pemilu media massa internasional menyoroti sosok PM Tony Blair .

Harian Belanda de Volkskrant menulis, Inggris puas dengan kepemimpinan Tony Blair, meski PM Inggris itu mendukung perang ke Irak.

Tampaknya popularitas Blair merupakan teka-teki, bila orang hanya memandang ke Irak, dan tidak memandang ke Inggris. Negara itu selama 13 tahun mencatat pertumbuhan ekonomi yang pesat. Dari padanya 8 tahun dibawah kepemimpinan perdana menteri pertama dari Partai Buruh. Tampaknya para pemilih lebih mempercayakan soal ekonomi kepada seorang tokoh buruh, ketimbang tokoh konservatif. Bila ditambah dengan kemajuan di bidang sistim sosial, pendidikan dan berkurangnya kriminalitas, maka terbukalah perspektif. Rupanya, meski ada keresahan yang menyangkut soal Irak, rakyat puas dengan negaranya yang dinamis dan kosmopolit.

Sebaliknya harian konservatif Inggris Daily Mail tampaknya tidak mendukung Tony Blair. Harian ini menulis:

Hendaknya rakyat memikir lebih seksama sebelum memberikan suaranya . Tidak dapat dibayangkan bahwa banyak pengikut yang jujur , baik dari partai buruh, partai demokrat liberal maupun partai konservatif, akan senang dengan terpilihnya kembali Blair. Inggris berhak atas masa depan yang lebih baik.

Suratkabar Italia La Repubblica, bertanya apakah Blair seorang pengkhianat atau tokoh yang patut diteladani?

Tony Blair , sosok yang sulit ditebak. Apakah ia penghianat kaum kiri? Atau seorang perintis sosial demokrat yang menyesuaikan diri dengan dunia yang sedang berubah? Apakah ia seorang pembohong yang membelot dari tradisi Inggris yang tidak mentolerir kebohongan? Ataukah ia hanya seorang kepala pemerintahan yang punya karisma , dan punya bakat sebagai pelakon, yang santai dan lihay di panggung politik yang mirip panggung sandiwara? Apakah ia ahli neo-liberalisme anglo-saksis , atau inkarnasi Margaret Thatcher? Ataukah ia anjing kesayangan tokoh republik George Bush? Ataukah seorang kepala pemerintahan Eropa yang prihatin dengan hubungan Eropa - AS. Pertanyaan tsb dan banyak pertanyaan lainnya ,semakin sering timbul di benak mereka yang dari jauh mengamati perkembangan seputar perdana menteri Inggris, yang sejak 8 tahun memegang tampuk pimpinan pemerintah , dan sejak itu dipandang sebagai tokoh yang memalukan, atau tokoh teladan bagi kaum reformis Eropa. Seorang desertir atau sebaliknya seorang pembaru yang memutar-balikkan pola-pola ideologi yang usang.