1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Hotel Cinta" di Jepang

16 November 2017

Hotel cinta di Jepang sebenarnya sudah ada sejak tahun 1920-an. Konsep awalnya dulu lain, konsumennya juga lain. Yang tidak berubah: layanan penyewaan kamar hanya untuk beberapa jam. Sekarang layanannya semakin kreatif.

https://p.dw.com/p/2njBF
Japan Love Hotels
Foto: Getty Images/AFP/Y. Tsuno

Hotel-hotel ini sudah lama jadi bagian dunia malam perkotaan di seluruh Jepang. Biasanya ada di dekat stasiun kereta api atau jalan bebas hambatan antar kota. "Hotel cinta" berawal pada penginapan yang disebut "enshuku" atau "tempat tinggal satu Yen" di tahun 1920-an.

Hotel-hotel ini belakangan semakin berkembang dan menawarkan semakin banyak dan beragam kemudahan, sebagai langkah menarik konsumen. Lokasinya juga bergeser ke kawasan lain. Mereka menawarkan fasilitas mewah seperti halnya hotel-hotel konvensional, tapi dengan opsi tamu bisa tinggal hanya beberapa jam.

Japan Love Hotels
Foto: Getty Images/AFP/Y. Tsuno

Berusaha memenuhi kebutuhan konsumen bertingkah

Bisa dibilang, hotel-hotel ini sekarang bisa memenuhi kebutuhan konsumen dengan "tingkah" apapun. Ada yang punya desain "Hello Kitty", ada juga yang punya tempat tidur serupa ring tinju. Sebuah hotel cinta di Osaka katanya punya atap yang bisa dibuka, sehingga dari tempat tidur kedua sejoli bisa bersama-sama menikmari langit terbuka.

Biasanya di daerah lobi hotel, calon konsumen bisa melihat gambar-gambar interior kamar dan bisa memilih kamar yang disukai. Kamar dilengkapi kamar mandi, tempat tidur besar, televisi dan serta mesin penjual makanan kecil, minuman dan mainan sex. Karaoke biasanya juga disediakan, juga game. Di beberapa tempat tamu juga bisa memesan makanan.

Berkembang di lokasi mentereng

Sebenarnya sebutan "hotel cinta" baru muncul di akhir tahun 1960-an. Tetapi hotel-hotel yang biasanya punya fasad mencolok ini, misalnya serupa puri atau kapal pesiar, memang kerap bisa ditemukan dikawasan distrik hiburan.

Seperti halnya sektor bisnis layanan lainnya, para pemilik hotel ini harus terus mengembangkan diri dan fasilitasnya, demikian kata Makoto Watanabe, profesor bidang komunikasi dan media pada Hokkaido Bunkyo University. Akibatnya, hotel-hotel ini juga bermunculan di kawasan mentereng, seperti tepian sungai atau danau, di mana tamu bisa memandang ke arah pegunungan.

Menawarkan perubahan skenario dalam hidup sehari-hari

Kyoko, seorang ibu rumah tangga dari Yokohama mengatakan, ia senang pergi ke "hotel cinta" bersama suaminya, karena mereka bisa rileks dan melewatkan waktu bersama di suasana yang berbeda. "Suami saya bekerja, saya juga. Dan kami punya beberapa anak. Jadi kadang enak jika bisa menitip anak-anak pada orang tua saya, dan kami punya waktu hanya untuk berduaan seperti dulu, ketika hidup belum sesibuk ini."

Sewa kamar kira-kira 31 Dolar per malam. Ini jadi alternatif menarik dibanding hotel-hotel konvensional. Namun yang tertarik menggunakan jasa hotel ini bukan hanya warga lokal melainkan juga turis. Menurut statistik, jumlah wisatawan yang menggunakan hotel cinta bahkan lebih besar dari warga lokal. Sehingga kemungkinan besar, hotel cinta harus kembali menyesuaikan diri dengan kebutuhan konsumen baru.

Penulis: Julian Ryall (ml/hp)