1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kala Hoaks Anti-Tionghoa Menyebar

27 Mei 2019

Kericuhan 22 Mei silam tak hanya menimbulkan kekacauan di lokasi kejadian, namun juga di media sosial. Kabar simpang siur tersebar melalui media sosial, bahkan ada yang khusus menyasar kelompok minoritas Tionghoa.

https://p.dw.com/p/3JAK7
BdTD  Indonesien Jakarta Protest
Foto: Reuters/W. Kurniawan

Hanya dari barang bukti seperti ponsel, foto yang dibumbui dengan informasi bohong dapat dengan mudah disebar dan menyulut sentimen warga. Foto tiga anggota Korps Brigade Mobil (Brimob) yang memakai penutup wajah tersebar di media sosial misalnya, dengan mudah membuat gaduh karena diduga ketiganya adalah aparat dari Cina yang ikut mengamankan aksi demonstrasi pada Selasa (21/05). Belakangan terungkap bahwa ketiganya justru berasal dari Sumatera Utara, yakni Briptu Raja Hiskia Rambe, Briptu Benuh Habib, dan Briptu Gunawan Sinambela.

"Kami tegaskan lagi bahwa kami adalah asli Brimob, bukan polisi Cina. Bahwa saya adalah Brimob Sumatera Utara. Saya asli dari Sumatera Utara," tegas Briptu Raja Hiskia Rambe dalam  konferensi pers yang digelar di Gedung Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan seperti dilansir dari Detik News.

Warga juga diminta untuk teliti sebelum menyebar berita yang tersebar di sosial media, seperti yang diimbau Aktivis HAM, Andreas Harsono dari organisasi Human Right Watch (HRW). "Kamu tahu orang Brimob yang direkam dalam bahasa asing, bahasa apa? Itu bahasa Madura. Saya bisa bahasa Madura, jadi saya tahu dia ngomong apa. Langsung dimanfaatkan oleh satu orang," katanya kepada DW. 

Kisruh demi kekuasaan 

Ketua Setara Institute, Hendardi, berpendapat bukan tanpa sebab isu anti-Tionghoa yang digunakan, karena ini dianggap sebagai menjadi modal kuat untuk menyulut kerusuhan. Ia juga beranggapan isu tersebut hanyalah berita bohong semata yang digunakan demi meraih kekuasaan. "Menyulut kerusuhan itu salah satu cara, cara untuk meraih kekuasaan,” tegas Hendardi saat diwawancarai DW Indonesia. 

Menurutnya, mengangkat isu intoleransi seperti anti-Tionghoa menjadi cara mudah untuk memainkan emosi publik di dalam negeri, tanpa menyadari bahwa sentimen anti-Tionghoa dapat juga berdampak bagi kondisi perekonomian negara.

"Ya itu kan sudah dibuktkan pada Mei 98, bahkan sejarah kita sebelumnya. Isu anti Cina ini sangat kuat. Itu menjadi isu yang seksi dan serta merta dampak ikutannya adalah ekonomi yang akan terdampak. Seperti kita ketahui pelaku-pelaku bisnis juga banyak orang dari keturunan Cina, karena itu ini juga pasti kalau mereka takut, mereka lari keluar atau apa, bisnis macet di situ. Serta merta keuangan negara punya masalah pasti,” jelas Hendardi.

Andreas Harsono dari HRW juga beranggapan yang sama. Ia menganggap saat kerusuhan terjadi Mei 1998 maupun 2019, sentimen sengaja menyasar minoritas Tionghoa karena akan menganggu ekonomi. "Mengingat ada kesan orang Tionghoa ini identik dengan bisnis. Jadi kalau menggangu mereka, itu mengganggu ekonomi. Itu tidak benar tapi sering menjadi kesan umum," paparnya kepada DW. 

Hendrardi menegaskan bahwa para elite politik maupun pemerintah tidak boleh tinggal diam, melainkan harus turut memberi contoh kepada masyarakat. Karena menurutnya sentimen suku dan ras mempunyai efek yang sangat mendalam dalam kehidupan demokrasi Indonesia, bahkan tak tertutup kemungkinan menjadi pemicu terorisme. 

"Setara Institute bolak-balik menyatakan isu intoleransi ini mesti ditangani pemerintah. Intoleransi itu satu sikap yang menjadi anak tangga menuju terorisme,” tutup Hendardi.

rap/ts (dari berbagai sumber)