1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hari Anti Perbudakan dan Perdagangan Manusia

22 Agustus 2007

Perbudakan seharusnya tidak lagi menjadi tema, kecuali sebagai dokumentasi sejarah. Namun kenyataannya, perbudakan juga terjadi di zaman ini. 23 Agustus merupakan hari internasional anti perbudakan dan perdagangan manusia.

https://p.dw.com/p/CTA7
Orangtua yang mencari anaknya yang hilang di pabrik bata di Cina.
Orangtua yang mencari anaknya yang hilang di pabrik bata di Cina.Foto: AP

Secara global, perbudakan kian meluas. Hal ini terlihat dari meningkatnya kasus perdagangan manusia - khususnya anak-anak, bertambahnya jumlah pekerja anak dan semakin banyaknya laporan mengenai eksploitasi dan kekerasan.

Terkait masalah pekerja anak, kelompok hak azasi manusia menyorot sejumlah perusahaan Eropa. Belakangan terbongkar kasus blus baju merek Esprit. Majalah Jerman “Der Stern“ melaporkan pakaian itu dijahit oleh anak-anak di India yang berusia di bawah sebelas tahun. Anak-anak ini sebelumnya dijual oleh orangtua mereka sebagai budak. Di Cina, sekitar 1,000 orang tua Cina melaporkan anaknya telah diculik dan khawatir mereka dipaksa bekerja di pabrik-pabrik bata.

Bukan saja anak-anak yang rentan terhadap perbudakan. Nasib para pembantu rumah tangga, PRT merupakan contoh soal. Menurut perkiraan sebuah organisasi hak azasi internasional, jumlah PRT di Indonesia mencapai ratusan ribu orang gadis dan perempuan.

Esther Hoffman, dari Amnesty Internasional telah meneliti kondisi kerja para pembantu rumah tangga ini. Ia mengatakan,

“Kami telah mewawancara sejumlah pembantu rumah tangga, dan rata-rata mereka bekerja sekitar 70 jam setiap minggunya. Kebanyakan diantara mereka menyatakan tidak mendapat hari libur. “

Pembantu rumah tangga bekerja dalam sektor yang dianggap tidak resmi. Oleh sebab itu di Indonesia, tak ada ketentuan mengenai upah minimum harian, hari libur maupun jam kerja. Demikian menurut Esther Hoffman.

Temuan Juliane Kippenberg dari Human Rights Watch Jerman yang meneliti situasi perempuan muda di Guinea tidak jauh berbeda dengan kesimpulan Esther Hoffman mengenai Indonesia. Juliane Kippenberg,

“Kesimpulan kami di Guinea juga terdapat kondisi kerja yang mirip perbudakan.”

Masih di Afrika, beberapa hari lalu di Mauritania diumumkan bahwa parlemen negara-negara Afrika Barat memutuskan perbudakan sebagai pelanggaran hukum. Pelaku dalam kasus-kasus ini dapat dijatuhi hukuman sampai 10 tahun penjara.

Tapi mengapa undang-undang itu dibutuhkan, padahal sejak tahun 1981 perbudakan sudah dilarang di negara-negara itu? Ternyata, sampai kini ada sekitar 600 ribu keturunan Afrika yang bekerja bagai budak dalam rumah-rumah tangga keturunan Arab.

Tidak di Asia, Afrika, Amerika maupun Eropa, upaya untuk memeranginya perlu ditingkatkan, sehingga perbaikan kondisi bisa terjadi. Salah satu upaya yang sukses adalah aksi besar-besaran yang dilancarkan dua bulan lalu di Amerika Latin. Pihak kepolisian berhasil membebaskan 1000 pekerja dari sebuah perkebunan tebu.

Di sana si pemilik lahan, yang menjual tebu itu kepada produsen energi alternatif, memperbudak para pekerjanya. Cara menjerat mereka, tidak lain dari sistim pemerasan yang sudah berlangsung berabad-abad. Para karyawan wajib membeli kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, pakaian, obatan dengan harga mahal dari si pemilik lahan. Akhirnya para pekerja itu terjerat utang yang tak terbayarkan dan terpaksa bekerja rodi.

Bentuk dan sistim perbudakan di zaman global ini semakin canggih, untuk menghentikannya diperlukan upaya yang lebih canggih pula.