1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Berharap Transparansi Rencana Beli Alutsista Rp1.700 Triliun

2 Juni 2021

Indonesia memang butuh modernisasi alutsista. Namun masalah ketergesaan dan kurangnya transparansi membuat publik mempertanyakan rencana belanja dengan angka fantastis ini.

https://p.dw.com/p/3uJVz
Salah satu panser milik TNI Angkatan Laut
Salah satu panser milik TNI Angkatan LautFoto: Getty Images/R. Pudyanto

Rencana Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) dengan nilai setara Rp1.750 triliun atau 1,7 kuadriliun rupiah dipertanyakan banyak pihak, pasalnya dana yang dipakai akan bersumber dari utang luar negeri. Pakar keamanan dan anggota DPR menilai rancangan ini tergesa-gesa dan tidak terbuka kepada publik.

Rencana tersebut tertuang dalam rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (alpalhankam) Kemenhan dan TNI tahun 2020 hingga 2024. Dalam rancangan perpres itu, tertulis Menteri Pertahanan Prabowo Subianto adalah orang yang merancang kebutuhan alpalhankam Kemenhan dan TNI.

Dalam rancangan perpres itu tertulis angka yang dibutuhkan untuk membeli alutsista adalah senilai lebih dari Rp1,7 kuadriliun. Anggaran ini meliputi akuisisi alpalhankam, pembayaran bunga tetap selama 5 periode renstra, dan dana kontingensi serta pemeliharaan dan perawatan alpalhankam.

Panic buying dan impulsif?

Adapun negara yang akan memberi pinjaman ke Kemenhan adalah negara yang memiliki hak veto di Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Inggris, dan Cina.

"Dibutuhkan studi yang sangat komprehensif terkait ini, minimal 4-5 tahun ke depan. Sehingga terkesan ada ketergesa-gesaan dari pemerintah sendiri karena ada risiko besar juga kalau punya uang besar untuk dibelanjakan," demikian menurut pakar keamanan dan pertahanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhamad Haripin, dalam wawancara dengan DW Indonesia di Jakarta, Selasa (01/06).

Haripin mengatakan belanja dalam jumlah besar juga butuh pengawasan untuk mencegah penyelewengan dan korupsi. "Kekhawatirannya adalah anggaran yang sedemikian besar, tidak terkontrol dengan baik, uang sebanyak itu akhirnya mencar ke mana-mana. Tidak efektif dan efisien," tambahnya. 

"Ini seolah ada panic buying, dan beli secara impulsif, sehingga skala prioritas tidak tercapai. Apakah alat yang dibeli itu cocok untuk Indonesia? Apa dibutuhkan oleh tiga matra? Apa spare part terjamin, Apakah SDM bisa operasionalkan alatnya, dan apakah memang bisa tangkal ancaman. Ini bersifat teknis namun dalam pengadaan sangat penting," ujar Haripin.

Muhamad Haripin
Muhamad Haripin, Koordinator Pusat Studi Keamanan dan Keamanan LIPIFoto: privat

Hal senada disampaikan pakar keamanan dan pertahanan Susaningtyas Kertopati yang mengatakan bahwa pengelolaan aliran dana sebesar itu perlu pengawasan yang baik.

"Sistem pengawasannya harus tepat dan transparan, baik pengawasan internal, eksternal, DPR, dan Ombudsman."

Meski demikian, Susaningtyas mengatakan angka sebesar Rp1.750 triliun adalah angka yang wajar jika dibandingkan dengan sistem pertahanan di negara lainnya seperti Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat.

"Indonesia negara besar tentu pantas memiliki kekuatan militer yang tangguh. Memang saat ini harus disesuaikan dengan prioritas negara hadapi COVID-19, tetapi kita juga jangan lupa memperkuat diri dalam bidang pertahanan dan keamanan," katanya.

Beban terhadap APBN

Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan mayoritas alutsista Indonesia sudah berusia tua dengan kondisi memprihatinkan sehingga diperlukan modernisasi alpalhankam.

Meskipun pembiayaan yang dibutuhkan besar dan bersumber dari pinjaman luar negeri, Dahnil yakin nilainya nanti dipastikan tidak akan membebani APBN. "Dalam arti, tidak akan mengurangi alokasi belanja lainnya dalam APBN yang menjadi prioritas pembangunan nasional," ujar Dahnil dalam rilis yang diterima DW Indonesia. 

Ia menjelaskan pinjaman yang akan diberikan negara-negara tersebut diberikan dalam tenor yang panjang dan bunga sangat kecil serta proses pembayarannya menggunakan alokasi anggaran Kemenhan dalam APBN.

"Dengan asumsi alokasi anggaran Kemhan di APBN konsisten sekitar 0,8% dari PDB selama 25 tahun ke depan," kata dia.

Namun hal tersebut dibantah Haripin. Menurutnya, utang dalam jumlah besar pasti akan membebani APBN.

"Saya amat ragu pernyataan dari Kemhan yang menyatakan masa pinjaman lama, tenor lama, dengan bunga rendah. Yang namanya loan itu akan menjadi beban anggaran secara keseluruhan," ujar Koordinator Pusat Studi Keamanan dan Keamanan LIPI itu.

Kesenjangan hambat tugas pengamanan nasional

Menurut Haripin, kondisi sekarang rata-rata kekuatan operasional atau kesiapan dari alutsista dari tiga matra TNI ada di kisaran 60 - 70%. "Masih ada gap 30% dari kapasitas maksimal dan dalam kacamata strategis, kesenjangan itu punya dampak yang signifikan dalam meninjau tugas di lapangan dan jaga keamanan nasional," menurut Haripin.

"Apabila ditanya dengan yang ada sekarang, apakah alutsista sudah mampu maksimal menjaga kedaulatan? Ya tentu saja belum mampu karena banyak dari alat kita sudah tua dan sistem kurang memadai," ujar dia sambil mencontohkan satuan radar Indonesia yang masih berada di angka 8 buah dari total kebutuhan 32 buah. 

"Gap itu yang banyak menghambat keamanan nasional. Dilihat dari luas wilayah, segi ancaman misalnya kapal selam Indonesia butuh setidaknya 18 unit, untuk jaga dari Sabang sampai Merauke," kata Haripin.

Indonesia baru saja kehilangan kapal selam KRI Nanggala pada 21 April 2021 saat melakukan latihan penembakan torpedo di perairan utara Bali. Dengan demikian, Indonesia kini hanya punya empat kapal selam yang dioperasikan oleh TNI AL.

Transparansi pemakaian uang rakyat

Anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon mengatakan pihaknya meminta penjelasan dari Kemenhan terkait hal ini sehingga tidak menjadi isu yang bias di luar.

"Kami ingin dengar dari Menhan, karena kalau dipanggil tidak pernah datang. Rencana modernisasi alutsista memang dibutuhkan kami akan sepenuhnya sokong namun kita harus tahu proposal seperti apa yang diajukan."

"Bagaimana prosedurnya, publik harus dilibatkan. Bagaimana kajian mendalam tiga matra, tingkat ancaman seperti apa? Kita ingin tahu langsung. Term condition seperti apa? Apa persyaratannya? Apa skema persyaratannya mencekik pemerintah," ujar dia kepada DW Indonesia.

Menurut Effendi, semua yang berkaitan dengan kepentingan negara harus transparan karena menyangkut kedaulatan rakyat.

"Itu semua harus dipertanggungjawabkan karena rakyat yang punya uang. Uang yang dipakai nyicil nanti uang rakyat, kecuali uang yang dipakai uang pribadi dan nenek moyang sendiri, itu terserah." (ae/pkp)

Kontributor DW, Tria Dianti
Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.