1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gus Dur, Pahlawan Rakyat

6 September 2017

Sepeninggal Gus Dur, sosoknya masih melekat di benak masyarakat Indonesia. Beberapa kalangan mengenangnya dengan penuh kebencian, tapi sebagian besar menganggapnya sebagai pahlawan. Opini Alissa Wahid.

https://p.dw.com/p/2jPPy
Indonesien Plakat Gus Dur
Foto: Jaringan GUSDURian Indonesia

Makam Abdurrahman Wahid, Presiden keempat Indonesia dan pemimpin Nahdlatul Ulama di sebuah kota kecil di Jawa Timur dikunjungi oleh lebih dari 1,5 juta orang setiap tahunnya. Memang inilah tradisi bagi orang-orang dari NU (organisasi Muslim terbesar di Indonesia dengan 60 juta anggotanya) untuk mengunjungi makam ulama yang dihormati, namun makam Gus Dur adalah satu-satunya tokoh yang dikunjungi orang-orang dari semua lapisan masyarakat dan agama: biksu Buddha, Biarawati dan pendeta Katolik, peziarah Hindu, orang Tionghoa, penduduk desa, dan kelompok band punk.

Setiap ditanya "Mengapa semua orang sangat mencintai Gus Dur?" KH Mustafa Bisri, sahabat Gus Dur, selalu menjawab "karena dia sangat mencintai rakyat." Hal yang sederhana, namun ketika dilakukan oleh sosok pemimpin yang berkarisma, hal ini berdampak pada perubahan dan transformasi sosial.

Penulis: Alissa Wahid
Penulis: Alissa WahidFoto: DW/Röhl

Sebagai Ketua Umum Nahdlatul Ulama selama 15 tahun, Gus Dur menjadi lokomotif membawa organisasi ini ke periode paling progresif dengan pandangan Islam inklusif. NU menjadi organisasi Islam yang secara kuat menyatakan dukungan kepada demokrasi Indonesia.

Meninggalkan warisan demokrasi yang kuat

Gus Dur adalah presiden pertama yang dipilih secara bebas oleh parlemen Indonesia setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Kepresidenannya hanya berlangsung 2 tahun, tapi meninggalkan warisan demokrasi yang kuat. Gus Dur berhasil memperkuat supremasi sipil dan supremasi hukum dengan demiliterisasi jabatan-jabatan sipil.

Prioritasnya kepada penguatan demokrasi menghasilkan rintisan seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Ombudsman, dan lain-lainnya.  Yang tidak terwujud hanyalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Pelanggaran HAM Masa Lalu, berakibat sampai saat ini masih terkatung-katungnya tragedi '65 dan lainnya. Gus Dur 'hanya' berhasil mencabut cap Eks Tapol dalam Kartu Tanda Penduduk, yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap sebagai bagian atau keluarga dari kelompok komunis '65 dan berujung pada diskriminasi berkepanjangan.

Tahun 2000, Gus Dur mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Juga mengeluarkan kebijakan perlindungan hak-hak buruh domestik maupun migran, dengan mencabut kebijakan yang eksploitatif. 

Rakyat Papua mengenang Gus Dur sebagai Presiden yang mengembalikan nama Papua sebagai penghormatan atas jati diri dan martabat mereka, dan mencabut nama Irian Jaya. Selama era Gus Dur, operasi militer dihentikan, bahkan diberikan dukungan kepada Kongres untuk Rakyat Papua sebagai upaya penyelesaian damai. Demikian pula upaya damai di Aceh, ditandai dengan kunjungan Sekretaris Negara ke Panglima GAM di markas mereka.

Di banyak kelenteng Indonesia ada sinchia Gus Dur, di mana nama atau potretnya diletakkan di antara para leluhur. Inilah bentuk penghormatan atas kebijakannya mencabut larangan ekspresi budaya Tionghoa sejak tahun 1967. Kini, masyarakat Tionghoa Indonesia bebas untuk mengekspresikan diri mereka sendiri.

Tentu saja tidak semuanya berlangsung mulus. Gus Dur ditentang terutama oleh kaum Islamis Indonesia yang bercita-cita agar Indonesia lebih "Islami", tidak disukai oleh militer Indonesia karena hilangnya kekuasaan mereka, dan dibenci pendukung oligarki. Ujungnya, Gus Dur kalah dalam kontestasi politik dan memutuskan mundur dari jabatan Presiden. Ini dilakukannya setelah mengetahui ribuan pendukungnya mulai mendatangi Jakarta. „tidak ada kekuasaan yang layak dipertahankan mati-matian di atas pertumpahan darah" menjadi kalimat terkenal yang mengakhiri periode Kepresidenannya.

Lalu apa sumber segala kebijakan dan tindakan afirmatif yang dilakukan Gus Dur ini?

Semua ini berasal dari keyakinannya yang teguh pada Islam dan Demokrasi. Gus Dur meyakini bahwa Islam membawa nilai-nilai universal, sebagaimana tampak dari semangat Islam Rahmatan li Alamin, Islam sebagai rahmat bagi semesta. Demokrasi, dengan segala keterbatasannya, menjadi pilihan terbaik saat ini untuk mewujudkan nilai universal Islam untuk kemaslahatan manusia. Menurutnya, „demokrasi tidak hanya tidak haram, ia bahkan adalah elemen wajib dalam Islam. Menegakkan demokrasi adalah salah satu prinsip Islam, yaitu as-syura (Musyawarah)."

Gus Dur juga menjadikan kaidah "tasharuf al-imam ala al-raiyyah manuthun bi al-maslahat" (kebijakan seorang pemimpin sangat bergantung untuk mencapai kesejahteraan umatnya) sebagai panduan. Karena itu, Gus Dur mengabdikan dirinya untuk rakyat yang dicintainya.

Dengan begitu banyak warisan, tidak mengherankan bahwa Gus Dur dicintai oleh masyarakat Indonesia, dan bahkan masih mempengaruhi Indonesia saat ini. Di kala dunia sedang menghadapi tantangan tarik-menarik Islamisme dan Islampfobia, pemikiran dan perjuangan Gus Dur akan menjadi sumber inspirasi bahwa Islam sejatinya adalah bagian besar dari dunia, dan bahwa Islam dapat memainkan peran vcitalnya untuk mewujudkan tugas besar Nabi Muhammad SAW: Islam sebagai berkat untuk alam semesta (Islam Rahmatan li al-Alamin).

Penulis:

Alissa Wahid (ap/rzn), Jaringan GUSDURian Indonesia (GUSDURian Network Indonesia)

@AlissaWahid