Guru Gay di Jerman
17 September 2013Homo dan banci umpatan itu kerap terdengar di halaman sekolah. “Cemoohan semacam itu terjadi berulang-ulang,“ kata Alexander Lotz. Ia mengajar Biologi dan Kimia di sebuah sekolah menengah di Frankfurt dan semenjak pengakuannya sebagai seorang gay, ia sering terlibat perselisihan.
Ia mengaku homo pada murid-muridnya karena jengkel mendengar bahasa gaul yang mereka gunakan. Siswa sekolah kerap melontarkan istilah "Semua homo di sini.“ Ini ungkapan remaja Jerman yang merupakan sinonim bahwa sesuatu itu buruk atau tak nyaman.“ Lotz memberi tahu murid-muridnya kalau ia tak menyukai kata-kata itu karena ia adalah homo.
Tidak banyak yang mengaku gay
Lotz tentu saja bukan satu satunya guru gay di Jerman. Tapi kebanyakan guru berorientasi seksual sejenis di sekolah-sekolah di Jerman berpikir dua kali sebelum mengaku sebagai gay.
Diperkirakan sekitar 90 persen guru homoseksual yang secara pribadi mengaku mereka gay. Tapi hanya 10 persen yang secara resmi mengaku gay di sekolah. Sebagian dari mereka tak ingin membawa kehidupan pribadi ke sekolah, banyak yang khawatir akan reaksi para murid.
Rekan-rekan kerjanya pun tak selalu mendukung langkah publik semacam itu. Lotz mengaku sering mendengar perkataan, “Kalau kamu tidak mengaku, pasti kamu tak akan akan punya masalah seperti ini.“
Demonstrasi untuk toleransi
Kaum homoseksual telah memperjuangkan persamaan hak dalam sistem pendidikan Jerman sejak satu dekade. “Tahun 1974 seorang guru homo dipecat, karena terang-terangan mengaku homo,“ kata seorang pensiunan guru, Detlef Mücke. Dulu, bersama rekannya para guru dan murid, ia berdemo agar guru homo yang sangat disukai di sekolah itu dipekerjakan kembali.
Di Jerman sampai tahun 1969, undang-undang melarang guru mengaku sebagai kaum lesbian, gay, biseksual dan transjender (LGBT). Semenjak itu, beberapa hal telah berubah. Baik secara hukum maupun terkait kesadaran banyak orang terhadap kaum homoseksual.
Tapi di banyak kota di Jerman - seperti Köln yang terkenal sebagai kubu kaum homo- toleransi sering cepat mencapai batasnya. Di Eropa juga tak jauh berbeda.
Hasil sebuah studi menyebutkan, di Belanda yang terkenal sebagai pelopor hak-hak persamaan hukum kaum LGBT sedunia, hanya sekitar 5 persen murid di negara itu yang menyatakan tidak keberatan terhadap guru atau sesama siswa gay.
"Justru di sekolah, banyak yang merasa mulai ketakutan," kata komisaris Uni Eropa Viviane Reding. "Mereka menyembunyikan orientasi seksualnya, itu strategi bertahan hidup."
Prakarsa pribadi di setiap negara bagian
Björn Kiefer berupaya melawan 'ketidaknampakan' ini. Guru yang berasal dari Bergisch Gladbach dekat Köln itu, terus berupaya agar sekolahnya menjadi “Sekolah Keberagaman“. Program ini telah dijalankan sejak beberapa tahun dan didukung oleh kementrian di negara bagian Nordrhein Westfallen.
Homoseksualitas diangkat jadi tema, contohnya dalam kelompok kerja khusus siang hari atau di stan-stan perayaan sekolah. Björn Kiefer juga membahas tema homoseksual dalam pelajaran politik. Akan tetapi tidak banyak sekolah yang ikut program ini. Di negara bagian Jerman Nordrhein Wesfallen hanya terdapat 6 sekolah yang ikut program ini.
Negara bagian lainnya ada yang lebih maju. Berlin misalnya. Di sana, setiap siswa mempunyai pembimbing terkait tema ”Keragaman seksual”. Walikota Berlin Klaus Wowereit, yang juga seorang gay, secara aktif mendukung kegiatan tersebut.
Sementara sejumlah negara bagian bahkan tidak memiliki program semacam ini, contohnya Hessen, di mana Alexander Lotz mengajar. Ia menyalahkan partai liberal dan partai kristen demokrat bertanggung jawab akan hal ini.
Heteroseksualitas jadi standar baku
“Di Jerman masalah pendidikan ditentukan oleh masing-masing 16 negara bagian– akibatnya para guru homo dan lesbi harus mengorganisir kelompok mereka di setiap negara bagian. "Kita harus melakukannya 16 kali, itu sangat melelahkan,” kata Alexander Lotz dalam pembicaraan dengan DW.
Banyak pihak menilai penting untuk membicarakan tema homoseksulitas secara lebih mendalam di pelajaran. “Saat ini, tema homoseksual nyaris tak pernah dibahas di buku-buku pelajaran sekolah," kata Björn Kiefer.
Alexander Lotz berpendapat, untuk itu pendidikan guru harus diubah. Jika dalam pelajaran biologi dibahas mengenai heteroseksualitas, orang-orang beranggapan seolah-olah hanya ada satu norma seksualitas yang harus dipatuhi. “Karena itu, para guru harus dididik kembali, agar mereka tidak terjebak dalam perangkap ini.”