1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiJepang

Mengapa Kaum Muda Jepang Enggan Terjun ke Sektor Pertanian?

26 Juni 2024

Kaum muda Jepang lebih senang bekerja di kota, dengan janji lebih banyak uang dan hiburan. Sedangkan sektor pertanian tradisional kekurangan pekerja.

https://p.dw.com/p/4hTPI
Kegiatan pertanian di Jepang
Petani di JepangFoto: Kyodo/picture alliance

Keiko Ishii mengaku sangat lega karena putra bungsunya memutuskan pulang ke kampung halamannya dan mengambil alih pengelolaan pertanian keluarga, menjadikannya generasi kelima dalam keluarga mereka yang menekuni bisnis pertanian keluarga.

"Dia merantau ke Tokyo selama beberapa tahun untuk bekerja dan saya sempat khawatir dia tidak ingin kembali. Tapi neneknya selalu berbicara dengan dia tentang kehidupan di pertanian dan sepertinya hal itu meresap dalam dirinya,” kata perempuan yang sudah berusia 75 tahun itu.

"Dia bilang dia merindukan pedesaan dan kami senang ketika dia memberi tahu kami bahwa dia ingin kembali,” kata Keiko Ishii, yang sudah tinggal di di Prefektur Tochigi selama 42 tahun, sejak menikah dengan suaminya, Yoshiyuki Ishii, yang berusia 77 tahun.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

 

"Dia pulang bersama istri dan dua anaknya, dan sedikit demi sedikit kami mengajari mereka cara kerja pertanian.”

Keputusan Takashi Ishii menyenangkan orang tuanya, tapi hal seperti ini tidak sering terjadi di Jepang. Bertani bukanlah karir yang populer bagi banyak anak muda Jepang, yang sudah terbiasa dengan kenyamanan dan gaya hidup gemerlapan di kota besar. Banyak kaum muda juga tidak menyukai gagasan harus bekerja berjam-jam dalam segala cuaca dan melakukan pekerjaan yang menuntut ketahanan fisik dengan gaji yang rendah.

Para petani Jepang makin tua

Karena sebagian besar generasi muda tidak ingin mengikuti orang tua mereka dalam bercocok tanam, para petani di Jepang semakin tua. Ketika mereka pensiun, banyak lahan pertanian terpaksa dibiarkan terlantar. Menurut laporan tahunan pemerintah mengenai kondisi industri pertanian, yang dirilis pada 31 Mei lalu, oada tahun 2023 ada sekitar 1,16 juta orang Jepang bekerja di bidang pertanian, turun drastis dari 2,4 juta orang pada tahun 2000. Dari jumlah pekerja pertanian saat ini, hanya 20% yang berusia di bawah 60 tahun.

Jepang sekarang harus mengimpor sebagian besar pangan yang dikonsumsi penduduknya dan rasio swasembada pangan negara tersebut hanya mencapai 38%. Jika konflik di Laut Cina Selatan atau di perairan sekitar Taiwan,  yang menjadi jalur laut penting untuk impor dan ekspor dari Jepang, meruncing, situasi itu dapat dengan cepat mengganggu pasokan pangan di Jepang.

Pemerintah Jepang sejak lama mencoba mengatasi masalah ini. Undang-Undang tentang Pangan, Pertanian dan Kawasan Pedesaan yang disahkan tahun 1999, antara lain menyerukan agar tingkat swasembada pangan ditingkatkan menjadi 45% pada tahun 2030. Namun, tampaknya, target itu tidak akan tercapai, terutama jika makin banyak generasi muda meninggalkan kawasan pedesaan.

Robot Agraria atasi Kelangkaan Tenaga Kerja

Jam kerja panjang, pendapatan relatif rendah dan tidak stabil

"Petani harus bangun pagi-pagi sekali, dan pagi hari adalah waktu tersibuk, terutama jika Anda juga mencoba mengantar anak-anak ke sekolah pada waktu yang sama,” kata Keiko Ishii. "Musim panas juga semakin panas, jadi sebaiknya segera berangkat dan melakukan sebanyak mungkin pekerjaan sebelum hari menjadi terlalu panas. Jam kerjanya panjang, dan selalu ada sesuatu yang perlu dilakukan."

Selain jam kerja yang panjang dan pekerjaan yang menuntut ketahanan fisik, pendapatan biasanya juga di bawah pendapatan rata-rata di Jepang, yaitu sebesar 6,2 juta yen Jepang per tahun, atau sekitar 620 juta rupiah.

"Ini bukan pekerjaan yang populer karena pendapatan yang rendah dan tidak stabil,” kata Kazuhiko Hotta, profesor di Universitas Pertanian Tokyo kepada DW. "Pemerintah pusat dan daerah menerapkan berbagai kebijakan untuk mendorong masyarakat menjadi petani, termasuk bantuan biaya hidup sampai petani baru bisa menetap, mengatur sewa lahan pertanian, dan meningkatkan kesempatan untuk mempelajari keterampilan baru. Tapi sejauh ini, dampaknya tidak efektif."

Kazuhiko Hotta juga prihatin dengan "tingkat swasembada Jepang yang sangat rendah” karena pasokan yang stabil sangat penting bagi kelangsungan hidup negara tersebut, jelasnya. Tapi dia tetap optimistik. "Semakin banyaknya petani yang menua dan pensiun, maka akan ada petani baru yang masuk dan akan ada peningkatan pengelolaan perusahaan skala besar,” ujarnya. "Hal ini akan memungkinkan terjadinya transformasi menuju bentuk pertanian yang lebih efisien, meskipun hal ini perlu waktu.”

Meski menghadapi tantangan, keluarga Ishii tidak berniat menyerah. "Ini kerja keras, tentu saja, tapi tidak ada pekerjaan yang lebih baik bagi seseorang yang suka berada di luar ruangan, yang suka dikelilingi oleh alam,” kata Keiko Ishii. "Saya tidak pernah melihat jam untuk mengetahui, apakah sudah waktunya pulang. Dan merupakan hal yang baik untuk memiliki fleksibilitas menjadi bos bagi diri Anda sendiri. Itulah beberapa alasan, mengapa anak saya kembali ke sini.”

(hp/as)

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.