1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gempa bumi baru dan masterplan untuk Aceh

31 Maret 2005

Tiga bulan setelah bencana tsunami 26 Desember tahun lalu, gempa bumi berkekuatan 8,7 kembali mengguncang kawasan pantai Samudra Hindia dan menimbulkan kepanikan di antara penduduk pantai di Indonesia , Thailand, India dan Sri Lanka. Kembali Indonesia paling berat terkena gempa bumi tsb.

https://p.dw.com/p/CPOn
Kerusakan berat di Gunung Sitoli di Nias
Kerusakan berat di Gunung Sitoli di NiasFoto: AP

Kerusakan terberat akibat gempa bumi terjadi di Pulau Nias, dimana korban tewas hingga sekarang tercatat 1.000 orang. Juga sudah datang tawaran bantuan bagi korban gempa bumi di Nias dari negara-negara asing. Bahkan sebagian bantuan telah masuk.

Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung yang antara lain mengutip keterangan Gubernur Sumatra Utara Rizal Nurdin, melaporkan:

Jumlah korban di Nias diperkirakan akan terus membengkak mengingat sebagian besar korban masih tertimbun di reruntuhan bangunan.Akibat cuaca buruk regu penyelamat sulit mencapai tempat musibah. Bahkan dengan helikopter pun hampir tidak mungkin mencapai lokasi bencana. Selain Nias juga pulau tetangga Simueleu mengalami kerusakan berat. Tampaknya sistim peringatan dini di negara-negara Asia kali ini berfungsi dengan baik. Hanya pihak berwajib di Indonesia kurang cepat bertindak. Baru beberapa jam setelah gempa bumi, polisi dengan megafon menginformasikan penduduk bahwa tidak ada bahaya tsunami.

Harian Stuttgarter Zeitung menyoroti situasi pembangunan kembali di Aceh yang belum menunjukkan kemajuan:

Baru saja pemerintah Indonesia mempresentasikan masterplannya untuk pembangunan kembali Aceh, dan Wapres Jusuf Kalla, akhir pekan lalu, menyatakan telah berakhirnya tahap tanggap darurat, seraya menekankan normalisasi kehidupan sehari-hari di Propinsi Aceh yang hancur secara berangsur akan pulih kembali , esok harinya pantai Sumatra kembali diguncang gempa bumi. Gempa bumi baru itu mengalihkan perhatian dari rencana pembangunan kembali jangka panjang pemerintah Indonesia , yang menurut Wapres Jusuf Kalla, hendak memberikan perspektif baru kepada rakyat Aceh. Meski tidak disebut, yang dimaksud oleh Kalla adalah juga masa depan konflik dengan GAM. Dikabarkan, GAM mungkin akan melepaskan tuntutannya akan kemerdekaan, bila pemerintah RI menyetujui pemilihan umum bebas untuk memilih pemerintahan regional di Aceh. Selain itu, menteri komunikasi dan informasi Sofyan Djalil menganggap perundingan perdamaian berikutnya tanggal 12 April mendatang punya makna menentukan bagi masa depan Aceh.

Harian Stuttgarter Zeitung juga menulis, pemerintah Indonesia mengerem pembangunan kembali di Aceh, dan membatasi komitmen para sukarelawan asing:

Tawaran PBB untuk membangun 35 ribu rumah di Aceh ditolak oleh Indonesia. Juga tidak jelas sejauh mana pembatasan bagi para sukarelawan asing di bulan-bulan mendatang. Jakarta hendak menginvestasikan sekitar 4 milyar dollar bagi pembangunan kembali Aceh, namun rencana pembangunan dapat mempertajam konflik dengan GAM, bila perundingan perdamaian di Helsinki gagal. Sebab TNI hendak mencegah GAM memanfaatkan bantuan untuk memperkuat pasukannya dan mendapatkan simpati dari luar negeri. Tanpa pembagian bantuan secara jujur , konflik politik di Aceh akan semakin tajam.

Mengenai rencana ambisius bagi pembangunan sistim peringatan dini tsunami , Stuttgarter Zeitung menekankan:

Menguasai teknologi dan kemampuan menganalisasi dengan cepat data-data yang masuk, hanya merupakan satu tahap. Tantangan terbesar adalah soal komunikasi. Membangun sistim peringatan dini hanya untuk menunjukkan kemampuan dan kepandaiannya, tidak ada gunanya. Yang penting, mengkomunikasikan peringatan itu kepada penduduk, sampai di desa-desa yang terpencil pun. Untuk itu diperlukan sistim komunikasi baru, diperlukan personel yang terlatih. Juga penting latihan secara teratur bagi penduduk untuk menyikapi sirene tanda bahaya dan peringatan. Itu semua memerlukan persiapan yang cermat.