1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sri Mulyani Akan Tangani Anggaran Aneh di DKI

Detik News
2 November 2019

Kontroversi anggaran aneh bernilai fantastis dalam KUA-PPAS DKI Jakarta, menimbulkan reaksi sejumlah pihak. Menteri Keuangan, Sri Mulyani pun mengaku akan turun tangan menangani masalah ini.

https://p.dw.com/p/3SMTm
Indonesien Finanzministerin Sri Mulyani Indrawati
Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Rusman

Munculnya anggaran 'aneh' dalam Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah jadi sorotan publik. KUA-PPAS ini nantinya menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2020.
Keanehan anggaran ini terungkap ketika Anggota DPRD DKI Fraksi PSI, William Aditya Sarana menyoroti anggaran lem Aibon senilai Rp 82 miliar di Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Barat. Ada pula anggaran ballpoint Rp 124 miliar jadi pertanyaan PSI.
Selain ballpoint, ada juga anggaran kertas Rp 213 miliar, tinta printer Rp 400 miliar, stabilo Rp 3 miliar, penghapus Rp 31 miliar dan Rp 31 miliar kalkulator.

Kontroversi anggaran ini menyita perhatian Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sri Mulyani mengatakan bakal ikut turun tangan untuk meningkatkan kualitas anggaran daerah.

Saat ditanyakan mengenai kejanggalan anggaran lem Aibon, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan akan menggandeng Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meningkatkan kualitas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Kita nanti akan bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri di dalam meningkatkan kualitas dari APBD tentunya," katanya di Kementerian Keuangan Jakarta, Jumat (1/11/2019). Dia menambahkan, berbagai hal akan dikoordinasikan untuk menunjang hal tersebut. "Dan berbagai hal nanti akan kita koordinasikan bersama," tambahnya.

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian akan berbicara dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal masalah alokasi anggaran tersebut.

"Saya kan baru juga. Nanti saya komunikasikan dengan Pak gubernur. Saya sendiri kan baru. Bicara dengan Pak Anies dan Pak Prasetio (Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi, red), saya kan kenal baik dua-duanya," ujar Tito di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (30/10/2019).
Tito mengatakan, masih ada mekanisme internal di Pemprov DKI. Tito belum akan mengintervensi. "Kita lihat saja nanti. Kan masih ada mekanisme internal di sana. Ada inspektoratnya, ada kajian di DPRD-nya. Kita belum mengintervensi sampai ke sana dulu," kata Tito.

Anies Baswedan
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.Foto: Imago Images/Zuma Press/R. Reyes Marin

Anies: sistem tidak pintar

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebenarnya sudah buka suara menanggapi polemik anggaran aneh tersebut. Anies menyatakan tak ingin menyalahkan bawahannya dan memilih koreksi internal. Ia menambahkan tak ingin mengumumkan dan menyoroti anak buahnya secara terbuka karena bikin heboh.
"Kalau diumumkan hanya menimbulkan kehebohan. Sebenarnya kelihatan keren sih marahin anak buahnya, tapi bukan itu yang saya cari tapi yang saya cari adalah, ini ada masalahnya, ini harus dikoreksi karena mengandalkan manual," kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Anies justru menyalahkan sistem yang ia sebut tak pintar. Menurutnya, sistem itu hanya digital saja namun mengandalkan orang untuk me-review. "Iya, jadi sistemnya sekarang ini sudah digital, but not a smart system (tetapi bukan sistem yang pintar). Itu hanya digital aja, mengandalkan orang untuk me-review. Itu sudah berjalan bertahun-tahun. Karena itu ini akan diubah, tidak akan dibiarkan begitu saja. Lets do it in a smart way," ucapnya.
Anies lantas menyalahkan sistem warisan. Dia pun tak ingin sistem ini diwariskan kepada gubernur setelah dirinya.
"Kan ditemukan juga di era-era sebelumnya. Selalu seperti ini. Karenanya, menurut saya, saya tidak akan meninggalkan ini ke gubernur sesudahnya, PR ini. Karena saya menerima warisan nih, sistem ini. Saya tidak ingin meninggalkan sistem ini untuk gubernur berikutnya," ucap Anies.

Polemik e-budgeting

Sistem warisan yang disebut tidak smart tak lain ialah e-budgeting. Apa itu?

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menjelaskan, e-budgeting merupakan sistem penyusunan anggaran yang mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) No 145 tahun 2013. "Jadi begini e-budgeting dasarnya Pergub 145 Tahun 2013, di situ dijelaskan penyusunan anggaran DKI Jakarta namanya KUA-PPAS (Kebijakan Umum APBD Plafon Prioritas Anggaran Sementara) itu harus mengacu pada itu," katanya kepada detikcom, Kamis (31/10/2019).
Lanjutnya, e-budgeting merupakan sistem digital atau komputerisasi. Di mana, kata dia, rencana program dan anggaran pemerintah DKI Jakarta dimuat di dalamnya. "Sistem e-budgeting itu sebenernya sistem yang menggunakan komputerasi, di situ sudah detail, apa-apa sudah ada semua. Jadi semuanya tinggal memasukan aja. Artinya, detail program sudah ada, tinggal dimasukan aja gitu, semua sudah memadai sudah cukup lengkap," paparnya.
Terkait dengan polemik e-budgeting, Trubus menjelaskan, bukan perkara mengenai sistem. Dia berpendapat polemik itu terjadi karena ada kesalahan orang yang memasukan anggaran. Menurutnya, ada kesengajaan penggelembungan anggaran alias dana-dana fiktif.
"Kemudian bagaimana polemik sekarang terjadi, sebenarnya yang terjadi lebih disebabkan bukan salah sistem, tapi salah orang memasukannya. Jadi salah pada manusianya, pada orangnya. Di situ memang bukan salah input, itu menurut saya kesengajaan yang memang selama ini mereka itu sudah, SDM di DKI Jakarta yang menyusun anggaran menggelembungan dana atau mencantumkan dana-dana fiktif," ungkapnya.

Apa kata pakar jaringan saraf buatan?

"Anies berkata tinggal dibuat algoritma saja, untuk membuat sistem smart 'if ..., then...'. Permasalahannya, untuk mengisi 'if ...' seperti yang dikatakan Anies itu, akan ada hampir tak terhingga kemungkinan," ujar guru besar di Department of Mechanics and Information, Chukyo University, Jepang, Pitoyo Hartono.

"Lagipula kalau gampang, kenapa tidak dibuat dari dulu-dulu." Pitoyo memberi penjelasan, sistem 'if..., then..' yang disebut Gubernur Anies itu dikenal dengan nama "expert system". Namun sistem itu sudah usang alias ketinggalan zaman. "Sistemnya 'laku' keras di tahun 80-an, tapi terus ditinggalkan karena problem yang saya sebut itu. Ada terlalu banyak kemungkinan yang harus dipikirkan," kata Pitoyo pada detikcom, Jumat (1/11/2019).

Doktor lulusan Universitas Waseda, Jepang itu mengatakan untuk masa kini dikembangkan sistem cerdas modern yang kebanyakan dibangun dengan menggunakan komponen utama kecerdasan buatan yakni neural network atau jaringan saraf buatan."Untuk membuat sistem yang dapat membedakan anggaran yang wajar dan tidak dengan kecerdasan buatan bukan sesuatu yang sulit," katanya.
Proses desainnya dengan mengumpulkan data-data masa lalu, baik untuk anggaran yang wajar maupun tidak wajar. Selanjutnya "melatih" jaringan saraf buatan itu melalui satu proses matematis yang disebut learning. Dalam proses "belajarnya" jaringan saraf buatan akan "menemukan" pola wajar atau tidak. Pola itu lantas bisa digunakan untuk mengklasifikasi anggaran yang baru.
"Mata anggaran yang baru akan diklasifikasikan, ke dalam kelas wajar atau tidak dengan akurasi yang baik dan ribuan kali lebih cepat dan konsisten dari manusia," ujar Pitoyo.

"Hanya saja neural network yang tanpa campur tangan expertise manusia itu mempunyai kelemahan." Sistem cerdas modern tersebut kata Pitoyo tidak bisa menerangkan pada manusia mengapa hasil klasifikasi seperti itu. "Jadi kalau neural network ini melakukan kesalahan, kita tidak bisa mengerti mengapa dia salah," ujar Pitoyo. "Sehingga pada akhirnya, dengan teknologi seperti ini manusia sebagai pengguna teknologi tetap harus bertanggung jawab terhadap teknologi yang digunakannya. Ini open-problem dari AI modern yang masih belum terselesaikan."

Baca selengkapnya di: detiknews

Geger Anggaran Lem Aibon Rp 82 M di DKI, Sri Mulyani Turun Tangan

Pakar Bicara Sistem Anggaran Smart Dambaan Anies Baswedan

(pkp/yp)