1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Gas Alam Cair Perparah Krisis Iklim?

Stuart Braun
7 Januari 2023

Uni Eropa kini bergantung pada impor gas alam cair dari AS dan Qatar untuk gantikan gas Rusia. Tren ini dianggap akan menghambat komitmen iklim di Eropa dalam jangka panjang. Kenapa demikian?

https://p.dw.com/p/4Lp2I
Terminal LNG di Wilhelmshaven
Kapal tanker "Höegh Esperanza" melabuh di terminal LNG baru JermanFoto: Michael Sohn/REUTERS

Ketika kapal tanker pertama berlabuh di terminal gas alam cair yang baru diresmikan di utara Jerman, pegiat iklim mewanti-wanti terhadap kemunduran besar dalam komitmen iklim. 

Impor gas alam cair atau LNG adalah jalan keluar yang dipilih Jerman untuk melepas ketergantungan dari pasokan gas Rusia. Kebanyakan LNG ini ditambang dengan teknik rekahan hidraulis yang kontroversial di AS atau melalui anjungan lepas pantai di Qatar.

Para analis mengritik, impor LNG tidak akan mampu memenuhi defisit gas di Jerman hingga setelah 2024. Mereka juga meragukan klaim pemerintah di Berlin, bahwa terminal LNG yang baru bisa dialihfungsikan untuk menyimpan hidrogen hijau di masa depan. 

Perkara terbesar pada LNG adalah jumlah emisi yang 10 kali lipat lebih besar, ketimbang gas yang selama ini dipasok lewat jarigan pipa. Kebutuhan energi bagi LNG terutama berasal dari penyimpanan dan transportasi.

Biaya tinggi gas cair

LNG adalah gas alam yang dicairkan melalui proses likuifaksi, dengan mendinginkan gas hingga suhu  minus 161 derjat Celsius. Dalam bentuk cair, volume gas menyusut 600 kali lipat dan berbobot separuh dari air.

Dengan cara itu, gas alam yang sebagian besar terdiri dari metana, bisa disimpan di dalam tangki khusus pada kapal dan dikirimkan ke seluruh dunia. Setelah tiba di lokasi tujuan, gas akan diolah kembali ke bentuk asalnya di terminal dan didistribusikan melalui pipa.

Meski didukung kemudahan teknologi, tingginya biaya proses penambangan dan likuifaksi membuat LNG selama ini kurang diminati. Jerman yang sebelummya tidak punya fasilitas pelabuhan dan penyimpanan LNG misalnya, harus menanggung biaya ganda untuk pembangunan infrastruktur gas cair impor.

Terlebih, proses pendinginan, pencairan, transportasi dan regafisikasi LNG menyedot energi dalam jumlah besar. "Antara 10 sampai 25 persen energi hilang selama proses likuifaksi,” kata Andy Gheorghiu, analis energi di Jerman.

Jejak emisi yang tinggi

Energi dalam jumlah besar juga dibutuhkan untuk menambang gas. Belum lagi, potensi kebocoran gas metana di sepanjang rantai produksi, suplai dan penyaluran ke konsumen, ikut membebani neraca iklim LNG.

Era Energi Terbarukan Picu Peningkatan Penambangan Litium

"Karena LNG membutuhkan prosedur dan transportasi yang lebih rumit, risiko kebocoran gas metana di sepanjang rantai produksi, transportasi dan regasifikasi jauh lebih besar dan sebab itu sangat padat emisi,” imbuh Gheorghiu.

Menurut perhitungan LSM lingkungan AS, Natural Resources Defense Council (NDRC), LNG menciptakan "dua kali lipat lebih banyak gas rumah kaca ketimbang gas alam yang biasa dipasok lewat pipa.”

Perkiraan senada juga disampaikan lembaga analisa energi, Rystad Energy. Menurut wadah pemikir Norwegia itu, proses likuifaksi dan transportasi LNG menciptakan 10 kali lipat emisi Karbondioksida ketimbang gas alam yang disuplai lewat jaringan pipa.

Kepada DW, Kaushal Ramesh, analis energi di Rystad, mengatakan, ragam tingkat pengolahan pada LNG mencatatkan "intensitas emisi yang sangat tinggi.” Emisi yang "diimpor” tersebut nantinya akan berdampak pada neraca iklim nasional.

Terlebih, LNG menciptakan emisi 14 kali lipat lebih besar ketimbang energi surya dan 50 kali lipat dibandingkan energi angin dalam intensitas yang sama.

Sebab itu, gas alam cair tidak bisa dianggap sebagai solusi ramah iklim. "Dengan berinvestasi pada peningkatan efisiensi rumah dan bangunan saja, Jerman bisa berhemat lebih banyak gas, ketimbang yang bisa ditawarkan terminal LNG yang baru itu,” pungkas Andy Gheorghiu. (rzn/as)