1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gaddafi Ancam Hancurkan Negara

22 Februari 2011

Warga Libya kini menemukan persatuan untuk menentang rezim. Gaddafi mengancam akan menghancurkan negara.

https://p.dw.com/p/10LvD
Demonstran turun ke jalanan di ibukota Tripolis, memprotes pidato Saif al Islam Gaddafi yang mengancam akan pecahnya perang saudara di Libya.Foto: picture alliance/dpa


Aksi kekerasan di Libya yang digambarkan sebagai pembantaian para demonstran penentang Muammar al-Gaddafi tetap menjadi topik komentar dalam tajuk sejumlah harian internasional.

Harian Perancis Liberation dalam tajuknya berkomentar : Aksi kekerasan ekstrim terhadap rakyat Libya yang menggelar revolusi, menunjukkan brutalitas sebuah rezim yang sejak 42 tahun menindas rakyatnya. Muammar al-Gaddafi bagi rakyatnya adalah seorang diktator, sementara bagi dunia luar adalah seorang teroris. Ia mengekang kebebasan rakyatnya jauh lebih keras dibanding presiden Tunisia atau presiden Mesir. Gaddafi melakukan pembunuhan politik sebagai senjata pemerintah dan penyanderaan sebagai alat penekan. Kemarahan rakyat Libya saat ini menunjukkan seluruh rasa frustrasi dari warga yang dihina sejak beberapa dasawarsa.

Harian liberal kiri Inggris The Guardian dalam tajuknya berkomentar : Pada awalnya revolusi yang dilancarkan Gaddafi masih mengikuti jalur logika dan menghasilkan sejumlah sukses yang berarti. Oposisinya menentang campur tangan asing, terutama ketidak percayaan akan bentuk negara konvensional, pada saat itu didukung rakyatnya. Tapi sekarang semua berubah total. Kini mayoritas rakyat Libya terlihat menentang bentuk pemerintahan di negaranya. Hal itu merupakan dampak dari kekuasaan Gaddafi yang tidak berperikemanusiaan dan ganjil. Pada akhirnya rakyat Libya menemukan persatuan yang sejauh ini tidak pernah eksis.

Harian liberal Swedia Dagen Nyheter menulis komentar yang mengkaitkan situasi di Libya dengan dampaknya terhadap Eropa. Muammar al-Gaddafi ingin menghancurkan Libya. Amat jarang sebuah kekuasaan ditampilkan secara amat menakutkan, seperti ketika tampilan anak lelaki Gaddafi di televisi pemerintah. Menanggapi aksi protes rakyatnya, Gaddafi yang telah berkuasa lebih dari 40 tahun bungkam. Ia malahan memerintahkan anaknya menyampaikan ultimatum. Turuti apa yang kami katakan, atau kami akan menghancurkan Libya. Eropa seharusnya mencemaskan kemungkinan dampak dari anarki di Libya. Juga amat jelas, Uni Eropa harus mengutuk seorang diktator yang memerintahkan militer menembaki rakyatnya sendiri. Adalah keputusan yang salah, menunjuk Gaddafi sebagai polisi perbatasan Eropa, tanpa pengawasan bagaimana ia menjalankan tugasnya itu.

Terakhir harian Jerman Tageszeitung juga mengomentari sikap Eropa yang tidak tegas menanggapi revolusi rakyat di Libya. Uni Eropa menugasi PM Italia, Silvio Berlusconi untuk memberikan tanggapannya menyangkut aksi pemerintah Libya terhadap rakyatnya sendiri. Berlusconi sudah menegaskan, ia tidak akan mengecam aksi penguasa di Tripolis. Suara yang berbeda di Uni Eropa dilontarkan secara ogah-ogahan. Setelah tumbangnya diktatur di Tunisia dan Mesir, Libya juga tidak akan tetap sama seperti dahulu. Uni Eropa kini memiliki dua kemungkinan. Apakah menggelar dialog dengan tetangganya di selatan secara setara, jadi kemitraan Laut Tengah yang sejati. Atau mengambil risiko, bahwa seluruh generasi muda di kawasan itu runtuh bersama Eropa. Waktu untuk mengubah pandangan sebetulnya sudah lama lewat.

Agus Setiawan/dpa/afp

Editor : Ayu Purwaningsih