1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Filipina: Larangan Buku Kiri Bangkitkan Trauma Sensor

Ana P. Santos (Manila)
17 September 2022

Pegiat HAM dan aktivis demokrasi Filipina mengkhawatirkan intervensi media oleh pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Junior. Dia dicurigai ingin memupus ingatan publik terhadap kejahatan di era kediktaturan sang ayah.

https://p.dw.com/p/4Gz2u
Buku di Manila
Buku di ManilaFoto: Rouelle Umali/ Xinhua News Agency/picture alliance

Sudah sejak hampir 60 tahun toko buku La Solidaridad berdiri di Manila. Toko berfasad separuh kaca ini merupakan tempat berkumpul bagi sastrawan atau pecinta buku di ibu kota Filipina. 

Tahun lalu, fasadnya disemprot dengan cat berwarna merah oleh orang tak dikenal. Cara ini dulu digunakan untuk menandai simpatisan Partai Komunis. Peristiwa semacam itu belakangan kian marak di Filipina seiring geliat anti-komunisme oleh pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos, yang dicurigai sebagai upaya membungkam suara kritis.

Tonet Jose, pemilik La Solidaridad, mengatakan kepada DW meski dirinya tidak asing dengan tindak represi terhadap kebebasan berpendapat, penggerebekan dan lonjakan tindak kriminal terhadap kelompok-kelompok kritis oleh pemerintahan Marcos Jr. sudah sangat mengkhawatirkan.

"Tapi saya masih melihat ada harapan. Setelah larangan buku kiri keluar, semakin banyak orang yang mampir ke toko buat membeli buku-buku yang masuk daftar hitam,” kata Jose.

Larangan buku kiri

Penulis dan penerbit buku independen di Filipina belakangan acap mendapat tuduhan bersimpati dengan Partai Komunis setelah bersikap kritis terhadap pemerintah

Agustus lalu, Komisi Bahasa Filipino (KWF) menerbitkan memorandum yang menarik buku bermuatan "subversif, anti-Marcos dan anti-Duterte,” dari perpusatakaan publik. Tidak jelas bagaimana proses seleksi dilakukan.

Buntutnya, netizen di Twitter mengkampanyekan tagar #HansOffOurLibraries untuk mendokumentasikan "gelombang sensor buku” di berbagai provinsi. Dexter Cayanes, salah seorang penulis yang bukunya dilarang, mengatakan dirinya adalah korban "kepentingan politik tertentu.”

Tahun lalu, Satuan Tugas Penanggulangan Pemberontakan Komunis bentukan pemerintah menggandeng militer untuk membakar buku anti-pemerintah di perpustakaan milik lembaga pendidikan negara.

Kebanyakan buku mendokumentaskan pemberontakan Partai Komunis di Filipina atau negosiasi damai dengan pemerintah di Manila.

Dokumentasi sejarah

Awal tahun 2022 lalu, kepala badan intelijen negara mengecam sebuah penerbit "membuat radikal” kaum muda Filipina, karena mencetak koleksi buku anak tentang kekejaman eks Diktatur Ferdinand Marcos.

Putranya, Marcos Jr. bahkan ditampilkan sebagai korban Revolusi Kekuatan Rakyat 1986 dalam sebuah film yang baru dirilis. Padahal, pada 21 September mendatang Filipina akan mengenang pemberlakuan UU Darurat Sipil antara 1972-1981 yang menewaskan ribuan aktivis demokrasi.

Sutradara film dokumenter, Alyx Arumpac, mengatakan film layar lebar memiliki potensi besar mempengaruhi opini publik, atau untuk mengkampanyekan sebuah pesan. "Cara ini juga bisa sangat efektif untuk membantah mitos yang berusaha dikarang oleh Marcos,” ujarnya kepada DW.

Philippines activists warn against Marcos

Filmnya, ASWANG, mendokumentasikan kebrutalan perang melawan narkoba yang dilancarkan bekas Presiden Rodrigo Duterte. Meski tidak dilabeli sebagai karya kiri, filmnya mengundang kecaman dan ancaman pembunuhan dari simpatisan pemerintah.

"Film dokumenter menyimpan ingatan dan bukti. Artinya, film dokumenter berperan sebagai catatan jernih tentang masa lalu. Dan catatan itu akan terus disimak hingga beberapa dekade ke depan,” imbuhnya.

Arus balik dari akar rumput

Wartawan, akademisi dan pegiat HAM di Filipina memperingatkan betapa Marcos Jr. menggunakan aparat negara untuk menghapus dosa masa lalu. 

Cristna Palabay, Sekretaris Jendral Karapatan, sebuah lembaga HAM, menilai larangan buku kiri oleh pemerintah menafikan "hak publik untuk mengakses karya literatur yang dibutuhkan untuk berpikir kritis, serta memperdalam pengetahuan tentang sejarah dan bahasa Filipina,” kata dia.

Daye Cura, pemilik penerbit buku feminis, Gantala Press, sebaliknya menilai kebijakan Marcos mengindikasikan betapa pemerintah merasa terancam oleh gerakan kultural melawan disinformasi sejarah.

"Terlebih sekarang, pekerja budaya harus melawan semua bentuk sensor dan upaya membungkam suara rakyat,” kata dia. (rzn/hp)