1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
OlahragaIndonesia

Euforia Olahraga Pangkal Persatuan Indonesia

4 September 2021

Berakhir sudah penantian Indonesia untuk mewujudkan prestasi sempurna cabang bulu tangkis Olimpiade: pasangan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu berhasil mempersembahkan emas nomor ganda putri pada gelaran tahun ini.

https://p.dw.com/p/3zjek
Mengharumkan nama bangsa lewat prestasi
Apriyani dan Greysia mengharumkan nama Indonesia dalam OlimpiadeFoto: Markus Schreiber/AP/picture alliance

Dengan begitu, sejak pertama kali Olimpiade menghelat bulu tangkis pada 1992, Indonesia berhasil menjadi pemuncak di semua nomor (tunggal putra, tunggal putri, ganda putra, ganda putri, dan ganda campuran). Ini prestasi hebat bukan hanya bagi mereka yang berjuang di lapangan, namun juga bagi para pendukung, penonton, siapapun, yang merasa berbagi asa, antusiasme, dan semangat dalam kemenangan tersebut.

Euforia olahraga adalah ekspresi manusiawi yang melewati batasan rasial, politik, kekayaan, dan lain-lain. Kemenangan Susi Susanti pada 1992 dan tangisnya ketika melihat merah putih berkibar dan Indonesia Raya berkumandang pertama kali di Olimpiade menjadi ikonik, disaksikan rakyat Indonesia yang beragam rupa dan pengalaman hidup, namun, tepat di momen tersebut, merasakan frekuensi bangga dan haru yang sama. Pemerintah Orde Baru tentunya merasa canggung: perempuan dari kelompok rasial yang didiskriminasinya berhasil menggugah rakyat banyak dengan ketulusan, bukan ancaman.

Tidak harus selalu setingkat Olimpiade untuk merasakan menjadi Indonesia melalui bingkai keolahragaan. Kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018 lalu menjadi spesial bagi banyak orang karena berhasil menurunkan liarnya tensi politik menjelang pemilihan umum. Pemberitaan terkaitnya di media arus utama maupun media sosial begitu positif, bahkan bisa dikatakan suasana hati kegembiraan dan kebanggaan orang-orang Indonesia saat itu sedang tinggi-tingginya. Negara ini ternyata mampu menyelenggarakan proyek besar, menjadi tuan rumah yang meninggalkan kesan bersahabat, namun juga bisa ngotot dalam berkompetisinya.

Sepanjang sejarah, kebanggaan akan keindonesiaan memang lekat dengan momen-momen kegemilangan olahraganya. Bahkan, hal tersebut sudah terlihat tak lama setelah negara ini merdeka. Orang-orang Indonesia sudah melihat olahraga sebagai pemersatu dan penumbuh kesetiakawanan bagi mereka yang saat itu berjuang membangun identitasnya kembali setelah selama berabad-abad diperintah bangsa asing.

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Olahraga dan Solidaritas Indonesia

Di tahun-tahun awal pasca kemerdekaaan, ketika Indonesia tengah berjuang dengan hebatnya melawan Belanda, sebagian dari orang-orang yang peka terhadap dunia olahraga tetap tidak menginginkan Indonesia tertinggal dengan tren keolahragaan internasional saat itu. Indonesia diproyeksikan mengikuti Olimpiade 1948 dan sejak tahun 1946 beberapa organisasi keolahragaan seperti PORI dan KORI dibentuk sebagai bentuk keseriusannya. Sayangnya, Indonesia akhirnya gagal mengikuti Olimpiade 1948 karena posisi diplomatik Indonesia masih minimnya pengakuan dunia internasional. Solusi singkat pun dikeluarkan: Indonesia akan mengadakan pesta olahraganya sendiri.

Pekan Olahraga Nasional (PON) I pun diadakan pada 9-12 September 1948 di Solo. 13 cabang olahraga dipertandingkan oleh 600 atlet, meski semuanya hanya berasal dari Pulau Jawa. PON dibuka oleh Presiden Sukarno, yang menyatakan bahwa PON bukan hanya ajang olahraga saja, namun juga sarana untuk menunjukkan semangat kemerdekaan. PON menjadi bagian dari politik perjuangan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia, yang Belanda citrakan di dunia internasional sebagai orang-orang ekstrimis itu, nyatanya beradab, terorganisir, dan mampu menghelat acara berskala besar dengan damai.

Setelah Belanda disingkirkan dari Indonesia pada 1949, PON pun tetap digelar tiap beberapa tahun sekali. Pemilihan tuan rumah PON III dan IV di Medan (Sumatra Utara) dan Makassar (Sulawesi Selatan) juga menjadikan PON sebagai ajang silaturahmi bagi orang-orang Indonesia untuk bertemu dan mengenal provinsi-provinsi Indonesia, sampai akhirnya Orde Baru memusatkan penyelenggaraan PON hanya di Jakarta. Keterpusatan PON ini mencitrakan karakter Orde Baru, sebuah rezim yang mengendalikan Indonesia dari kacamata pusat (Jakarta) saja. Alhasil, euforia PON memudar.

Bukan hanya demi kepentingan nasionalisme domestik, olahraga menjadi sarana Indonesia untuk menunjukkan semangat politik internasionalnya melalui Asian Games 1962 dan The Games of the New Emerging Forces (Ganefo) 1963. Sukarno ingin nasionalisme Indonesia menjadi kekuatan diplomatik agar Indonesia memiliki kekuatan untuk memimpin solidaritas antara bangsa-bangsa yang tertindas oleh imperialisme Barat. Kebijakan pelarangan atlet-atlet Israel dan Taiwan untuk mengikuti Asian Games 1962 merupakan penolakan Indonesia untuk didikte Barat yang dinilai melukai dunia Islam dengan mendukung Israel dan memusuhi Cina karena komunismenya.

Tindakan tersebut membuat Indonesia dilarang mengikuti Olimpiade 1964. Namun, Indonesia menyelenggarakan Ganefo 1963 di Jakarta sebagai solusinya, bahkan memproyeksikannya untuk menjadi rival Olimpiade yang saat itu Sukarno anggap sudah diskriminatif, imperialistik, dan melenceng dari semangat pendirinya, Baron de Coubertin. 51 negara mengikuti Ganefo, mayoritas negara-negara berkembang. Sukarno juga berpesan kepada rakyatnya agar merayakan Ganefo sebagai ajang untuk mengenal bangsa-bangsa lain. Persatuan Indonesia, yang merupakan hasil revolusi, ingin dijadikannya inspirasi agar negara-negara lain bersatu menentang dominasi Blok Barat maupun Timur.

Terlepas dari agenda politik pemerintah dalam keolahragaan Indonesia sepanjang sejarahnya, rasanya tidak salah menyebut olahraga adalah sarana meredakan tensi rasial di Indonesia. Supremasi bulu tangkis Indonesia sejak 1970-an tidak lepas dari kontribusi atlet-atlet Tionghoa. Meski pemerintah Orde Baru mendiskriminasikan dan mengkerdilkan hak-hak sipil mereka, nama-nama seperti Liem Swie King, Rudy Hartono, Christian Hadinata, Susi Susanti, dan Alan Budikusuma, tak akan pernah dilupakanrakyat Indonesia kala membicarakan bulu tangkis. Mereka dihormati sebagai atlet, dan juga sebagai seorang patriot olahraga Indonesia.

Rasanya kini sudah waktunya pemerintah mewacanakan untuk memberikan atlet Indonesia gelar pahlawan nasional, hal yang sebelumnya tak pernah dilakukan. Gelar pahlawan nasional memang masih sangat konservatif dan politis, namun, melihat suasana hati kontemporer rakyat Indonesia yang begitu tergugah dengan atlet-atlet yang perjuangannya bisa disaksikan langsung melalui televisi dan sosial media, atlet sudah menjelma menjadi pahlawan bagi generasi kini. Kejayaan atlet adalah kepahlawanan yang humanis, intim, inspiratif, bermartabat, sehingga layak diganjar kehormatan tertinggi.

Euforia, Lalu Mulai Berbenah

Kisah sukses emas bulu tangkis Indonesia pada Olimpiade 2020 layak dirayakan. Sekian bonus dan penghargaan yang kemudian diterima atlet-atlet yang menang, juga atlet-atlet lainnya, patut disyukuri. Negara ini memang masih amatir dalam mengurus kelembagaan olahraganya, namun antusiasme masyarakat merupakan jaminan prestasi atlet Indonesia akan selalu diapresiasi. Tak boleh terlupa pula, bahwa setelah Olimpiade masih akan ada 23 atlet Indonesia lain yang akan berjuang di Paralimpiade 2020. Keterbatasan fisik dan mental bukan halangan bagi mereka, dan dukungan penuh pantas diberikan juga.

Situasi dunia saat ini tengah berada dalam tren kedamaian dibandingkan masa-masa sebelumnya. Kehebatan dalam bentuk kekerasan tak lagi menjadi tolak ukur bagi sebuah negara untuk menggugah rakyatnya. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah kompetisi sehat, lingkungan tempat manusia-manusia terbaik mengeluarkan usaha terbaiknya dalam sebuah pertandingan yang adil dan inspiratif, bukan sekedar mencari kemenangan absolut namun untuk menjadi manusia yang sepenuhnya pula. Jelasnya, keterlibatan Indonesia dalam tiap-tiap ajang olahraga, nasional maupun internasional, harus berdasarkan pendirian yang seperti itu.

Olahraga adalah jalan untuk mencetak manusia-manusia yang unggul dan tulus. Perjuangan atlet bulu tangkis di Olimpiade lalu begitu berkesan. Tiap pukulan raket yang kita lihat ada kebanggaan, juga kegeraman, bagi yang menontonnya. Bukan rahasia lagi, bahwa rakyat Indonesia muak dengan mereka yang diamanahkan untuk mengurus olahraga. Indonesia memang berjaya di cabang bulu tangkis, namun masih begitu buruk di banyak jenis olahraga lain. Sehingga tak boleh dilupakan, bahwa olahraga, sarana persatuan Indonesia ini, masih butuh dibenahi dan dikelola secara lebih baik.

 

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.