1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiCina

Ekonom Khawatirkan "Penutupan" Pusat Industri di Cina

15 Maret 2022

Puluhan juta penduduk di Cina kembali menjalani lockdown menyusul lonjakan tertinggi kasus infeksi Covid-19. Pemadaman pusat-pusat industri ikut memicu kekhawatiran terhadap gangguan pada rantai suplai global.

https://p.dw.com/p/48VmA
Situasi di kota Shenzen sejak diberlakukan pembatasan sosial, Senin (14/3).
Situasi di kota Shenzen sejak diberlakukan pembatasan sosial, Senin (14/3).Foto: picture alliance/AP

Petugas berseragam hazmat kembali berseliweran di jalan-jalan Cina, sementara warga menunggu antrian tes massal, seiring padamnya kehidupan publik akibat lockdown. Langkah dramatis itu diambil Beijing karena kasus infeksi Covid-19 kembali melonjak.

Pada Selasa (15/3), Cina melaporkan 5.280 kasus baru, dua kali lipat ketimbang sehari sebelumnya. Pemerintah Beijing dikenal ketat menerapkan pembatasan sosial dan tak ragu menutup pintu bagi pelancong dari luar negeri dengan memberlakukan kewajiban karantina hotel, yang di sejumlah tempat mencapai 28 hari.

Saat ini setidaknya 13 kota di Cina sudah menjalani lockdown. Sementara beberapa kota lain mulai membatasi kehidupan publik. Sebanyak 15.000 kasus infeksi baru dilaporkan sepanjang bulan Maret.

Pemerintah di Beijing kali ini fokus mengimbau kaum lansia untuk mendapat vaksin, meski tingkat imunisasi di kalangan usia lanjut sudah mencapai 80 persen. Penyebabnya adalah gelombang penularan tak terkendali di Hong Kong yang terutama menyebar di kalangan lansia, lantaran rendahnya tingkat vaksinasi.

Provinsi Jillin di timur laut Beijing termasuk yang paling awal menerapkan lockdown. Saat ini sekitar sembilan juta penduduk diperintahkan untuk mengisolasi diri. Pemerintah kota mengumumkan sebanyak 8.200 penduduk dirawat di rumah sakit dengan gejala Covid-19. 

"Kali ini setidaknya pemerintah mengizinkan kami mengisolasi diri di rumah. Itu saja sudah melegakan,” kata Mary Yue, seorang warga Beijing. Di ibu kota Cina itu, sejak awal pandemi pemerintah mewajibkan warga menunjukkan bukti vaksinasi saat berada di ruang publik atau melakukan karantina diri selama 21 hari jika terinfeksi. 

Padamkan sementara jantung industri

Shenzen, pusat teknologi di selatan yang dihuni 12,5 juta penduduk, sudah menjalani lockdown sejak tiga hari terakhir. Sekolah-sekolah, kantor dan pabrik dipaksa tutup. Situasi ini dikhawatirkan bisa menghambat pertumbuhan ekonomi pascapandemi.

"Pembatasan baru, terutama lockdown di Shenzen, akan berdampak terhadap menurunnya konsumsi dan gangguan pada suplai dalam jangka dekat,” kata Tommy Wu, ekonom di Oxford Economics, dalam keterangan persnya. Menurutnya perkembangan terbaru ini akan menyulitkan Cina mencapai ambisi pertumbuhan 5,5 persen tahun ini.

Shenzen tidak cuma memproduksi perangkat elektronik smartphone atau suku cadang kendaraan yang melayani permintaan global, tetapi juga memiliki pelabuhan Yantian yang terbesar keempat di dunia.

Pusat keuangan Cina, Shanghai, juga ikut terdampak lockdown. Mulai pekan depan, pemerintah mengalihkan 100 penerbangan internasional ke kota lain. Saat ini sudah belasan penerbangan domestik yang dibatalkan secara mendadak. 

Pengumuman lockdown di Shenzen, Senin (14/3) kemarin, sempat membuat bursa saham anjlok di Cina dan Hong Kong anjlok. Investor diyakini mengkhawatirkan dampanya terhadap rantai suplai industri yang saat ini pun mengalami gangguan akibat pandemi.

"Tidak terhitung rantai suplai manufaktur yang melalui Cina,” kata Carl B. Weinberg, ekonom di High-Frequency Economics, dalam sebuah laporan baru-baru ini. 

"Kami tidak bisa memikirkan risiko lain terhadap perekonomian dunia, di luar perang nuklir tentunya, yang lebih besar ketimbang pandemi Covid di Cina yang memporakporandakan produksi industrial.”

rzn/as (ap,afp)