1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

020409 G20 Afrika

3 April 2009

Akibat krisis, kemungkinan dana bantuan bagi negera berkembang akan berkurang. Namun menurut kalangan pakar ekonomi Afrika bukan suatu hal yang buruk.

https://p.dw.com/p/HPai
Demonstran Etiopia di depan gedung pertemuan G20, London, InggrisFoto: AP

Berdasarkan perkiraan Perserikatan Bangsa Bangsa, dana bantuan bagi negara berkembang untuk tahun 2009 ini saja akan berkurang sekitar empat setengah miliar Dolar Amerika Serikat. Afrika Selatan, negara satu-satunya yang mewakili benua termiskin Afrika, telah menuntut sebuah paket bantuan yang lebih besar. Begitu juga berbagai organisasi bantuan kemanusiaan.

Michael O'Brian dari Oxfam di Kenya menuturkan: "Kami ingin, negara industri tetap memenuhi janjinya. Menyetor 0,7 persen dari hasil kotor nasionalnya sebagai dana bantuan bagi negara berkembang. Hal ini sudah dijanjikan beberapa tahun lalu. Negara-negara Afrika membutuhkan uang itu dan itu, sekarang juga."

Sementara organisasi bantuan menuntut peningkatan dana bantuan, seruan untuk melepas ketergantungan Afrika dari bantuan luar negeri semakin banyak terdengar, terutama dari kalangan pakar ekonomi. Mereka menilai krisis keuangan global sebagai suatu kesempatan yang baik untuk lebih mandiri. Pakar ekonomi Kenya, James Shikwati, bahkan menuntut agar bantuan itu dihapus seluruhnya.

"Masalahnya bukan bantuannya, akan tetapi dampak dari bantuan itu. Coba Anda lihat, mengapa Afrika mendapat uang begitu banyak. Ini kesalahan sistem yang sudah lama. Sistem yang membuat warga Afrika semakin jatuh ke dalam kemiskinan. Sistem ini harus diubah. Bantuan pembangunan negara berkembang tidak mendukung perubahan. Malah sebaliknya. Afrika dibuat semakin tergantung dan warganya dibujuk terus dengan mengatakan, mereka tidak dapat menyelesaikan sendiri masalahnya." Papar James Shikwati lebih jauh.

Padahal, Shikwati menambahkan, sumber-sumber Afrika cukup banyak yang mampu menangani ekonominya sendiri. Dana bantuan triliunan dolar Amerika Serikat yang disetorkan dalam lima puluh tahun terakhir, tidak hanya menghasilkan kesuksesan yang sangat sedikit, akan tetapi juga membungkam segala inisiatif untuk menangani sendiri masalahnya.

Pengarang buku terkenal Aly-Khan Satchu, sependapat dengan pernyataan Shikwati. Menurut Satchu, perkembangan pesat yang dialami Afrika beberapa tahun lalu adalah bukti, bahwa hanya warga Afrika yang mampu memberantas kemiskinan di benuanya.

Satchu memaparkan: "Setiap warga Afrika itu di hatinya adalah pengusaha. Ke manapun Anda melihat ada pasar. Setiap orang Afrika mengerti harga. Apa ia berlaku sebagai penjual ataupun pembeli. Warga Afrika seharusnya diberikan kesempatan untuk bisa menerapkan pengetahuan itu. Coba Anda bayangkan, jika upaya peningkatan pemasukan rata-rata per harinya berhasil naik, dari satu dolar menjadi dua dolar Amerika Serikat. Hal ini akan berhasil jika mengandalkan sumber daya manusia intelektuel benua ini. "

Satchu menuntut dari negera industri semacam paket bantuan seperti yang diberikan Amerika Serikat kepada negara-negara Eropa saat Perang Dunia Kedua, yaitu Marshallplan. Agar dampak langsung krisis keuangan global dapat dicegah. Sisanya, demikian Satchu, dapat ditangani Afrika sendiri. Bahwa tantangannya sangat besar juga diakui oleh penentang bantuan pembangunan, Shikwati. Menurutnya, penyakit, kelaparan, korupsi, pendidikan buruk hanya dapat diatasi dengan pergantian sistem.

"Pertemuan apapun, apakah G8 atau G20 tuntutannya selalu sama. Kami butuh bantuan lebih banyak dan kami butuh uang lebih banyak. Seharusnya Afrika menentang arsitektur sistem perekonomian yang menghambat Afrika berkembang. Di London, delegasi Afrika Selatan seharusnya menuntut sebuah peraturan perekonomian baru, yang memungkinkan Afrika mengambil andil dalam perekonomian global dengan serius." Tandas Shikwati.

Shikwati melihat Bank Dunia sebagai penghalang utama dalam upaya tersebut. Karena bank dunia hingga kini lebih memperhatikan kepentingan negara donor.

Marc Engelhardt/Andriani Nangoy

Yuniman Farid