1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dunia Harus Persiapkan Libya Tanpa Gaddafi

10 Juni 2011

Konflik di Libya dan masa depan negara itu serta pemilihan umum di Turki merupakan sejumlah tema yang disoroti media internasional.

https://p.dw.com/p/11YN1
Foto: picture alliance/dpa

Situasi konflik di Libya disoroti surat kabar Spanyol berhaluan kiri liberal El Pais. Surat kabar yang terbit di Madrid itu menulis:

Perang di Libya mulai membosankan. Tidak satu pun dari kedua pihak bertikai yang meraih keuntungan berarti dari segi militer. NATO dan negara-negara yang terlibat perang tidak ingin terjebak dalam konflik. Semakin waktu berlalu, semakin besar pula risiko terpecahnya Libya. Wilayah barat tetap di tangan Gaddafi, dan sisanya di tangan pemberontak. Aliansi militer internasional harus mengkhawatirkan adanya opini publik yang menentang perang itu. Saat ini belum terjadi karena militer internasional belum mengeluhkan kekalahan.

Harian konservatif Norwegia Aftenposten mengomentari masa depan Libya tanpa Muammar al Gaddafi. Harian yang terbit di Oslo itu menulis:

Semua memperdebatkan apa yang harus terjadi bila kampanye bom di atas Libya berlalu dan Kolonel Muammar al Gaddafi tidak lagi ditunjuk sebagai pemimpin negeri ini. Tidak ada yang tahu kapan, tapi semuanya akan berakhir. Selama 40 tahun kekuasaan rezim Gaddafi, hampir tidak ada institusi yang bisa dibangun. Organisasi Persatuan Afrika bisa mengambil alih peranan kunci di sini. Terdapat indikasi bahwa organisasi itu akan mengambil sikap lebih realistis terhadap Libya, menekan Gaddafi lebih lanjut dan ingin membantu dalam pembangunan kembali serta pembangunan kemasyarakatan setelahnya. Namun sebelumnya tekanan militer terhadap Gaddafi harus dilaksanakan.

Surat kabar nasional Austria, Salzburger Nachrichten, menyoroti kewajiban masyarakat internasional dan persiapan Libya setelah kekuasaan Gaddafi. Harian itu menulis:

Beberapa pihak menyebutkan bahwa akhir tirani Tripoli sudah sangat dekat. Semakin banyak orang yang setia pada rezim, menteri dan jenderal, berpaling darinya. Pasukan Gaddafi yang jumlahnya berkurang drastis itu juga mengalami demoralisasi. Oleh sebab itu penting bahwa para menteri pertahanan NATO memikirkan masa depan tanpa Gaddafi. Konkretnya, jaminan perdamaian, rekonsiliasi nasional dan pembangunan kembali negara di Afrika utara itu. Yang diminta melakukan itu terutama Eropa, PBB dan Uni Afrika. Mengenai bagaimana bekerja sama dengan pemerintah oposisi Libya di Benghazi dalam membangun Libya yang baru dan demokratis di atas lahan yang sebelumnya terbakar habis.

Harian Perancis La Croix mengomentari peranan strategis Turki menjelang pemilihan umum di Negara itu. Harian yang terbit di Paris itu menulis:

Turki memandang dirinya, di tengah gagasan yang kontradiktif, sebagai titik pertemuan, atau semacam peralihan. Sebagai negara yang tidak tergolong dalam kategori yang jelas. Seperti Brazil, Indonesia, atau Afrika Selatan, Turki memandang dirinya sebagai negara subur dan berkembang. Turki memiliki daya tarik tersendiri bagi inisiator "Musim Semi Arab", di Mesir, Tunisia, atau Suriah. Maka dari itu Eropa memiliki kepentingan sendiri membangun strategi konstruktif dengan Negara ini. Ini terutama penting bagi Perancis yang ingin menjadi kuda di Laut Tengah.

Sementara itu harian Jerman Rheinpfalz juga mengamati Turki menjelang pemilihan umum. Surat kabar yang terbit di Ludwigshafen itu menulis:

Pada tahun pemerintahan AKP sejak akhir 2002, Turki mengalami masa sulit, perubahan radikal namun damai, dan perubahan elit politik yang memunculkan istilah „Revolusi Tenang“. Keberhasilan politik dan perekonomian yang tumbuh pesat ini membentuk landasan bagi perkiraan kemenangan pemilihan bagi Erdogan. Dalam waktu sama, sisi gelap AKP semakin terlihat. Seperti tiap partai yang berkuasa terus-menerus selama hampir satu dasawarsa, AKP juga menunjukkan kelelahan, nepotisme dan kecongkakan. Erdogan juga semakin menunjukkan kecenderungan otoriternya.

Luky Setyarini/afp/ap/rtr

Editor: Hendra Pasuhuk