1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dukungan NATO Bagi Georgia Kontraproduktif

as12 Agustus 2008

Pertempuran antara pasukan Rusia dan Georgia di kawasan Kaukasia diperkirakan tidak akan dapat diselesaikan dengan cepat. Jawaban diplomatis dunia khususnya AS terhadap krisis di Georgia dinilai amat memprihatinkan.

https://p.dw.com/p/EvhQ
Presiden Georgia Saakashvili keliru memutuskan strategi dengan memprovokasi Rusia untuk melancarkan perang.Foto: AP


Pertempuran di Georgia tetap menjadi tema komentar harian-harian internasional.


Harian Inggris The Independent yang terbit di London dalam tajuknya berkomentar :


Memperkuat ambisi presiden Saakashvili untuk menjadi anggota NATO adalah tindakan barat yang amat kontraproduktif. Keputusan untuk menerbangkan pulang pasukan Georgia dari Irak, merupakan pertanda tegas bahwa AS mendukung Georgia dalam perang ini. Tapi apakah terdapat harapan, Gedung Putih juga dapat merundingkan gencatan senjata ? Harapan ini samasekali tidak realistis. Sejauh ini AS atau juga Uni Eropa tidak pernah berpikir untuk membuka front peperangan melawan Rusia, untuk mempertahankan kedaulatan Georgia. Rusia memiliki banyak kartu truf dalam masalah geo-politik, mulai dari pemasokan energi bagi Eropa hingga ke penengahan sengketa atom Iran.


Harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma juga mengomentari sikap barat khususnya AS dalam konflik di Georgia.


Aksi protes yang dilancarkan presiden AS, George W.Bush bersama wakil presiden Dick Cheney dan menteri luar negeri Condoleezza Rice terhadap aksi Rusia, merupakan reaksi dari penilaian yang keliru. Ibaratnya AS melontarkan bumerang dari Irak. Dengan itu hubungan antara AS dan Rusia berbalik 360 derajat. Kembali ke hubungan yang dikira sudah menjadi sejarah masalalu, yakni permusuhan frontal antara Gedung Putih dan Kremlin. Situasinya mirip seperti pada tahun 2001 lalu antara Bush dan Putin. Hanya kini terdapat perbedaan radikal, kini Rusia tidak perlu lagi sedikit merendahkan tatapannya.


Harian konservatif Swedia Svenska Dagbladet yang terbit di Stockholm dalam tajuknya berkomentar :


Perang di Georgia sudah diperingatkan sebelumnya. Terutama oleh Rusia, yang tidak bersedia memberikan toleransi kepada tetangganya yang hendak mendekati barat. Ditambah lagi reaksi panik dari pimpinan Georgia, sebuah negara yang sedang dalam proses perpecahan. Jaringan pipa gas dan minyak dimainkan sebagai potensi pemerasan ke segala arah. Terakhir, faktor pendeknya waktu antara perang kata-kata dan dilancarkannya aksi serangan militer amat menentukan. Sekarang delegasi para juru penengah berbondong-bondong datang ke kawasan konflik. Tujuannya bukan hanya menjamin stabilitas minimal, tapi terutama untuk menjamin posisi Georgia di pihak barat.


Sementara harian liberal kanan Denmark Jyllands Posten yang terbit di Ärhus berkomentar :


Presiden Georgia, Mikhael Saakasvili diduga melakukan kesalahan taktik, dengan menjawab provokasi kelompok separatis yang disetir Moskow di Ossetia Selatan, dengan ofensif militer. Dengan serangan tentara Georgia ke ibukota Ossetia Selatan Tsinkvali, Rusia memiliki alasan untuk melancarkan serangan militer di Ossetia Selatan yang diduga sudah ditunggu sejak lama. Argumentasi Rusia mirip dengan alasan Milosevic ketika menyerbu Kosovo, atau Hitler ketika menyerang Cekoslowakia.


Terakhir harian Swiss Tages-Anzeiger yang terbit di Zürich berkomentar :


Tidak ada rencana perdamaian barat, yang dapat membalikan lagi perang di Georgia ataupun diruntuhkannya semua jembatan ke Ossetia Selatan. Ketimbang melihat masa lalu, barat lebih baik memandang ke masa depan. Moskow juga mengetahui, serbuan ke Georgia adalah melanggar tabu. Sebab serangan melewati perbatasan, akan berbalik menyerang Moskow. Juga Rusia akan dituding sebagai agressor, bukannya Georgia yang mula-mula menyerbu Ossetia Selatan. Semua akan sesuai dengan propaganda Georgia pada saat dimulainya perang.