1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dua Level Birokrasi KPK Imbas Munculnya Dewan Pengawas

21 Desember 2019

Koalisi Masyarakat Sipil soroti kewenangan Dewas KPK yang dinilai akan menghambat kerja KPK. Sementara, pengamat politik dari Lingkar Madani sebut KPK saat ini diisi oleh orang-orang Jokowi.

https://p.dw.com/p/3VBWQ
Indonesien | Zentrale  Indonesia Corruption Eradication Commision
Foto: DW/R. Putra

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melantik lima pimpinan beserta lima Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Koalisi Masyarakat Sipil menilai kerja KPK memberantas korupsi tak akan selincah sebelum UU KPK direvisi.

"Masalah pelemahan KPK yang inti adalah mencabut wewenangnya. Memindahkannya ke Dewas malah menambah masalah. Karena Dewas bukan penyidik, syarat untuk menjadi Dewas tidak seberat menjadi pimpinan dan proses menjadi Dewas juga tidak seketat pimpinan," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, kepada wartawan, Sabtu (21/12/2019).

Dia menyoroti kewenangan Dewas KPK yang dinilai akan menghambat kerja KPK. Sebab, lanjutnya, saat ini ada dua birokrasi yang mesti dijalankan di dalam tubuh KPK.

"Artinya untuk membuat KPK bekerja optimal sekarang ini ada dua level birokrasi. Satu birokrasi di tubuh KPK yang berujung pada pimpinan, dan 1 birokrasi lagi di tubuh Dewas. Dengan begini saja optimalisasi KPK pasti terganggu," ujar Asfinawati.

Dia menduga kinerja KPK akan menurun secara kuantitas dan kualitas karena ada dua level birokrasi yang mesti dilewati ini. Sehingga menurutnya perlu ada audit atas hasil kerja pimpinan KPK sekarang.

"Kalau nanti pimpinan yang sekarang membuat banyak kasus berjalan, perlu diaudit, penyelidikannya dan/atau penyidikannya pas zaman kapan. Agar publik tidak terkecoh," ujar dia.

Asfinawati mengungkit soal petisi yang pernah dibuat penyelidik-penyidik KPK yang mengeluhkan soal hambatan dalam pengusutan perkara. Saat petisi itu dikeluarkan, Firli Bahuri yang kini menjabat sebagai Ketua KPK masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.

Salah satu poin dalam petisi tersebut yakni pegawai KPK mempersoalkan terhambatnya penanganan perkara pada ekspose tingkat kedeputian penindakan. Penundaan dinilai tanpa alasan jelas dan terkesan mengulur waktu hingga kasus menjadi mandek dan sulit mengungkap kasus ke level lebih tinggi. Dia menilai bisa saja kasus mandek ini dijalankan lagi oleh Firli yang sudah menjadi pimpinan KPK.

"Jangan lupa permintaan Firli dibalikin ke instansi asalnya dulu (waktu belum jadi pimpinan) karena banyak kasus mandeg. Artinya penyelidikan sudah jalan, kasus-kasus begini kan semacam tabungan kasus. Yang bisa dijalankan oleh pimpinan sekarang. Tapi sebenarnya bukan hasil kerja pimpinan saat ini," ucap Asfinawati.

Baca juga: Jokowi soal Kasus Novel: Saya Enggak Kasih Waktu Lagi 

"All The President Men"

Sementara itu, Pendiri Lingkar Madani Ray Rangkuti menyoroti pelantikan Dewan Pengawas dan Pimpinan KPK yang baru oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia menyebut, KPK sekarang ditempati oleh orang-orang Jokowi.

"Secara organisasi, KPK itu ada di bawah presiden, bekerja dengan birokrasi yang garis strukturnya juga ke presiden, dengan komisioner yang tak sepenuhnya independen. Jadi, hampir bisa disebut, KPK yang sekarang ditempati oleh All The President Men," kata Ray Rangkuti, kepada wartawan, Sabtu (21/12/2019).

Dia mengatakan, lantaran KPK di bawah Presiden, maka jika Jokowi tak memiliki minat kuat untuk isu-isu anti-korupsi, kemungkinan separuh kemampuan KPK akan hilang. Ray menanti KPK yang baru.

"Lebih mengkhawatirkannya adalah mereka bekerja dalam bayangan minat Presiden. Lalu, dengan apa mereka bisa keluar dari situasi ini? Kita lihat saja," ujarnya.

Selain itu, dia juga menyoroti nama-nama anggota Dewas KPK yang dipilih Jokowi. Menurut dia, meski Presiden memiliki kewenangan, seharusnya ada pelibatan pendapat publik terkait penunjukkan lima anggota Dewas KPK.

Dia menganggap, pemerintah tidak pernah menyosialisasikan maupun melakukan pengumpulan pendapat masyarakat soal Dewas KPK.

"Tak ada pengumpulan pendapat, pandangan sekaligus kemungkinan koreksi dari masyarakat lalu ditetapkan begitu saja oleh Presiden. Bagaimanapun, pengangkatan ini kurang memenuhi prinsip pengelolaan pengangkatan pejabat publik, apalagi hal itu terkait dengan jabatan independen," ujar Ray.

"Struktur organisasi membingungkan"

Meski demikian, dia menyadari lima nama anggota Dewas yang ditunjuk sosok yang baik dalam penegakan hukum. Tetapi, dia memberi catatan masalah, yakni menempati fungsi jabatan yang tumpang tindih.

"Mereka pengawas sekaligus penentu satu kegiatan dapat dieksekusi atau tidak. Jika dilihat dari struktur organisasinya dan model rekrutmennya, saya melihat mereka hanya punya garis struktural dengan Presiden. Mereka harus mengawasi agar komisioner tidak melenceng tapi yang izin pelaksanaannya justru ada di kewenangan mereka," paparnya.

"Lalu siapa yang bisa memastikan bahwa Dewasnya juga bekerja sesuai dengan aturan yang ada. Apakah mereka benar-benar memberi atau menolak izin atas dasar pertimbangan objektif atau subjektif? Dalam bahasa lain, struktur membingungkan ini justru berpotensi membuat nama-nama baik ini tidak dapat berkreasi dengan optimal. Orang baik yang masuk ke dalam struktur organisasi yang membingungkan. Mau kencang, tidak bisa. Mau pelan, tapi mesin kinerja KPK-nya ada juga di tangan mereka," kata Ray.

Sebelumnya, lima anggota Dewas KPK yang telah dilantik antara lain Tumpak Hatorangan Panggabean (mantan pimpinan KPK), Harjono (Ketua DKPP), Albertina Ho (hakim), Artidjo Alkostar (mantan hakim agung), dan Syamsudin Haris (peneliti LIPI).

gtp/yp

Baca artikel selengkapnya di:DetikNews

Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Dewas, Ajak Publik Awasi Kerja KPK

Ray Rangkuti: KPK Sekarang 'All The President Men'