1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kaum Minoritas Pakistan Protes Islamisasi Paksa

6 Mei 2020

Kaum minoritas di Pakistan memprotes diskriminasi agama dalam distribusi bantuan krisis corona. Bagaimana dengan di Indonesia?

https://p.dw.com/p/3br9K
Pakistan dalam mengatasi wabah corona
Pembagian bantuan di PakistanFoto: picture-alliance/AP Photo/A. Naveed

Perwakilan agama minoritas di Pakistan mengecam islamisasi paksa terhadap umat Kristen dan Hindu, bagi orang-orang yang mau menerima sumbangan organisasi muslim, Dawat-e-Islami, di tengah krisis corona. Demikian dilaporkan kantor berita KNA.

"Kami menghargai mereka yang melayani orang lain tanpa punya motif tersendiri," kata ketua asosiasi guru sosial kelompok minoritas Katolik, Anjum James Paul, dikutip dari kantor berita pers Asia Ucanews ."Negara-negara nonmuslim membantu kita tanpa menuntut pindah  agama," kata Paul, dan: "Tolong jangan mengusik agama orang-orang yang membutuhkan bantuan."

Organisasi Hindu, Chaman La mengatakan kepada  Ucanews, "Saudara-saudara Islam kita mencuci otak orang miskin." Paul dan Chaman bereaksi atas video di media sosial yang ditanyangkan organisasi Islam tersebut, yang memuji nonmuslim pindah ke agama Islam dengan imbalan pasokan makanan.

Ini bukanlah kasus pertama diskriminasi terhadap minoritas agama dalam krisis corona di Pakistan. Badan amal Islam di Karachi dan kota-kota lain telah berulang kali mendistribusikan bantuan makanan hanya khusus bagi umat Islam dalam beberapa pekan terakhir. Dawat-e-Islami, yang didirikan di Pakistan, adalah masyarakat misionaris Islam global. Di Jerman organisasi ini juga menyokong masjid dan pusat komunitas di Offenbach, demikian dilansir dari KNA.

Kecaman dari organisasi beragama 

Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS (USCIRF) mengecam bentuk diskriminasi  bantuan makanan di tengah penyebaran virus COVID-19 di Pakistan. "Tindakan-tindakan seperti ini sangat tercela," kata Komisaris USCIRF, Anurima Bhargava. “Seiring penyebaran virus COVID-19, komunitas rentan di Pakistan berjuang melawan kelaparan dan berusaha menjaga keluarga mereka agar tetap aman dan sehat. Bantuan makanan tidak boleh tidak diberikan karena keyakinan seseorang. Kami mendesak pemerintah Pakistan untuk memastikan bahwa bantuan makanan dari organisasi pendistribusian dibagi secara adil dengan umat Hindu, Kristen, dan agama-agama lain.”

Di Karachi, misalnya, ada laporan bahwa Saylani Welfare International Trust, sebuah organisasi nonpemerintah yang didirikan untuk membantu para pekerja tunawisma dan musiman, telah menolak memberi bantuan makanan untuk orang-orang Hindu dan Kristen, dengan alasan bahwa bantuan tersebut hanya diperuntukkan bagi kaum muslim saja, demikian pernyataan pers dari USCIRF. 

Komisioner USCIRF Johnnie Moore menambahkan, “Dalam pidatonya baru-baru ini di hadapan masyarakat internasional, Perdana Menteri Imran Khan menyoroti bahwa tantangan yang dihadapi pemerintah di negara berkembang adalah menyelamatkan orang dari kematian karena kelaparan sambil juga mencoba menghentikan penyebaran virus COVID-19. „

Menurut USCIRF, pemerintahan Perdana Menteri Khan memiliki kesempatan untuk memimpin, tetapi tidak boleh meninggalkan agama minoritas. Kalau tidak, mereka bisa menambahkan satu lagi jenis krisis, yang diciptakan oleh karena diskriminasi agama dan perselisihan antarmasyarakat. ”
Dalam Laporan Tahunan 2019, USCIRF mencatat bahwa umat Hindu dan Kristen di Pakistan "menghadapi ancaman terus-menerus atas keamanan mereka dan mengalami berbagai bentuk pelecehan dan pengucilan sosial."

Bagaimana dengan di Indonesia?

Agil Cahyo Manembah, kepala divisi program Humanity First, Ahmadiyah menceritakan, di Indonesia, warga Ahmadiyah masih mengalami diskriminasi. Ketika wabah corona meluas, ada sebuah desa di Jawa Barat yang diisolasi setelah salah satu warganya terdampak virus corona. Ketika pemerintah memberi bantuan ke desa tersebut, 40 keluarga penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak mendapat bantuan, demikian diceritakan oleh Agil Cahyo Manembah.”Namun kami berusaha untuk mendatangi desa dan berkoordinasi dengan pengurus desa setempat dan bahkan kami membantu memberikan bantuan kepada seluruh desa tersebut. Akhirnya mereka menyambut baik dan menerima bantuan kami juga. Sementara 40 keluarga Ahmadiyah di desa itu yang awalnya terdiskriminasi itu juga bisa mendapatkan bantuan juga dari pemerintah.”

Ahmadiyah sendiri kini malah menggalang bantuan bagi warga yang terkena dampak corona tanpa memandang apa pun latar belakang orang yang membutuhkan bantuan tersebut. Agil menceritakan, Ahmadiyah menyelenggarakan berbagai program bantuan saat pandemi corona, yaitu berupa donor darah, sembako dan pembagian masker, cairan pembersih tangan, penyemprotan disinfektan serta pembagian alat pelindung diri.
 
Saat pandemi corona meluas, banyak warga takut ke rumah sakit atau Palang Merah Indonesia, untuk mendonorkan darah, untuk itu Ahmadiyah menggalang bantuan berupa donor darah. Diceritakan oleh Agil Cahyo Manembah, kepala divisi program Humanity First, Ahmadiyah, untuk donor darah, ada  dua skema. Pertama, Donor Darah Mandiri, yang bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI). “Kedua, Donor darah Per Request. Pada masa pandemi banyak yang membutuhkan darah untuk keluarganya, baik untuk operasi maupun kebutuhan lain, nah lewat program Per Request, kami mengunakan aplikasi  berbasis android Give Blood, untuk menyumbang darah. Masyarakat tinggal mengunduh aplikasi tersebut dan warga kita yang letaknya terdekat bagi yang membutuhkan akan segera meluncur menuju lokasi orang yang membutuhkan darah, atau rumah sakit dan PMI,” demikian disampaikan Agil.

Kemanusiaan tidak mengenal demarkasi
 
Sementara itu kelompok pekerja kebudayaan berbasis komunitas yang berfokus pada isu toleransi dan kemajemukan, Gerakan Indonesia Kita GITA, juga menggalang sumbangan bagi warga. Ketua umum GITA; Alif Nurlambang bercerita mereka milihat kurangnya  fasilitas air bersih di lokasi-lokasi publik , padahal penting untuk menjaga kebersihan di tengah pandemi COVID 19. Lalu GITA  memicu inisiatif lokal untuk menyediakan ‘washing hand station’ bagi komunitas. “Menjelang akhir Maret lalu, kita dapat sumbangan dari berbagai orang hingga lebih dari 200 juta rupiah. Sebagian besar dibelanjakan untuk membeli 160 toren ukuran 60 liter dan 80 toren ukuran 120 liter. Semua itu lalu dibagikan ke 32 kecamatan di 16 kab/kota, sebagian wilayah kerja GITA, plus di Ciracas, Jakarta Timur. Toren air itu sudah dimodifikasi dengan keran, lalu ditambah bak penampung, tisu kering, sabun cair cuci tangan dan juga poster-poster bagaimana mencuci tangan yang benar dalam bahasa Sunda dan Indonesia, siapa pun boleh menggunakannya,  terlepas dari apa pun latar belakang orang tersebut, tutur Alif.
 
Koordinator GITA, Alif Nurlambang mengingatkan,  pandemi, epidemi, wabah, menyerang siapa saja yang memang kondisi tubuhnya lemah tanpa memandang  ras, suku, dan agama. “Komunitas kami di Jawa Barat,  mayoritasnya muslim. Tapi penyumbang dari Jakarta dan kota lain itu banyak yang berasal dari kalangan Katolik, Konghucu, Hindu dan Kristen. Mereka menyumbang ke warga yang mayoritasnya muslim dengan motif macam-macam. Ada yang didorong oleh solidaritas kemanusiaan, tapi ada juga yang memang secara spiritual menganjurkan diri untuk lebih banyak menyumbang.”
 
Menurut Alif, agama tak boleh menjadi batasan bagi kita saat ini untuk mengatasi wabah. “Pandemi mengajarkan pada kita bahwa kemanusiaan sungguh-sungguh tak mengenal demarkasi. Kita, ternyata, tak bisa membiarkan orang tenggelam karena gagal berenang hanya karena kita tahu yang mau tenggelam itu berbeda keyakinan. Pandemi membuka kesadaran bahwa kita ternyata refleks begitu saja untuk lalu menceburkan diri dan menolong si yang mau tenggelam itu,” pungkasnya. ap/vlz(kna,uscirf,berbagai sumber)