1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dinasti Politik dan Sederet Penguasa Sakti

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
18 Juli 2020

Musisi balada legendaris Iwan Fals merilis lagu "Aji Mumpung”. Menurut Anda pesan apa yang disampaikan oleh Iwan fals dalam lagunya kali ini? Simak opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/3Z5k5
Iwan Fals penyanyi
Iwan FalsFoto: Imago Images/ZumaPress

Tanpa penjelasan lanjutan, kita sudah bisa memastikan bahwa Iwan sedang menyindir situasi politik negeri hari ini. Sejak dulu, syair-syair lagu Iwan memang selalu kontekstual, sebuah satire tentang situasi zaman.

Melalui medium tembang, Iwan sedang melakukan sindiran keras atas kecenderungan maraknya dinasti politik.

Sekadar informasi tambahan, komposer lagu tersebut adalah Guruh Sukarnoputra, adik dari Megawati Sukarnoputri, salah satu tokoh sentral dalam ikhtiar membangun dinasti politik. Mungkin inilah yang disebut sebagai paradoks dalam sejarah.

Bait pertama "Aji Mumpung” berikut, berhasil menjelaskan secara ringkas apa yang sedang terjadi hari ini:

Di suatu zaman orang pada gila-gilaan

Saling cari kesempatan dalam kesempitan

Memupuk kekayaan mengejar kedudukan

Berlomba mumpung ada kesempatan

Semua orang ingin mendapat kemuliaan

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Belajar dari Hatta dan Sutan Sjahrir

Kecenderungan dinasti politik sebenarnya fenomena lama, dua presiden sebelum Joko Widodo (Jokowi), yakni Susilo bambang yudhoyono (SBY) dan Megawati, secara terbuka telah menyiapkan anak-anaknya untuk terjun di panggung politik, dengan target jelas di kemudian hari, yakni menjadi presiden, atau setidaknya wapres.

Namun menjadi lain ceritanya, ketika Jokowi juga terbawa arus seperti itu, ketika anak dan menantunya berniat pula maju dalam Pilkada 2020.

Sebagian masyarakat terkejut ketika Jokowi ikut-ikutan melakukan hal yang sama, publik seolah tidak rela. Apa yang dilakukan Jokowi sungguh di luar ekspektasi masyarakat. Namun kini apa boleh buat,demokrasi telah dijadikan kredo untuk meraih kekuasaan. Prosesnya seolah memang demokratis, namun yang lebih dominan sebenarnya adalah atmosfer aji mumpung, istilah jawa yang maknanya sama dengan oportunis.

Dalam khazanah tradisi jawa sendiri, konsep aji mumpung selalu dimaknai secara negatif, dengan demikian elite politik kita yang umumnya berasal dari etnis jawa, pasti paham soal makna ini. Dengan kata lain, bila mereka tetap menjalankan konsep aji mumpung, mereka artinya memang sudah siap secara "mental” untuk di-bully masyarakat. Karena istilah itu sendiri memang berfungsi sebagai bahan olok-olok atau sindiran.

Menyaksikan kecenderungan seperti itu, saya teringat pada bapak bangsa di masa lalu, sebut saja Hatta dan Sutan Sjahrir. Rasanya kita tidak ada yang tahu, dimana posisi anak atau cucu mereka. Seandainya mereka dulu menyiapkan dinasti politik, tentu kini ada salah satu cucu Hatta atau Sjahrir yang muncul di panggung politik. 

Salah satu putri Hatta memang ada yang sempat yang jadi menteri (Meutia Farida Hatta), tapi tentu saja karena prestasi yang bersangkutan. Melihat integritas dan kesedarhanaan Bung Hatta, sama sekali tak terbayangkan bahwa Bung Hatta akan menyiapkan sebuah dinasti politik. Bagaimana harus menyiapkan sebuah dinasti politik, bila saat menjadi wapres saja, Bung Hatta tidak sanggup membeli sepatu bermerk (bally), sehingga hanya bisa menyimpan iklannya saja.

Demikian juga dengan Sutan Sjahrir, kita tidak tahu kemana jejak "politik” dua anak Sjahrir, selain mungkin karena anaknya tidak berminat terjun di panggung politik. Sebagai bapak bangsa dan figur sentral PSI (Partai Sosialis Indonesia), yang kader-kadernya bertebaran di berbagai lini, bila memang berkehendak, selalu ada kemudahan bagi anak Sutan Sjahrir untuk terjun di ranah politik praktis. Selalu ada kader PSI dalam lingkaran elite pemerintahan, sejak Orde Baru sampai sekarang. Di era rezim Jokowi ini, salah satu kader PSI yang bisa disebut adalah Fajrul Rachman, juru bicara Istana.

Walakin apa yang kita saksikan hari ini adalah sebuah anomali, ketika para elite politik secara berjamaah salah dalam memilh referensi. Mengapa mereka tidak merujuk pada figur seperti Hatta, Sjahrir, Natsir, dan seterusnya, namun justru kembali pada sistem kerajaan, yang sudah tidak sesuai lagi dengan kehendak zaman.

Aspirasi publik sengaja diabaikan

Apa yang kita lihat hari ini adalah sederetan penguasa sakti, yang menjadikan aspirasi sama sekali tidak ada nilainya. Mereka layaknya adalah "Dewa” yang turun ke bumi, sehingga apa pun kehendak mereka harus tercapai. Kitab suci mereka bukanlah teks yang biasa kita kenal, namun sekadar cita-cita dan ambisi mereka sendiri.

Dihubungkan dengan aspirasi publik, realitas hari ini untuk sebagian (besar) sudah mirip-mirip Orde Baru. Secara mudah bisa digambarkan dalam sebuah dialog singkat berikut: "Saya maunya begini, kalau kalian tidak setuju, kalian boleh pergi.”

Kita sempat berharap para politikus bakal memiliki etika dan bisa menjaga martabat, sesuai ukuran yang ditunjukkan figur Hatta atau Sjahrir. Namun kini harapan telah sirna, karena politisi pasca-Reformasi 1998, belum sampai pada perubahan karakter atau kultur. Perubahannya baru sebatas institusi dan para pelaku. Ketika sampai pada fase kekuasaan, ternyata sama saja dengan yang sudah-sudah.

Kekuasaan politik sejatinya harus dikembalikan pada kesejahteraan rakyat, ketika rakyat diabaikan, rakyat juga bisa bersikap, meskipun dalam diam. Kesabaran rakyat kita memang luar biasa, ketika hidup semakin sulit, sementara para elite politik justru sibuk membangun dinasti politik, rakyat tetap diam. Pada titik ini, kita menjadi paham, bahwa musuh politik Jokowi bukan lagi sebuah kubu politik atau figur pesaing, namun apatisme masyarakat, mengingat Prabowo sudah masuk dalam kabinet.

Dengan kekuasaan di tangan, masih ada ruang bagi Jokowi untuk menetralisir rasa apatis masyarakat. Salah satunya dengan cara membayar lunas janji kampanye menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini, utamanya kasus penyiraman air keras Novel Baswedan. Penuntasan kasus HAM bisa disebut sebagai "mahkota” rezim Jokowi, ketika tak ada lagi titik balik bagi rencana majunya anak dan menantu Jokowi. Atau mungkin Jokowi sedang mencari cara lain untuk merebut kembali kepercayaan rakyat.

Menjadikan relawan kikuk  

Gerakan sipil juga menghadapi problem, ketika para aktivisnya memilih bergabung pada kekuasaan. Kita tidak bisa berharap lagi pada militansi orang seperti Teten Masduki atau Fajrul Rachman, seperti di masa lalu. Ada pepatah lama mengatakan, honores mutant mores, saat orang menjadi pengusa maka berubah pula perilakunya.

Jadi sikap pasif para mantan aktivis yang kini ada di lingkaran Istana, justru sebuah keniscayaan. Bila orang seperti Teten, Fajrul, atau para relawan yang lain, kemudian bersikap "keras”, yang menjadikan mereka (misalnya) dipecat, jusru akan dipersalahkan. Mereka telah berkeringat untuk mencapai posisi itu, idealisme hanyalah omong kosong di zaman serba pragmatis seperti sekarang.

Setidaknya, dengan melihat sikap pasif para relawan, kita bisa melihat satu problem besar yang lain di era Jokowi, yaitu soal lapangan kerja dan kesejahteraan. Singkatnya sikap pasif para relawan melihat situasi negeri kiwari, adalah bagian dari cara untuk bertahan hidup (survive).

Satu hal yang mungkin masih bisa dilakukan gerakan sipil di lapangan, yaitu para aktvis yang memilih tetap menjaga jarak dengan kekuasaan, adalah melakukan edukasi masyarakat. Bahwa pembangunan sebuah dinasti politik yang masif berlangsung, bukanlah sesuatu yang sehat, dan cara itu sungguh mengingkari prinsip demokrasi.

Perlu diperkuat soal membangun kesadaran, bahwa apa yang terjadi hari ini biarlah terjadi, karena sudah terlanjur berjalan, sembari menyimpan harapan, bahwa generasi yang akan datang tidak mengulanginya lagi. Diperlukan sebuah keyakinan, bahwa apa yang terjadi hari ini adalah warisan buruk, yang bisa jadi dulu tidak pernah dipikirkan oleh figur bangsa seperti Hatta, Sutan Sjahrir, M Natsir, dan seterusnya.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.