1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perubahan Iklim Ancam 'Harta Karun' Afghanistan

10 Januari 2020

Setelah menderita akibat ledakan dinamit kaum jihadis dan penjarahan yang dilakukan pencuri, benda-benda bersejarah di Bamiyan, Afghanistan hadapi ancaman baru dan mungkin lebih menakutkan yakni: perubahan iklim.

https://p.dw.com/p/3Vz24
Die leere Höhle der berühmten Buddha-Staue von Bamiyan, Afghanistan
Foto: Getty Images/AFP/Shefayee

Terletak di jantung pegunungan Hindu Kush, di tebing indah lembah Bamiyan terdapat gua yang berisi kuil, biara, dan lukisan Buddha. Lembah ini juga merupakan rumah bagi benteng-benteng di era Jalur Sutra, Shahr-e Gholghola dan Shar-e Zohak di timur.

Para ahli mengatakan bahwa musim kering yang diikuti oleh hujan lebat, dan salju musim semi yang lebih lebat dari biasanya, telah menyebabkan banyaknya karya seni dan arsitektur bersejarah di lokasi tersebut berada dalam bahaya kehancuran.

Dalam laporannya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2016, pejabat Afghanistan memperingatkan bahwa struktur arkelogi di wilayah itu "mungkin akan runtuh dan menderita akibat erosi parah" karena kondisi yang terkait langsung dengan perubahan iklim.

"Proses erosi jauh lebih cepat, hujan lebih dahsyat dan angin lebih kuat telah berdampak buruk pada situs ini," ujar Philippe Marquis, Direktur Delegasi Arkeologi Prancis di Afghanistan, kepada AFP.

Marquis - yang telah menjelajahi dan bekerja di wilayah ini selama beberapa dekade - menjelaskan bahwa Afghanistan "sangat rapuh secara geologis, terutama karena tutupan vegetasinya telah sangat berkurang" akibat deforestasi.

Bagi Baqe Ghulami, yang berasal dari distrik Saikhand di Bamiyan utara, perubahan iklim telah lama menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh warga. "Cuaca berubah, sekarang musim panas lebih hangat dan musim dingin lebih dingin," katanya sambil menghadap ke ruang kosong yang dulunya pernah menjulang dua patung Buddha di sini.

Tempat patung Buddha berusia berabad-abad itu dihancurkan oleh Taliban pada tahun 2001.

Three paintings of Buddha which were dam
Lukisan-lukisan Buddha dihancurkan oleh Taliban.Foto: Getty Images/AFP/M. Hossaini

Sebelum Islam masuk ke wilayah tersebut, di wilayah ini sudah kaya dengan berbagai artefak. Meskipun berasal dari agama lain, penduduk yang berbicara dengan AFP dengan bangga menceritakan bagaimana masyarakat berusaha mempertahankan sejarah di daerah itu sebagai milik mereka.

Dari gua-gua yang kosong, pengunjung dapat melihat Pusat Budaya, yang mulai dibangun pada tahun 2015 tetapi belum selesai.  Pusat Budaya ini dibangun dengan tujuan mengedukasi pengunjung tentang kebutuhan mendesak untuk melestarikan warisan daerah tersebut.

"Tidak ada manfaatnya jika orang hanya melihat (situs) ini tanpa mendapat  informasi," kata Ali Reza Mushfiq, Direktur Departemen Arkeologi di Universitas Bamiyan, seraya mengeluh bahwa kelangkaan dana telah membuat banyak orang menjadi ‘buta'. Termasuk siswa-siswa yang tidak memiliki akses ke buku-buku.

Banyak penjarah

Arkeolog itu mengakui bahwa "erosi meningkat", tetapi ia percaya bahaya sebenarnya berasal dari "pengaruh manusia di lokasi", termasuk para penjarah, yang merajalela di Afghanistan.

Benteng Shar-e Gholghola dan situs-situs utama lainnya sekarang dijaga agar terlindung dari masalah-masalah seperti itu.

"Kita harus memulai pelatihan bagi masyarakat setempat untuk mengajari mereka agar tidak menghancurkan situs itu," kata Mushfiq, sambil menambahkan bahwa beberapa warga terus menyimpan makanan dan memelihara ternak di situs bersejarah.

Warga pindah ke gua

Sepelemparan batu dari gua Buddha yang Agung, Ammanullah mengatakan ia dan keluarganya telah pindah ke salah satu gua, membangun rumah di dalamnya yang terbuat dari barang-barang bekas dan memanfaatkan lembaran plastik untuk jendela.

Dia tidak sendirian, banyak keluarga miskin lainnya mencari perlindungan di samping artefak dan bangunan kuno. "Ada 18 keluarga di sini.. kami tidak memiliki pilihan lain," kata Ammanullah. "Kita akan pergi jika kita diberi rumah."

Namun, bagi Marquis, ancaman terbesar tidak datang dari penghuni lokal yang melanggar situs atau dari pencurian: "Tidak separah  kehancuran yang disebabkan oleh erosi," katanya.

Mengurangi dampak erosi dan dampak perubahan iklim akan menelan biaya miliaran dolar AS di Afghanistan, tetapi negara yang dilanda perang memiliki sedikit kemampuan untuk menanggung beban seperti itu.

Global Adaptation Initiative, yang diprakarsai oleh Universitas Notre Dame di Amerika Serikat saat ini menempatkan Afghanistan pada peringkat 173 dari 181 negara yang dinilai rentan terhadap perubahan iklim dan kemampuannya untuk beradaptasi.

ap/vlz (afp, dailystar, aawsat)