1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Inteligensia Buatan Sokong Pekerjaan Dokter

Claudia Laszczak
26 April 2021

Lebih tepat dan cepat untuk bantu pasien. Begitu tujuan pengembangan teknologi baru dengan kecerdasan buatan d dunia kedokteran. Disebutnya: machine learning.

https://p.dw.com/p/3sUNi
gambar tunjukkan proses pemberian narkose
Proses awal operasi yang dilakukan ahli anestesiFoto: Colourbox/Mittermueller Bildbetrieb

Menetapkan diagnosa yang tepat, juga pada penyakit berat sangat penting bagi pasien dan dokter. Namun itu kadang tidak mudah. Misalnya seorang pakar radiologi. Ia hanya punya sedikit waktu untuk menganalisa gambar. "Kira-kira 10 menit bagi setiap pasien. Padahal ada 200-400 gambar, yang harus dilihat," papar Andreas Lemke, pengembang piranti lunak pada perusahaan Mediaire.

Artinya, seorang dokter memberikan penilaian berdasarkan pengalamannya. Untungnya, dalam dunia kedokteran, teknologi canggih juga digunakan. Misalnya pencitraan resonansi magnetik. Dalam citra terperinci, struktur organ-organ tubuh bisa terlihat.

Teknologi canggih

Machine Learning begitu nama teknologinya. Data dalam jumlah besar dihubungkan oleh sebuah algoritme. Komputer yang dilengkapiinteligensia artifisial ini, misalnya belajar mengenali sklerosis multipel atau MS, dan serangan demensia pada otak. Semakin besar dan terperinci datanya, semakin tepat pula hasilnya.

Kecerdasan Buatan untuk Diagnosa Penyakit

Andreas Lemke menjelaskan, langkahnya begini: "Setiap bagian proses akan kami otomatisir. Semakin banyak piranti lunak juga akan bisa menganalisa masalah tertentu. Akhirnya seorang ahli radiologi hanya akan memeriksa informasi tertentu. Lainnya dikerjakan piranti lunak."

Juga dalam upaya memerangi COVID-19, piranti lunak yang mampu belajar itu digunakan. Misalnya dalam tes Corona untuk masyarakat luas. Dalam waktu dekat akan ada aplikasi baru, yang dengan bantuannya, tes infeksi bisa dilaksanakan hanya dengan pengenalan suara.

Bantu perangi pandemi

Tes kilat audio itu memang tidak bisa menggantikan tes dengan sampel dari tenggorokan, tapi ketepatannya bisa sampai 90%. Sekarang, data suara dari sebanyak mungkin orang dikumpulkan untuk melatih pirant lunak.

"Lewat kerja paru-paru, misalnya saat batuk atau tertawa, diukur seberapa banyak tekanan dikeluarkanparu-paru. Itu hal-hal yang kami ukur lewat algoritma pengolahan sinyal." Lemke menambahkan, "Kemudian melatih inteligensia artifisial menggunakan contoh-contoh dari kumpulan data, untuk melihat apakah seseorang positif atau negatif tertular, atau apakah menunjukkan simtom."

Jika penderita sakit paru-paru harus diberikan pernapasan buatan, risikonya besar, bahwa paru-paru rusak. Sehingga risiko kematian juga tinggi.

Oleh sebab itu, sebuah perusahaan pembuat piranti lunak di München mengembangkan inteligensia artifisial yang bertujuan memperbaiki peluang hidup. Dengan sebuah software dibuat model digital paru-paru, dan disimulasikan bagaimana udara masuk. Dengan cara itu, misalnya, tekanan pada alat pernapasan bisa disesuaikan.

Melihat kerusakan paru-paru

"Sejauh ini, dokter tidak bisa melihat ke dalam paru-paru. Ia hanya melihat dari luar yang ditunjukkan alat pernapasan tentang tekanan pada trakea," jelas Dr. Jonas Biehler, manajer perusaaan ebenbuild.

Perusahaannya mengembangkan teknologi yang memungkinkan itu. Sehingga dokter bisa melihat, bagaimana udara bergerak di dalamnya, juga di mana udara menimbulkan pembengkakkan. "Bukan itu saja. Karena ini alat digital, sebelum digunakan pada pasien, bisa diujicoba tanpa merugikan pasien."

Tantangan berikutnya bagi perusahaan itu adalah, izin penggunaan program sebagai produk kedokteran. Dalam dua tahun mendatang, produk ini bisa dilempar ke pasaran Eropa. Walaupun saat itu pandemi corona mungkin sudah teratasi. (ml)