1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dewan Media Sosial, Independen atau Dikontrol Pemerintah?

Prihardani Ganda Tuah Purba
30 Mei 2024

Pemerintah kembali menggulirkan rencana pembentukan Dewan Media Sosial (DMS), sebagai respons atas usulan organisasi masyarakat sipil dan UNESCO. DMS diklaim akan dibentuk independen mirip Dewan Pers, tapi pakar skeptis.

https://p.dw.com/p/4gRuu
Logo TikTok
Foto: Michael M. Santiago/Getty Images

Baru-baru ini Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengemukakan rencana pembentukan Dewan Media Sosial (DMS).

Budi mengatakan wacana pembentukan DMS itu merupakan respons positif pemerintah atas masukan dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan UNESCO.

Apa tugas Dewan Media Sosial?

Menurut Budi, DMS nantinya akan berfungsi untuk mengawal kualitas tata kelola media sosial di Indonesia, demikian seperti diberitakan Detik.

Sementara kepada Tempo, Budi mengungkapkan bahwa DMS nantinya akan befungsi sebagai lembaga mediasi ketika terjadi sengketa di media sosial, termasuk konten-konten yang terindikasi melakukan pelanggaran UU ITE, UU yang revisi keduanya telah disahkan DPR RI pada 5 Desember 2023.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Meski masih sekadar wacana, ada satu klaim Budi terkait pembentukan DMS yang menarik untuk dilihat lebih jauh.

Seperti diberitakan Tempo, Budi mengklaim, saat dibentuk nanti, DMS akan bersikap serupa seperti Dewan Pers. Artinya, ia akan menjadi sebuah lembaga independen yang diisi oleh lintas pemangku kepentingan, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, insan pers, praktisi, dll.

Budi bahkan menjamin, DMS akan turut memastikan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di ruang digital.

Tapi apa benar demikian? Pakar yang diwawancara DW skeptis terkait hal ini.

Kekhawatiran akan independensi

Kepada DW, Hafizh Nabiyyin yang menjabat sebagai Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, mengaku bahwa usulan pembentukan DMS sejatinya muncul dari organisasinya pada tahun 2023.

DMS diusulkan untuk dicanangkan di UU ITE yang pada saat itu sedang dalam pembahasan revisi kedua. "Jadi kami berharap sebenarnya ada satu pasal baru di UU ITE yang bisa menjadi dasar pembentukan DMS ini,” kata Hafizh pada Rabu (29/05).

Dalam usulannya saat itu, SAFEnet meminta agar proses moderasi konten di internet, ikut melibatkan partisipasi dari organisasi masyarakat sipil, jadi tidak hanya dikuasai oleh pemerintah dan platform digital. 

"Supaya moderasi konten yang dilakukan oleh Kominfo maupun platform tidak dilakukan secara serampangan. Jadi, tetap menghormati prinsip-prinsip kebebasan berekspresi, dan juga standar-standar HAM,” jelas Hafizh.

Namun, ternyata usulan tersebut tidak diakomodir oleh Kominfo, sehingga ketika wacana pembentukan DMS digulirkan kembali oleh Budi baru-baru ini, muncul kekhawatiran bahwa DMS tidak akan independen, tapi berada di bawah kontrol eksekutif, dalam hal ini Kominfo.

Hafizh menggarisbawahi,  jika DMS memang benar-benar ingin dibentuk sebagai lembaga independen, maka pembentukannya harus diatur di level UU seperti layaknya UU Pers, bukan melalui peraturan menteri.

Kekhawatiran yang sama dikemukakan oleh Wahyudi Djafar, yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Ia merasa usulan pembentukan DMS yang baru-baru ini digulirkan Menkominfo Budi sudah tidak relevan, karena usulan tersebut sebelumnya sudah mengemuka pada saat pembahasan revisi kedua UU ITE, namun tidak diakomodasi.

"Bila usulan itu muncul hari ini, dan hanya dibentuk melalui peraturan menteri, tentu berisiko pada besarnya peluang intervensi pemerintah, yang juga memiliki kepentingan secara politik,” kata Wahyudi kepada DW, Rabu (29/05).

"Dia tidak akan bisa seperti halnya Dewan Pers, ataupun kemudian komisi-komisi independen yang lain, yang memang secara khusus dibentuk melalui UU. Jadi, ketika itu dibentuk oleh peraturan Menkominfo, maka yang terjadi dia berada di bawah kontrol dan pengaruh dari Kominfo atau pemerintah itu sendiri," tambah direktur eksekutif  ELSAM itu.

Kekhawatiran akan kebebasan berekspresi

Selain kekhawatiran terkait independensi, pakar menilai pembentukan DMS, jika nantinya diatur di bawah Kominfo, akan berpotensi menekan kebebasan berekspresi di ruang digital.

"Pemerintah Indonesia adalah pemerintah yang paling aktif dan paling banyak meminta take down konten kepada platform, misalnya kalau merujuk pada annual google transparency report,” kata Wahyudi.

"Dengan preseden itu, ada kekhawatiran akan pembentukan dewan di bawah Kominfo hanya akan semakin memperkuat wewenang pemerintah untuk memblokir konten, yang pada akhirnya semakin merepresi kebebasan berekspresi,” tambahnya.

Sementara Hafizh mengatakan: "Apabila nanti si lembaga ini berada di bawah kewenangan Kominfo, ataupun dia independen tapi dia memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan atau monitoring aktif di media sosial, maka ini akan mengkhawatirkan karena bisa menimbulkan fenomena swasensor, baik oleh korporasi media sosial, maupun bagi individu-individu pengguna media sosial.”

gtp/as (dari berbagai sumber)