1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Demonstrasi Merah di Thailand

30 Desember 2008

Ribuan pendukung mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra memaksa Perdana Menteri baru Abhisit Vejjajiva mengalihkan pidato pelantikannya dari gedung parlemen ke gedung kementerian luar negeri.

https://p.dw.com/p/GPEu
Aksi protes para pendukung Thaksin di Thailand
Aksi protes para pendukung Thaksin di ThailandFoto: AP

Dengan mengenakan kaus merah para demonstran memblokir jalanan yang mengitari gedung parlemen Thailand dan menyebabkan anggota parlemen sulit memasuki gedung. Mereka menamakan diri sebagai Aliansi Demokrasi untuk Melawan Diktator. Kesemuanya merupakan pengikut mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, yang kekuasaannya ditumbangkan oleh kudeta militer Thailand tahun 2006.

Pemerintahan baru, kritik mereka, tidak terpilih oleh suara mayoritas rakyat Thailand. Koalisi pimpinan PM Abhisit Vejjajiva itu hanya terjadi karena membelotnya para pendukung Thaksin ke Partai Demokrat. Para demonstran juga mempertanyakan militer yang membantu pembentukan pemerintahan baru ini. Tuntutan mereka jelas, juru bicara demonstran meneriakkan: “Kami akan tetap beranggapan bahwa parlemen akan membubarkan pemerintah dan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat dan dengan cara ini demokrasi dapat dikembalikan lagi kepada Thailand.” Ia menekankan juga bahwa demonstran tidak dapat menerima pemerintahan sekarang yang terbentuk lewat campur tangan militer.

Pengikut Thaksin merasa mandat mereka telah disalahgunakan. Sebagian besar anggota kabinet saat ini banyak yang diambil dari jajaran pemerintahan Thaksin. Hampir empat minggu lalu, pembelot –pembelot ini dikeluarkan dari partai. Kelompok yang dikenal sebagai Aliansi Rakyat untuk Demokrasi ini berbulan-bulan menggelar aksi demonstrasi. Pada aksi massal akhir November lalu, mereka memblokade akses ke Bandara Bangkok. Selama satu minggu terpaksa 300 ribuan turis tertahan di bandara tersebut.

Di balik gerakan Aliansi Rakyat itu, berdiri kelas menengah dan elit konservatif Thailand, yang lebih suka dengan penunjukan pimpinan melalui parlemen ketimbang lewat cara pemilihan langsung oleh rakyat. Sementara para pengikut Thaksin terutama berasal dari penduduk petani miskin, buruh harian di utara Thailand.

Keretakan di tubuh masyarakat Thailand semakin dalam dari sebelumnya. Abhisit Vejjajiva, sesaat setelah ditunjuk sebagai perdana menteri menjelaskan kemana langkah yang ingin diambil, yaitu: perbaikan perekonomian dan rekonsiliasi nasional. Tentunya ini merupakan tantangan besar bagi seluruh negeri. Namun sangat penting, untuk mengembalikan lagi kesatuan Thailand dan menciptakan kembali kepercayaan rakyat.

Namun untuk mencapai tantangan itu masih cukup jauh. Kini, perdana menteri itu tidak saja harus menanggulangi gelombang protes, melainkan juga harus menghadapi ujian berikutnya: Pertengahan Januari mendatang akan ada pemilihan di lebih dari dua puluh distrik di Thailand.

Karena Mahkamah Konstitusi Thailand membubarkan Partai Kekuatan Rakyat PPP, partai yang dekat dengan Thaksin dan adanya larangan berpolitik bagi para pemimpin partai, maka untuk sementara 29 kursi di parlemen hingga 11 Januari mendatang kosong. Kini dipertaruhkan, siapa yang akan menguasai parlemen nanti, pendukung Abhisit atau pengikut setia Thaksin, yang membentuk partai baru.

Sudah tentu bahwa para pemrotes pemerintahan yang sekarang akan terus melanjutkan aksi mereka.Para demonstran tetap akan menghalangi pintu masuk parlemen. Pertarungan kekuasaan di Thailand nampaknya masih belum kunjung padam. (ap)