1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Dari Barista ke Pengajar Breakdance, Penyintas Tsunami Aceh

17 September 2024

Kehidupan anak muda penyintas tsunami Aceh setelah hampir 20 tahun berlalu. Mereka punya asa membangun Aceh lebih baik, mulai dari pekerjakan barista perempuan hingga mengajar breakdance

https://p.dw.com/p/4khtJ
Nainunis memperkenalkan break dance ke anak muda Aceh
Nainunis memperkenalkan break dance ke anak muda AcehFoto: Privat

Di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, kedai kopi kerap identik dengan kaum adam yang menyeruput kopi sembari menyesap sebatang rokok. Namun, tidak dengan kedai kopi Morning Mama milik Qurrata Ayuni.

Ia mendirikan Morning Mama sejak 2023 bukan tanpa alasan. Ia menilai sebagian besar kedai kopi di kota Serambi Mekkah tidak bisa mengakomodasi kepentingan anak-anak muda yang bisa minum kopi sambil kerja di pagi hari.

"Walaupun Aceh (disebut) 1001 kedai kopi, tapi kebanyakan kedai kopi yang bapak-bapak banget. Untuk anak muda jarang banget pagi-pagi udah buka," tutur Qurrata kepada DW Indonesia melalui sambungan telepon. 

Qurrota Ayuni di cafe miliknya di Banda Aceh
Qurrota Ayuni kehilangan ayah, ibu, dan adiknya saat gempa dan tsunami melanda pada 26 Desember 2004Foto: privat

Beranjak dari keresahan tersebut, Qurrata dan teman-temannya sepakat untuk membuka kedai kopi yang sesuai dengan keinginan mereka. Kedai kopi yang tanpa asap rokok, ramah terhadap anak muda, perempuan, anak dan ibu, sambung Qurrata.

Barista perempuan Aceh

Qurrata menilai usaha rintisan kedai kopinya direspon positif, terutama oleh anak muda. Perempuan yang kehilangan ayah, ibu, dan adiknya akibat tsunami yang didahului gempa besar pada 2004 ini juga peka melihat kebutuhan pelanggan dari kalangan kaum hawa.

Pada umumnya mereka ingin mencicipi kopi di tempat yang aman dan nyaman. Beberapa teman dan ibu-ibu yang membawa bayi kewalahan saat ingin memberikan ASI kepada anaknya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Aku pengen bikin tempat yang ada untuk anak-anak bisa main dan juga yang paling penting bikin nursery room," tutur Qurrata.

Ia juga sering mendapatkan pertanyaan apakah laki-laki boleh berkunjung dan membeli kopi di kedainya saat ini. Karenanya, ia merasa perlu membuka satu kedai lagi yang lebih luas dan ada tempat di luar.

Perempuan kelahiran tahun 1996 ini dibantu oleh enam karyawan yang terdiri dari lima perempuan dan satu laki-laki untuk menjalankan operasional kedainya. Barista di kedai Qurrata pun perempuan Aceh yang piawai menyajikan kopi.

Ketika membuka lowongan barista, banyak perempuan yang melamar. Padahal selama ini, perempuan selalu dipandang miring bila meracik kopi, ujarnya. 

Qurrota Ayuni bersama para staf perempuan di cafe miliknya
Qurrota Ayuni bersama para staf perempuan di cafe Morning Mama di AcehFoto: privat

Mengenalkan breakdance di Aceh

Sementara itu, di salah satu gedung organisasi kepemudaan dikota Banda Aceh, Nainunis dengan tim breakdance Nanggroe Break Cypherz (NBC) menggelar latihan rutin. Nay, sapaannya, memimpin latihan yang diikuti para peserta dari berbagai usia mulai dari anak-anak sekolah dasar, SMP, SMA, mahasiswa, dan yang sudah bekerja.

Baik peserta laki-laki dan perempuan berlatih bersama di bawah instruksi gerakan Nay. Saat berbincang dengan DW Indonesia melalui telepon, Nay sedang mempersiapkan timnya jelang Pekan Olah Raga (PON) XXI Aceh - Sumatra Utara 2024. Breakdance menjadi salah satu cabang olah raga yang dipertandingkan di PON di kedua provinsi itu. 

"Dalam 25 anggota tim ada 7 perempuan. Ya tapi yang sekarang tinggal masih bertanding yang kita persiapkan untuk bertanding di PON nanti 3 orang," terang lelaki berambut cornrow. Para perempuan Aceh yang berlatih breakdance dengannya tetap mengenakan jilbab. 

Nay mengajar breakdance kepada para pemudi Aceh
Tarian breakdance disebut berasal dari New York, AS, pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Tarian tersebut memadukan gerakan senam dan bela diri.Foto: Privat

Nay sudah menekuni breakdance hampir 20 tahun. Ia mengenal breakdance dari tayangan televisi swasta dan merasa tarian tersebut sangat menarik. Untuk mendalami breakdance dia juga sempat merantau ke Jabodetabek untuk berlatih pada tahun 2004. 

Namun, ia memutuskan kembali ke Aceh tahun 2008 bertujuan mengenalkan breakdance kepada anak-anak muda di Aceh.

"Mau bangun tim breakdance di Aceh supaya Aceh ini terdengar positif," ujar Nay yang pernah berkompetisi dan tampil di berbagai negara seperti Malaysia, Hong Kong, Jepang, bahkan Rusia.

Paduan break dance dengan tarian Aceh

Menurut laman Britannica, breakdance berasal dari New York, Amerika Serikat, pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Tarian tersebut memadukan gerakan senam dan bela diri.

Nay punya ide lain yaitu memadukan breakdance dengan tari tradisional Aceh. Ia memperkenalkan perpaduan dua tarian dari dua budaya berbeda saat ia berkompetisi di Malaysia tahun 2011.

"Gaya kami dilihat beda. Ada tarian breakdance yang saya kombinasikan dengan tari Likok Pulo dan Seudati," ucap Nay bangga. 

Nay berlatih breakdance di jalanan di Rusia
Ia memadukan unsur breakdance dengan tarian tradisional AcehFoto: Privat

Nay berupaya keras untuk mengenalkan Aceh dengan hal-hal positif. Ia menyadari Aceh dikenal orang karena konflik, tsunami, dan narkoba. Bahkan Laporan Indeks Kota Toleran tahun 2023 oleh Setara Institute, menyebutkan bahwa Banda Aceh adalah salah satu kota yang kurang toleran di Indonesia.

"Saya harus mewakili Aceh dengan kegiatan saya. Sejak saat itu saya pelajari tarian-tarian tradisional Aceh. Semua tentang Aceh saya pelajari. Termasuk sejarah Aceh," ungkapnya.

Pernah ditegur polisi Syariat Islam

Kegiatan breakdance yang diperkenalkan Nay bukan tanpa hambatan, mengingat Provinsi Aceh menerapkan Syariat Islam. Nay pernah mendapat teguran langsung dari Polisi Syariat di Banda Aceh.

Polisi Syariat Islam menganggap latihan breakdance bisa membuat laki-laki dan perempuan bercampur. Akibatnya, acara break dance mereka sering dihentikan oleh Polisi Syariat Islam. Namun Nay tidak tinggal diam.

"Saya tanyakan kembali kenapa ga boleh. Saya bilang kenapa berpikir jelek. Kami mau buat acara breakdance kenapa mikirnya yang jelek," kata Nay mengingat kembali.

Ia juga mengajak aparat setempat untuk berdiskusi. Setelah aparat melihat kegiatan breakdance beberapa kali dan tidak ada kesalahan, Nay dan tim NBC tidak pernah dilarang berlatih atau tampil. 

Aceh mulai terbuka usai konflik

Sebelum tsunami, konflik di Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia sudah berlangsung bertahun-tahun. Konflik tersebut berakhir dengan penandatanganan perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, tahun 2005.

Menurut Suadi, dosen tetap sekaligus profesor di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Malikussaleh, Aceh, terdapat perbedaan sosial yang signifikan setelah konflik. Aceh jadi lebih terbuka.

Di era konflik, Syariat Islam belum terformalkan secara baik, tapi secara budaya sudah diterapkan. Pemerintah setempat tidak bisa menekan secara formal karena tidak peraturan, kata Suadi.

"Situasi damai saat ini memberi kebebasan bagi generasi muda untuk bekerja, berekspresi, dan diskusi politik," tambah Suadi. Hari ini ruang berekspresi di Aceh sangat luas di mana laki-laki dan perempuan generasi Z lebih bebas. Tapi konteks bebas di Aceh tetap berbeda dengan tempat lain," sambungnya. "Bebas tapi terkontrol oleh masyarakat yang bisa melihat," kata Suadi.

Editor: Arti Ekawati

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).