1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dampak Perubahan Iklim Global Pada Ekonomi Asia Tenggara

28 April 2009

Kota-kota pesisir Asia Tenggara terancam akibat perubahan iklim global, hasil pertanian akan menurun dan peluang rakyat untuk mendapatkan air bersih akan berkurang. Begitu laporan terbaru Bank Pembangunan Asia, ADB.

https://p.dw.com/p/Hg3H
Foto: AP

Perubahan iklim sudah menunjukan dampaknya di Asia Tenggara. Sebuah laporan Bank Pembangunan Asia, ADB menyebutkan, suhu udara sudah semakin tinggi, dan hujan mulai berkurang. Disamping itu, tinggi permukaan air laut juga terus meningkat dan bencana alam semakin sering terjadi. Begitu tercantum dalam 250 halaman laporan ADB, yang merangkum dampak perubahan iklim pada ekonomi Asia Tenggara di tahun 2100.

Menurut pakar iklim ADB, David McCauley, negara-negara Asia Tenggara bakal terpaksa memikul akibatnya, bila tidak segera bersiap-siap menghadapi permasalahan ini. Karena menurut David McCauley, biaya penanganannya nanti akan membengkak lebih jauh lagi, “Biayanya pada akhir abad ini, akan antara 6%-7% produk brutto domestik di Asia Tenggara. Sebelumnya, tentu akan bergerak menuju angka-angka itu.”

Laporan ADB ini dirampungkan dalam 15 bulan dan memberikan perkiraan yang mendetil untuk perkembangan ekonomi di empat negara Asia Tenggara. McCauley menambahkan, “Indonesia, Thailand, Filipina dan Vietnam, merupakan ekonomi terbesar di kawasan ini. Temuan laporan ini berdasarkan jumlah bencana alam yang semakin sering, peningkatan hasil agraria dst., dan yang terlihat itu biayanya akan mahal bagi ekonomi negara-negara ini”

Asia Tenggara dengan penduduknya yang mencapai 600 juta orang dinilai terancam hebat oleh perubahan iklim karena sebagian besar wilayahnya merupakan pesisir. Kawasan ini memiliki 170 ribu kilometer pesisir. Sekitar 80% persen populasi Asia Tenggara menetap di wilayah yang jaraknya tak sampai 100 km dari pesisir, termasuk di kota-kota besar. Sementara itu setiap tahunnya, permukaan air laut naik 1 hingga 3 milimeter. Diperkirakan, pada tahun 2100 kenaikannya sudah akan mencapai 70 sentimeter. Hal ini berarti bahwa ancaman banjir dan kawasan yang tenggelam cukup besar.

Selain itu, hampir 43% penduduk Asia Tenggara masih mencari nafkah dari pertanian. Suhu udara yang bisa naik sampai 4.8°C di tahun 2100, berarti kawasan yang dulunya hutan bisa berubah menjadi savanna. Sedangkan dampak jangka pendeknya, hasil tani bisa menurun 50%.

Menurut pakar iklim Bank Pembangunan Asia, David McCauley: “Negara-negara bersangkutan sudah mulai mengevaluasi hal itu. Sebagian sudah memiliki kebijakan sementara atau strategi untuk menghadapi perubahan iklim. Ini termasuk hal-hal yang memang seharusnya dilakukan dalam perencanaan penanggulangan bencana, seperti memantau dataran rendah, menyiapkan sistem-sistem untuk menghindari banjir, misalnya yang terjadi akibat badai dan sebagainya. Juga termasuk memberikan perhatian kepada sektor pertanian, karena sektor ini akan mengalami dampak hebat dari perubahan iklim”.

Untuk sektor pertanian, David McCauley memberikan sejumlah contoh, termasuk penciptaan bibit-bibit yang tahan banjir dan tanaman yang tahan kemarau panjang.

EK/dpae/rtre

Editor: Hendra Pasuhuk