1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dalam 100 Hari Masa Kerjanya, Obama Investasikan Ratusan Miliar Dollar

29 April 2009

Presiden Amerika Serikat Barack Obama memulai masa jabatannya dengan begitu banyak harapan dan pujian. Namun ia juga menghadapi berbagai tantangan besar. Terutama penanggulangan krisis ekonomi dunia.

https://p.dw.com/p/HgZf
Obama ketika mengkampanyekan paket stimulusnya, Pebruari 09Foto: AP

Bagaimana politik ekonomi dan keuangan Obama setelah 100 hari masa pemerintahannya?

Selama 100 hari menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, Barack Obama sudah menginvestasikan ratusan miliar Dollar dalam berbagai sektor. Tujuan utamanya untuk menyelamatkan perekonomian Amerika Serikat yang sedang guncang. Sektor perbankan oleng, industri mobil dan perumahan mengalami krisis, angka pengangguran mencapai tingkat tertinggi setelah Perang Dunia ke-2.

Memulai masa jabatannya di Gedung Putih, Obama langsung mendesak program stimulus ekonomi besar-besar-an. Jika tidak segera dilakukan langkah-langkah besar, situasi yang sudah jelek akan memburuk secara dramatis. Pesan ini disampaikan Obama berulang-ulang, di depan Senat, di hadapan Kongres dan kepada para pemilih. Hanya 25 hari setelah menempati Gedung Putih, Barack Obama berhasil meloloskan paket stimulus ekonominya di Kongres, sekalipun kebanyakan anggota Partai Republik menentang dengan sengit.

Paket stimulus itu membutuhkan dana senilai 787 miliar Dollar. Inilah paket stimulus ekonomi terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Di depan para wartawan, Obama menjelaskan target paket stimulusnya.
"Sebagiannya untuk memberi insentif kepada dunia bisnis agar mereka mulai berinvestasi, sehingga ada lapangan kerja. Sebagian lagi untuk industri potensial yang menciptakan lapangan kerja di masa depan.“

Tujuan utama program investasi Obama adalah penciptaan lapangan kerja. Selain itu ia ingin mendongkrak niat belanja warga Amerika Serikat. Antara lain dengan keringanan pajak yang seluruhnya bernilai 300 miliar Dollar. Ada bantuan dana untuk pemilik rumah yang kesulitan membayar angsuran rumahnya, ada keringanan pajak untuk pembelian mobil yang ramah lingkungan.

Untuk menyelamatkan sektor perbankan, Obama meluncurkan program khusus penjaminan bank senilai 700 miliar Dollar. Sasarannya agar bank-bank ini bisa terlepas dari beban kredit macet dan surat-surat berharga yang sudah anjlok nilainya. Sehingga bank-bank mampu berfungsi lagi sebagai penyalur kredit baru. Namun ketika program ini diumunkan kepada publik, pasar saham langsung anjlok. Dunia keuangan ternyata tidak terlalu yakin, rencana ini akan mampu memulihkan sektor perbankan.

Pemerintahan Obama juga punya masalah besar dengan perusahaan-perusahaan otomotif Amerika Serikat, terutama General Motors dan Chrysler. Kedua perusahaan harus ditopang dengan kredit miliaran Dollar agar terhindar dari kebangkrutan. Namun langkah inipun ternyata belum bisa menyelamatkan General Motors dan Chrysler. Pemerintahan Obama akhirnya memberi batas waktu kepada kedua perusahaan untuk mengajukan konsep restrukturisasi yang lebih baik, sebelum ada bantuan dana yang baru.

Kebijakan ekonomi Obama dikritik banyak pihak, baik dari kubu politik kiri maupun kanan. Satu pihak menyatakan, paket stimulus ekonomi ini masih terlalu kecil sehingga tidak bisa berfungsi. Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh ekonom terkenal Paul Krugman yang pernah menerima penghargaan Nobel. Sebaliknya pihak lain menilai, Obama terlalu banyak menghamburkan dana negara. Kritik ini terutama datang dari kubu Republik, sebagaimana disampaikan juru bicaranya di Dewan Perwakilan, John Boehner.

"Presiden menyusun anggaran yang malah membebani ekonomi dan menghancurkan lapangan kerja yang justru ingin kita selamatkan dan ciptakan.“

Sekalipun menghadapi kritik gencar dari kiri dan kanan, Presiden Barack Obama masih tetap populer di kalangan pemilih. Menurut jajak pendapat Gallup Institute, 71 persen warga Amerika Serikat percaya, bahwa Obama akan membawa negerinya keluar dari krisis ekonomi.

Antje Passenheim/hendra Pasuhuk

Editor: Yuniman Farid