1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAfrika

Cuci Tangan Sebagai Ritual Keagamaan

16 Oktober 2020

Akibat pandemi  virus corona, cuci tangan kini menjadi hal penting dalam keseharian. Pembersihan tubuh secara baik juga bagian dari ritualitas agama.

https://p.dw.com/p/3k1Ms
Membersihkan tubuh
Gambar ilustrasi cuci tanganFoto: picture-alliance/imageBROKER/F. Kopp

Dalam masa pandemi Covid-19, mencuci tangan secara teratur dan menyeluruh merupakan salah satu langkah terpenting untuk meredam penyebaran virus SARS-Cov2. Tetapi bukan hanya dari sudut pandang higienis, bagaimana teknik mencuci tangan yang benar, perlu diperhatikan. Dikutip dari kantor berita KNA, menjaga kebersihan tubuh dengan mencuci tangan, juga sangat penting sebagai bagian dari tindakan ritual dalam agama. 

Dalam Yudaisme, mencuci tangan awalnya memiliki makna ritual, seperti yang dikatakan Rabi Zsolt Balla. "Mencuci tangan telah menjadi topik dalam Yudaisme selama 3.000 tahun." 

"Pagi hari dimulai dengan mencuci tangan," Balla menjelaskan. "Siapapun yang makan roti juga harus membersihkan diri dengan cara ini sebelumnya. Selain itu, pengunjung sinagoge dan kuburan juga harus mencuci tangan.”

Rabi itu menekankan bahwa ketika mencuci tangan, perlu dibedakan antara ritual dan kebersihan, karena kebersihan bukanlah tujuan awal dari mencuci tangan. Tujuan awal mencuci tangan  murni merupakan aksi spiritual. Namun ritual sering mencuci tangan itu kini juga merupakan "bagian praktis" terkait kebersihan.

Wajib melindungi tubuh dan mental

Dengan mencuci tangan, kaum Yahudi dapat melindungi diri mereka dari penyakit serius di masa lalu. Dalam kitab keempat Musa, orang Yahudi diperintahkan untuk melindungi kesehatan fisik dan mental mereka. Oleh karena itu, menurut Balla, bahkan di saat krisis corona menyergap, bagi umat Yahudi sudah menjadi kewajiban untuk melindungi kesehatan sendiri – yaitu dengan menggunakan sabun dan desinfektan dalam mencuci tangan, selain dengan air.

Dalam Islam, berwudu sebelum salat lima waktu adalah kewajiban bagi umat. Alquran mengatur pembersihan tangan sebagai "wudu kecil", juga dalam membersihkan wajah, kepala dan lengan sampai ke siku dan kaki. Para ulama bahkan menambahkan bagian tubuh lain seperti mulut, hidung dan telinga, berdasarkan banyak tradisi kenabian. Penyimpanan air menjadi bagian sentral dari setiap masjid. Namun dalam keadaan darurat, pencucian organ tubuh juga bisa dilakukan dengan pasir.

Wudu menghapuskan “cemaran kecil" yang muncul dari menyentuh kulit lawan jenis, tidur atau buang air. Selain itu, juga untuk membersihkan diri dari “najis besar", misalnya setelah berhubungan seksual, yang membutuhkan "pembasuhan secara menyeluruh" pada seluruh tubuh, atau mandi junub. Peraturan membersihkan tubuh ini berkontribusi secara signifikan terhadap meluasnya penggunaan tempat pemandian umum di dunia Islam.

Untuk sakramen ekaristi

Di sisi lain, dalam agama Kristen, mencuci tangan memiliki makna khusus terutama bagi imam. "Pada awal Abad Pertengahan, motif kesucian kultus ditekankan kembali, terutama untuk imam: Dia harus menyentuh “tubuh Kristus” dengan tangan yang bersih," jelas pakar liturgi Bonn, Andreas Odenthal. Oleh karena itu, pada zaman dulu, ada beberapa ritual mencuci tangan, misalnya sebelum jubah dipakai dan saat memasuki mimbar ibadah.

Sejak reformasi liturgi setelah Konsili Vatikan II (1962-1965), hanya ritual membersihkan tangan setelah persiapan perjamuan Ekaristi yang diwajibkan, di mana imam berdoa, sebagaimaná termaktub dalam Mazmur 51, ayat 4: "Tuhan, bersihkan kesalahanku, bersihkan aku dari dosa-dosaku."

Tetapi mengapa mencuci tangan dianggap kurang penting bagi umat Kristen ketimbang bagi para imam? "Pertama-tama, sejak Abad Pertengahan tidak lagi dimaksudkan bagi orang yang menganut keparcayaan itu untuk menyentuh hosti (roti yang melambangkan tubuh Kristus) sendiri – diskusi ini berlanjut hingga saat ini dalam tata cara komuni," kata Odenthal.

Dikutip dari KNA, tetapi Alkitab juga memberikan penjelasan mengapa mencuci tangan kurang menjadi perhatian. "Ketika Yesus disentuh pada jubahnya oleh seorang perempuan yang berlumuran darah, dia kehilangan kesucian ritualnya, jika menurut hukum Yahudi," jelas Odenthal. "Alih-alih berpaling atau mandi, dia menyembuhkan perempuan tersebut." 

Odenthal melihat peristiwa itu sebagai adegan kunci bagi pemahaman Kristiani tentang kemurnian. "Yesus tidak berbagi gagasan tentang kesucian kultus yang tersebar luas pada saat itu. Karenanya, apa yang pada akhirnya membuat kita, kristiani dianggap murni,  bukanlah lewat pembasuhan, melainkan melalui perayaan ekaristi,“ pungkasnya.

Forum Antaragama G20 di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tanggal 13 hingga 17 dibahas pula upaya mengatasi pandemi COVID-19, karena komunitas-komunitas agama diyakini sama-sama terpengaruh oleh pandemi tersebut. 

ap/as(kna)