1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

COVID-19 dan Perspektif Sejarah

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
20 Juni 2020

Indonesia sempat tembus 1.300 kasus baru positif COVID-19 dalam sehari. Melihat penanganan dan reaksi masyarakat terhadap COVID-19 yang berantakan seperti menyaksikan paralel mengerikan. Demikian opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/3dzcS
 Soekarno-Hatta Airport
Kerumunan warga di Bandara Sukarno-Hatta 14 Mei laluFoto: Reuters/Antara/A. Rusdi

Angka tersebut adalah rekor kasus positif di Indonesia, dan niscaya tidak akan bertahan lama mengingat kurva kasus Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Hal ini sama sekali tidak meningkatkan rasa percaya masyarakat terhadap anjuran untuk menyambut relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan “New Normal” alias tatanan baru yang didengungkan pemerintah belum lama ini.

Angka ribuan ini tak boleh sekadar dibaca sebagai statistik, namun sebuah nyawa dengan ceritanya masing-masing. Entah sejauh mana perjalanan hidup mereka sampai ke titik tersebut, jelasnya terinfeksi Covid-19 adalah titik nadir. Pilihannya dua, dan tidak ada yang enak. Antara meninggal dan dikuburkan dalam kesunyian atau sembuh dan harus beradaptasi dengan gaya hidup baru. Lebih mengerikannya lagi, proses infeksi agaknya akan terjadi pada kita semua cepat atau lambat mengingat pemerintah kita masih menerapkan strategi defensif untuk melawan Covid-19.

Perlu diingat, lonjakan kenaikan angka infeksi tersebut adalah tangkapan dari dua minggu silam merujuk pada margin aman yang dianjurkan untuk memantau kemunculan pertanda jika seseorang terinfeksi. Apa yang terjadi kurang lebih dua minggu silam? Perayaan Lebaran, yang memicu pergerakan masif manusia untuk berbelanja ke pasar dan toko-toko pakaian, juga silaturahmi dengan kerabat terdekat, bahkan mudik ke pelosok daerah. Rutinitas harian penyampaian informasi Covid-19 kita sejatinya adalah pembacaan terhadap gejala sejarah, dan sebagaimana sejarah kerap diperlakukan pada umumnya, ia kerap dihiraukan.

Ini menjadi fatal ketika terjadi dalam masyarakat yang abai akan masa lalu. Seharusnya kini kita dalam posisi lebih waspada, bukan bersantai-santai melihat “New Normal” sebagai tanda bahwa situasi mulai terkendali. Wabah kerap datang secara bergelombang dan menghantam lebih keras daripada sebelumnya. Covid-19 dan wabah-wabah lain di masa lalu memang tidak persis serupa, namun pola dan dinamika fenomenanya mirip. Perspektif dan kemampuan berpikir sejarah tidak boleh dilupakan sebagai bagian dari solusi untuk menangani Covid-19.

Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Wabah dan Amnesia Kita

Cukup mengejutkan melihat dunia telah berubah begitu cepatnya. Pada Januari 2020 kata “Covid-19” belum eksis dan kini dunia seakan sudah terbagi dalam narasi periodik sebelum Covid-19 dan setelah Covid-19. Istilah-istilah baru semacam “Work From Home”, “Social Distancing”, “Karantina”, sudah menjadi bahasa awam. Bahkan benda-benda yang sebelumnya tidak digunakan secara meluas seperti hand sanitizer dan masker wajah telah menjadi kebutuhan primer. Alat-alat kesehatan semacam ventilator dan hazmat suit kini menjadi barang esensial untuk melindungi dari ancaman kematian.

Ada banyak cara untuk melawan wabah. Mulai dari kebijakan pemerintah yang terukur, pemenuhan logistik alat-alat kesehatan dan riset-riset medis, sampai pengerahan rantai komando sosial masyarakat untuk mencegah penularan lebih luas. Namun, kita sebenarnya juga memiliki sejarah sebagai alat untuk memahami dan mencegah wabah. Terlebih di Indonesia, yang secara historis merupakan wilayah dengan lalu lintas perdagangan samudra yang padat. Bukan hanya barang-barang dan gagasan-gagasan dari berbagai macam tempat yang masuk ke sini; kuman, bakteri, dan virus pun ikut tiba tanpa diundang.

Sejarawan Anthony Reid menyebutkan bahwa wabah-wabah mematikan muncul di nusantara sepanjang abad ke-16 dan 17. Cacar menghantui Kalimantan dan sebagian timur nusantara, mengakibatkan desa-desa kosong karena penduduknya tewas atau berpindah tempat. 60.000 orang meninggal dalam 40 hari di Makassar akibat wabah ganas tahun 1636. Di Jawa dan Bali tahun 1664-1665, terjadi penyusutan penduduk besar-besaran akibat wabah ditambah bencana kekeringan yang menyebabkan pasokan makanan sebagai sumber energi menghilang. Pantai Sumatra juga bernasib serupa.

Abad-abad setelahnya kerap menyajikan cerita serupa. Penaklukkan Belanda terhadap kekuatan-kekuatan pribumi nusantara kerap diikuti dengan munculnya wabah malaria dan kolera lokal di tenda-tenda tentara. Flu Spanyol yang melanda Eropa pada 1918 juga meninggalkan jejak keganasannya di sini. Jutaan orang meninggal, angka pastinya tidak terdokumentasikan dengan baik karena pemerintah kolonial enggan prestisenya tercoreng akibat penanganan wabahnya yang gegabah. Setelah merdeka, Indonesia juga masih harus menghadapi empat besar penyakit endemik (malaria, tuberkulosis, frambusia, dan lepra) paruh awal 1950-an.

John Barry dalam bukunya The Great Influenza menyebut pentingnya tiga aktor penanganan wabah: pemerintah, ilmuwan, dan donatur. Ia merujuk penanganan wabah Flu Spanyol di Amerika Serikat saat itu, namun formula ini juga tepat diterapkan pada kasus-kasus wabah modern, termasuk Covid-19. Pemerintah perlu menampilkan kepemimpinan yang tepat agar kebijakan strategi penanganan medisnya tepat sasaran. Kelompok ilmuwan menjadi garda depan perawatan pasien dan riset vaksin. Sedangkan donatur-donatur dari kalangan masyarakat berpengaruh bisa mengakselerasi laju penanganan tersebut dengan dana dan upaya pribadi.

Tiga hal tersebut tidak efektif di Indonesia. Pemerintahnya gagap,tenaga medis dan ilmuwan kewalahan di garis depan, dan donatur-donatur tidak dapat berbuat banyak. Ditambah, kealpaan orang-orang Indonesia terhadap sejarah wabah di negeri ini menyebabkan mereka tidak memiliki mental cukup untuk menerima kejutan Covid-19 sebagai momok yang sampai bisa mengubah drastis perilaku dan kebiasaan sehari-hari dalam berbagai sektor kehidupan. Rasa abai sebagian masyarakat yang menolak untuk diperiksa adalah bentuk lupanya mereka terhadap sains sebagai solusi wabah, sebagaimana sejarah memperlihatkan selama ini.

Melihat penanganan dan reaksi masyarakat terhadap Covid-19 yang berantakan seperti menyaksikan sebuah paralel mengerikan. Manusia memang makhluk yang amnesia, tapi bukan berarti masa lalu itu terlupakan begitu saja. Sejarah telah mempermudah kita untuk mengakses masa lalu, sehingga seharusnya daya ingat terhadap ancaman wabah menguat dan sistem-sistem preventif di berbagai tingkatan telah dibentuk. Anehnya, sebenarnya kita telah memiliki serangkaian undang-undang untuk melawan Covid-19, namun entah ada kalkulasi semacam apa di kepala pemimpin-pemimpin kita sehingga undang-undang tersebut enggan digunakan.

Masa Lalu Dalam Tatanan Baru

Mungkin, untuk pertama kalinya generasi ini mengalami sebuah peristiwa global yang mengubah wajah dunia secara drastis sejak berkecamuknya Perang Dunia II. Negara-negara di benua Amerika yang tidak menjadi medan tempur saat itu, kini mengalami juga apa yang dialami Cina, negara-negara Eropa, dan juga Indonesia: semua bertempur melawan Covid-19. Seperti para pemenang Perang Dunia II yang merestrukturisasi tatanan dunia baru dengan mengantagoniskan fasisme, kita juga kelak harus berbuat serupa sehingga ancaman Covid-19 dan wabah-wabah modern lain selesai sampai di sini saja.

Sebenarnya kita beruntung. Masa lalu memperlihatkan bahwa umat manusia selalu menang melawan wabah, baik secara pasif (sekadar mengandalkan imunitas) maupun aktif (preventif dan mengobati). Namun, kepasifan adalah kesalahan ketika sains telah hadir sebagai solusi dan sejarah tinggal dipelajari sebagai refleksi. Harapannya, pandemi Covid-19 akan menjadi memori bersama bagi orang-orang Indonesia yang berhasil bertahan hidup melewatinya, sehingga generasi selanjutnya di masa depan tak perlu mengulangi kesalahan pemimpin-pemimpin masa kini yang kelabakan dan, sudah menjadi rahasia umum, dengan halus mengambil jalan pasif.

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih
.