1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

COP27: Mencegah Kelaparan Dunia akibat Perubahan Iklim

15 November 2022

Apa hubungannya perubahan iklim dan kelaparan massal? Pertanian gagal panen, migrasi penduduk akibat pemanasan global telah jadi ancaman bencana kelaparan. Untuk itu, Mesir dan FAO luncurkan inisiatif.

https://p.dw.com/p/4JWGH
Gambar ilusttrasi krisis pangan
Gambar ilustrasi kelaparan jadi ancamanFoto: Bernardo Jequete/DW

Mesir, yang menjabat sebagai Presiden Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP27 beserta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) meluncurkan program "Pangan dan Pertanian untuk Transformasi Berkelanjutan atau FAST”. Inisiatif baru ini diharapkan akan meningkatkan kontribusi pendanaan iklim untuk pertanian dan sistem pangan untuk mendukung komunitas yang paling rentan.

Inisiatif ini akan didukung oleh negara-negara lain melalui kemitraan pemangku kebijakan yang akan memastikan sistem pangan diperkuat melalui kebijakan iklim yang berkontribusi pada tindakan nyata dalam mendukung adaptasi dan ketahanan pangan dan ekonomi. Demikian dilaporkan dari KTT Iklim yang diselenggarakan di Sharm el Sheik, Mesir.

Transformasi di bidang pertanian

Dari berbagai riset diketahui perubahan iklim juga berpengaruh pada bidang pertanian, di antaranya berbagai bencana seperti banjir, erosi, perubahan cuaca, dan sebagainya yang menyebabkan gagal panen dan migrasi korban perubahan iklim. Bangladesh dan Pakistan baru-baru ini terpukul akibat banjir yang menyebabkan gagal panen dan pengungsian akibat bencana tersebut.

Berbicara tentang peluncuran inisiatif FAST, Presiden COP27 H.E. Sameh Shoukry mengatakan: "Dampak perubahan iklim secara tidak berimbang berdampak pada komunitas yang rentan di seluruh dunia. Untuk mengatasi ketidakseimbangan ini, kita perlu mengembangkan pertanian dan sistem pangan yang berkelanjutan dan memenuhi kebutuhan mendesak negara-negara berkembang pengimpor pangan. Melalui inisiatif FAST, kami akan memobilisasi dunia untuk membuka aliran keuangan guna meningkatkan ketahanan iklim dan menerapkan transformasi yang sangat dibutuhkan di seluruh sistem pangan pertanian.”

Bagaimana dengan Indonesia?

Wakil Direktur Jenderal FAO Maria Helena Semedo mengatakan: "Tindakan transformatif yang berani diperlukan untuk mendorong transformasi sistem pertanian, membantu negara-negara, dan memastikan bahwa sumber daya yang ada menjangkau pemasok makanan di seluruh rantainya.”

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell menambahkan: "Kita perlu melakukan perombakan menyeluruh terhadap sistem pangan kita, yang merupakan cara lain untuk mengaitkan hubungan kita dengan alam. Hanya ada satu cara untuk mencapai hal ini, yakni dapat diringkas dalam satu dunia tunggal: implementasi.”

Indonesia, menurut pengamat ekonomi Telisa Falianti, ketahannan pangannya masih cukup relatif baik, tetapi tetap harus waspada: "Ranking ketahanan pangan Indonesia jika dibanding negara lain memang di tingkat menengah, di indikator ketahanan pangan, indeks kita lemah di sisi diversifikasi pangan. Sejauh ini ketahanan pangan masih hanya pada salah satu komoditas seperti beras." Ia menambahkan pemerintah melalui peraturan menteri keuangan telah menetapkan anggaran daerah bisa banyak digunakan untuk mengendalikan ketahanan pangan dan inflasi di daerah.

Di lain pihak, organisasi lingkungan Greenpeace mengingatkan pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi kerawanan pangan agar tidak melakuak deforestasi. Greenpeace menyatakan perampasan lahan yang luas untuk program perkebunan pangan baru, mengancam wilayah adat dan keanekaragaman hayati penting di Indonesia, termasuk hingga 3,2 juta hektar lahan di Papua. Demikian laporan terkini Greenpeace.

Laporan tersebut menyebut eksploitasi hutan dan lahan gambut untuk kebutuhan pangan dikhawatirkan bisa memperburuk krisis iklim dan keanekaragaman hayati. Sementar soal diversifikasi pangan Syahrul Fitra, juru kampanye hutan senior Greenpeace Indonesia, mengatakan  “Perkebunan singkong di Gunung Mas, Kalimantan Tengah hanyalah salah satu dari sekian banyak kawasan yang dikonversi menjadi pertanian skala besar oleh pemerintah melalui program food estate. Pendekatan ini tidak hanya gagal menghasilkan singkong yang dijanjikan, tetapi juga tidak akan pernah menghasilkan pola makan yang beragam, bergizi, dan sesuai budaya. Ada cara yang lebih baik – dengan pertanian ekologis dan wanatani tradisional kita dapat memberi makan dunia dan mendinginkan planet ini.”

Inisiatif FAST akan berfokus pada tiga prioritas tindakan: Akses ke keuangan yakni dengan meningkatkan kapasitas negara untuk mengidentifikasi dan meningkatkan akses ke pendanaan dan investasi iklim. Kedua, penyebaran pengetahuan dan kapasitas, yaitu memberikan analisis yang diperlukan di bidang pertanian dan mendukung pengembangan kapasitas. Ketiga, dukungan dan dialog atas kebijakan, yakni dengan memastikan sistem pangan pertanian sepenuhnya tertanam dalam kebijakan perubahan iklim, seperti komitmen kontribusi nasional (NDC), rencana adaptasi nasional (RAN), dan strategi rendah emisi dan pembangunan jangka panjang (LT-LEDS).

´(ap/ha)