1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

HRW Tuding Cina Ubah Ratusan Nama Desa-desa Uighur

Tanika Godbole
20 Juni 2024

HRW menuding otoritas Cina mengubah ratusan nama desa di Xinjiang yang semula memiliki nama yang kaya akan makna bagi orang Uighur, menjadi nama yang berisi propaganda pemerintah.

https://p.dw.com/p/4hHLt
Anggota kepolisian Cina
Seorang anggota kepolisian Cina menjaga lokasi yang secara resmi disebut sebagai pusat kejuruan, di Yining, Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Foto diambil pada 4 September 2018.Foto: Thomas Peter/REUTERS

Sebuah laporan dari Human Rights Watch (HRW) mengatakan bahwa otoritas Cina di wilayah Xinjiang telah mengubah nama-nama desa yang dihuni oleh etnis Uighur dan minoritas lainnya, agar mencerminkan ideologi Partai Komunis.

Penelitian ini merupakan hasil kerja sama HRW dengan organisasi yang berbasis di Norwegia, Uyghur Hjelp.

Laporan tersebut memeriksa sekitar 25.000 nama desa di Xinjiang, berdasarkan daftar milik Biro Statistik Nasional dari tahun 2009 hingga 2003. Hasilnya, ditemukan ada 3.600 nama desa yang diubah, yang sebagian besarnya dilakukan karena "alasan biasa," menurut laporan tersebut. 

Namun, laporan tersebut juga mengidentifikasi ada 630 desa di kawasan yang diubah namanya karena merujuk kepada istilah Islam atau budaya dan sejarah Uighur.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Apa saja nama Uighur yang diubah?

Kata seperti "dutar", sebuah alat musik petik tradisional Uighur, atau "mazar", yang berarti sebuah kuil, telah diganti dengan nama yang bermakna "kebahagiaan", "persatuan", dan "harmoni". Istilah ini kerap ditemukan dalam dokumen-dokumen Partai Komunis.

Istilah lain yang juga dihapus adalah "hoja", sebuah gelar untuk seorang guru Islam Sufi, dan "haniqa", sejenis bangunan keagamaan Sufi, atau istilah seperti "baxshi" yang berarti syaman.

Laporan itu juga menyebut bahwa referensi sejarah tentang kelompok Uighur yang sudah ada sebelum penyatuan Republik Cina pada tahun 1949, turut dihapus.

"Otoritas Cina telah mengubah ratusan nama desa di Xinjiang, semula memiliki nama yang kaya akan makna bagi orang Uighur, menjadi nama yang berisi propaganda pemerintah. Perubahan nama ini tampaknya merupakan bagian dari upaya pemerintah Cina untuk menghapus ekspresi budaya dan agama Uighur," kata Penjabat Direktur Human Rights Watch untuk Cina, Maya Wang.

Kementerian Luar Negeri Cina belum meberikan respons terkait tuduhan ini, demikian seperti diberitakan AP.

Wilayah Xinjiang di bagian barat Cina berbatasan dengan Kazakhstan, dan merupakan rumah bagi sekitar 11 juta orang Uighur dan etnis minoritas lainnya.

"Pemerintah-pemerintah yang merasa peduli, dan departemen Hak Asasi Manusia (HAM) PBB harus mengintensifkan upayanya dalam meminta pertanggungjawaban pemerintah Cina soal pelanggaran yang mereka lakukan di wilayah Uighur," sebut pendiri Uighur Hjelp, Abduweli Ayub.

Tindakan keras Cina terhadap kelompok minoritas

Pada tahun 2014, pemerintah Cina meluncurkan "Kampanye Serangan Melawan Terorisme" di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Kemudian sejak 2017, Cina juga telah meluncurkan kampanye asimilasi dan diduga melakukan penahanan massal, indoktrinasi politik, kerja paksa dan pemisahan keluarga.

Sejumlah kelompok HAM memperkirakan lebih dari satu juta orang Uighur dan etnis minoritas lainnya ditahan di kamp-kamp interniran, yang disebut oleh pihak berwenang sebagai "pusat pelatihan kejuruan".

Pada tahun 2022, sebuah laporan dari kantor HAM PBB (OHCHR) menyimpulkan bahwa penahanan diskriminatif otoritas Cina terhadap warga Uighur di Xinjiang dapat dianggap sebagai "kejahatan atas kemanusiaan".

Kantor berita Associated Press (AP) turut berkontribusi dalam tulisan ini.

(mh/gtp)