1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cina Makin Ditekan untuk Ajak Dialog Dalai Lama

27 Maret 2008

Protes terhadap tindakan brutal Cina di Tibet berlanjut. Lewat telepon, George W. Bush mendorong Hu Jintao untuk berdialog dengan Dalai Lama. Sementara Parlemen Eropa tak menemui kata sepakat tentang boikot Olimpiade.

https://p.dw.com/p/DVee
Demo pro Tibet di Hannover (26/03)Foto: AP

Tidak banyak pertanyaan yang bisa membuat juru bicara kepresidenan Amerika kehilangan kata-kata selama beberapa saat. Salah satunya tentang Tibet, dilontarkan seorang jurnalis dalam konferensi pers di Gedung Putih.

"Mengapa kita mempertahankan hubungan diplomatik dengan Cina, yang menekan Tibet dengan brutal, sementara pada saat yang sama kita menolak pengakuan diplomatik terhadap Kuba?", tanya sang wartawan.

Juru bicara Gedung Putih Dana Perino tertawa, pendek dan terpaksa. Lalu ia merinci, siapa saja dari pihak pemerintah Amerika yang dalam beebrapa hari terakhir berupaya mendorong Beijing agar mau duduk di meja perundingan dalam soal Tibet.

Sebagai serangan terakhir, Presiden George W. Bush menelepon secara pribadi Presiden Cina Hu Jintao untuk meminta secara sopan, tapi pasti dengan tekanan, agar Hu berunding dengan Dalai Lama. Kalau bukan langsung dengannya, ya paling tidak dengan utusannya.

Pemerintah AS meyakini, krisis Tibet hanya bisa dipecahkan untuk jangka panjang dengan bantuan Dalai Lama. Karena, seperti selalu diulang Menlu Condoleezza Rice, pemimpin spiritual tertinggi Tibet itu adalah mitra bicara terbaik yang bisa diharapkan pemerintah Cina.

Konflik berdarah di Tibet adalah tantangan sulit bagi Washington. Memang pemerintahan Bush senantiasa menekankan, kekerasan tak bisa menyelesaikan masalah Tibet. Cina diminta bersikap menahan diri dalam menghadapi demonstrasi Tibet.

Namun Amerika tak berharap semua kata-kata keras membuat Cina beralih ke sisi Rusia. Lagipula Cina adalah penyandang dana penting bagi Amerika. Tanpa kredit Dollar dari Cina, perang Irak hampir tak mungkin dibiayai.

Ditambah lagi, sejak perundingan antara Presiden Richard Nixon dan Mao Zedong, AS terikat untuk tidak pernah mempermasalahkan keutuhan wilayah Republik Rakyat Cina. One China, Satu Cina, adalah motto politik luar negeri AS, dulu dan sekarang.

Karena itulah pemerintahan Bush mengupayakan segala hal untuk mendukung Dalai Lama yang memperlunak tuntutan. Otonomi bagi Tibet: ya, lepas dari Cina: tidak. Dari sudut pandang Washington itu adalah satu-satunya kompromi yang bisa dibayangkan.

Otonomi dan bukan menjadi negara sendiri, juga tujuan para pendukung Tibet di Parlemen Eropa. April mendatang akan ditetapkan resolusi bagi Tibet, yang menuntut Cina memberikan otonomi luas dan berdialog dengan Dalai Lama. Jika mendesak, ancaman boikot Olimpiade akan dikeluarkan, seperti ditekankan Ketua parlemen Eropa Hans Gerd Pöttering saat membuka sidang istimewa hari Rabu (26/03).

Ia mengatakan, "Setiap politisi yang sadar akan tanggungjawabnya harus bertanya pada diri sendiri, apakah bersedia menghadiri upacara pembukaan Olimpiade, jika pemimpin Cina tidak mengupayakan dialog dan kompromi."

Orang tak harus menunggu keputusan akhir sidang untuk menunjukkan sikap politiknya, ini strategi para pendukung boikot. Kubu Partai Hijau hadir di parlemen dengan mengenakan kaus hitam bergambar lima borgol yang dihubungkan oleh lima cincin olimpiade. Beijing menginjak-injak hak asasi manusia dan hak warganegara, itu pesannya.

Namun, tak semua mendukung ancaman boikot Olimpiade. Sebagian merujuk pada pengalaman bahwa keputusan tidak ikut Olimpiade tidak membuahkan hasil apa-apa.

Lainnya menilai, Parlemen Eropa bukanlah tempat yang tepat untuk memutuskan apakah negara-negara Eropa seharusnya memboikot olimpiade di Beijing. Sebuah pertanyaan yang dinilai harus diputuskan oleh masing-masing negara anggota. (rp)