1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cina Ingin “Pegang” Indonesia Lewat Pertemuan Xi dan Jokowi

Sharon Margriet Sumolang
25 Juli 2022

Presiden Joko Widodo berangkat menuju Beijing, Cina untuk bertemu Presiden Xi Jinping menjelang KTT G20 di Bali akhir tahun ini. Lawatan akan dilanjutkan ke Jepang dan Korea Selatan.

https://p.dw.com/p/4EbkA
Presiden Joko Widodo dan ibu negara Iriana Widodo siap terbang menuju Beijing, singgahan pertama lawatan di Asia Timur
Presiden Joko Widodo dan ibu negara Iriana Widodo siap terbang menuju Beijing, singgahan pertama lawatan di Asia TimurFoto: Pressebüro des indonesischen Präsidenten

Presiden RI Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang akan melaksanakan pertemuan bilateral dengan Presiden Cina Xi Jinping,yang dijadwalkan berlangsung di Beijing, Cina, pada Selasa (26/7).

Presiden Xi diketahui tidak menerima kunjungan kenegaraan secara resmi sejak pecahnya pandemi COVID-19, kecuali dalam perhelatan Olimpiade Musim Dingin Beijing pada awal tahun 2022.

Kerjasama dalam berbagai sektor akan menjadi fokus pembahasan pertemuan Jokowi dengan Xi nantinya. Terlebih Cina merupakan salah satu negara yang dipandang sebagai mitra terpenting ASEAN serta forum G20.

Cina saat ini merupakan mitra dagang Indonesia terbesar, dengan nilai total perdagangan mencapai US$110 Miliar. Serta investor ketiga terbesar dengan nilai investasi mencapai US$3,2 miliar pada tahun 2021 silam

Dorong pemenuhan kepentingan nasional

Pakar Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan Aknolt Kristian Pakpahan menyoroti secara khusus pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Xi kali ini, yang sarat akan percepatan pemenuhan kepentingan nasional masing-masing negara.

Menurut Kristian, Indonesia memanfaatkan momentum pertemuan ini demi memastikan proyek ekonomi Cina yang ada di Indonesia, bisa terus berjalan di tengah kondisi ekonomi global yang sedang menghadapi krisis. "Jangan lupa, selain kita berbicara situasi COVID-19, krisis pangan dan energi akibat konflik Rusia-Ukraina, kita juga masih mempunyai tantangan besar ke depan bagaimana menghadapi perubahan yang terjadi akibat revolusi 4.0", kata Kristian..

Sementara Cina juga berupaya membuka diri terhadap Indonesia, guna memastikan Indonesia tetap berada di posisi netral dalam isu-isu yang melibatkan negara Tirai Bambu tersebut.

"Dalam konteks ASEAN, Indonesia dilihat sebagai salah satu negara besar, negara penting yang harus "dipegang” oleh China agar tetap netral,” tambahnya.

"Isu ekonomi di atas HAM"

Cina selama beberapa tahun terakhir, terus mendapat sorotan global terkait  dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis muslim Uighur di Xinjiang.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sejauh ini tak banyak bersikap kritis terkait tema ini. "Pasalnya, masih ada misi ekonomi Indonesia dengan Cina yang lebih krusial. Dalam konteks hubungan luar negeri, semua negara rasanya memegang prinsip tidak mencampuri urusan domestik. Jadi, isu-isu ini tidak akan dibahas", kata Kristian.

"Bayangkan, misalnya Cina dalam melakukan hubungan ekonomi dengan Indonesia,  membahas apa yang dilakukan di wilayah Indonesia, adanya pelanggaran HAM. Papua, misalnya. Bayangkan kalau misalnya kita diajak diskusi hal-hal seperti itu. Betul kita negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, tapi kita tidak bisa men-judge Cina melakukan pelanggaran HAM terhadap kaum minoritas. Rasanya itu bukan langkah diplomasi yang baik kalau kita mengangkat isu-isu seperti itu“, ujar Kristian lebih lanjut.

“Kembali lagi tujuannya apa kita melakukan lawatan ke Asia Timur. Kita ingin membuka kerja sama ekonomi yang lebih luas, kok. Kalau kita ingin membuka kerja sama ekonomi yang lebih luas, masa kemudian membicarakan isu-isu yang “sensitif” kemudian negara yang mau dilakukan kerja sama merasa tersinggung. Jadi rasanya kita tidak akan membahas isu-isu seperti itu”, pungkas pakar hubungan internasional Universitas Katolik Parahyangan itu.

Warga berbeda pendapat soroti isu HAM

Sementara itu Affandy, salah seorang IT developer di perusahaan swasta berpendapat, pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Xi Jinping akan membawa keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Sementara persoalan Uighur lebih baik diserahkan saja ke PBB.

"Itu kan kebijakan luar negeri mereka ya. Kita [Indonesia] sebagai pihak yang netral hanya bisa berupaya mendamaikan kedua belah pihak. Tapi kalau misalnya tidak bisa, mungkin lebih tepatnya ke PBB karena mereka yang lebih bertanggung jawab mendamaikan kedua belah pihak,” kata Affandy.

Sementara itu, Prama yang bekerja di sebuah bank menganggap Indonesia memiliki kekuatan ekonomi yang setara dan tidak perlu terlalu bergantung kepada Cina. Sedangkan terkait isu Uighur, menurutnya Indonesia perlu bersikap serupa seperti terhadap konflik Israel-Palestina.

"Kalau memang ada pelanggaran HAM terhadap etnis tertentu, perlakuannya sama seharusnya seperti Indonesia dengan Israel dalam konteks Palestina. Namanya human rights itu adalah sesuatu yang pokok. Jika ada pelanggaran human rights oleh suatu negara, kita tidak perlu jalin hubungan dengan negara itu,” ujarnya.

Rangkaian lawatan Jokowi ke Asia Timur.

Selain Cina, Jokowi juga dijadwalkan bertandang ke Jepang dan Korea Selatan setelahnya.

"Berbagai isu dari kerja sama perdagangan, investasi, kesehatan, infrastruktur, perikanan hingga isu kawasan dan dunia akan dibahas dengan para pemimpin ketiga negara tersebut,” ungkap Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam keterangan tertulisnya (26/7).

Sejumlah menteri dan jajaran terkait pun turut mendampingi Jokowi dalam lawatannya ke Asia Timur kali ini, di antaranya Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, serta Menteri Sekretaris Negara Pratikno. (ti/as)