1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Chen Shui-Bian menangkan pemilihan presiden Taiwan

22 Maret 2004
https://p.dw.com/p/CJiS

Sabtu lalu Chen Sui Bian berhasil mempertahankan jabatannya lewat pemilihan langsung Presiden Taiwan. Ia menang tipis dari saingannya Lien Chan dari Partai Nasionalis China, Kuomintang, yang menyebut pemilihan itu tidak adil. Lien Chan menyatakan gugatan melalui jalur hukum. Mahkamah Agung Taiwan menjamin akan menguji kembali pemilihan tersebut sesuai undang-undang. Di sejumlah kota terjadi demonstrasi setelah hasil pemilu diumumkan, beberapa dengan aksi kekerasan. Bersamaan dengan itu, referendum nasional yang diprakrasai chen Sui Bian, mengenai perlu tidaknya peningkatan pertahanan terhadap RRC, gagal disahkan. Berikut komentar redaktur DW Rainer Sollich.

Percobaan pembunuhan terhadap Chen Sui Bian Jumat lalu memang melukai Presiden Taiwan itu, tetapi tidak secara politis. Setelah sempat terancam kalah dari Lien Chan kandidat Kuomintang, Chen Sui Bian akhirnya menang dengan perbedaan suara tipis. Selama hasil pemilu menurut peninjauan ulang Mahkamah Agung Taiwan tidak dinyatakan batal, maka Chen Sui Bian akan terus menduduki kursi kepresidenan sampai tahun 2008. Namun bersamaan dengan kemenangan itu, ia juga menderita kekalahan. Referendum nasional yang menanyakan rakyat Taiwan apakah perlu meningkatkan pertahanan menghadapi RRC, yang menganggap Taiwan adalah wilayah kedaulatannya, gagal disahkan.

Berbeda dengan Lien Chan yang berasal dari Cina daratan dan condong pada perujukan, Chen Sui Bian melakukan apa yang tidak ditolerir Beijing, yaitu selalu berterusterang menyatakan keinginan memisahkan diri dari Cina. Belakangan pimpinan di Beijing sangat menghindari pendekatan keras terhadap Chen, agar ia tidak memperoleh bantuan yang tidak diinginkan dalam proses pemilu. Tetapi ancaman kekerasan masih tetap jelas ada dan rupanya meninggalkan kesan bagi para pemilih Taiwan.

Apakah hubungan Beijing-Taiwan kini terancam eskalasi? Tidak mustahil demikian, mengingat Chen belakangan sangat keras memprovokasi Beijing. Pemerintah menganggap referendum nasional itu sebagai langkah lebih lanjut ke arah memerdekakan diri dan mengkritiknya sebagai tindakan ilegal dan upaya provokatif untuk memisahkan diri dari tanah air. Tetapi, secara prinsip Beijing bisa merasa lega, karena hasil referendum menunjukkan, mayoritas rakyat Taiwan sekurangnya tidak mengharapkan konflik terbuka dengan Cina. Namun, pertambahan jumlah suara yang besar bagi Chen Sui Bian dalam pemilu kali ini dibandingkan 4 tahun lalu, menunjukkan bahwa sikap tersebut tidak otomatis dapat diartikan sebagai dukungan terhadap politik satu Cina. Sebaliknya, warga Taiwan dalam hal ini tampak terpecah. Tidak heran, masalahnya bukan hanya mengenai identitas nasional tetapi juga persoalan perang atau damai.

Kini harus ditunggu, apakah Chen Sui Bian bertahan dengan keinginan merdeka –walaupun referendum nasional gagal, dan mengupayakan referendum mengenai konstitusi baru? Atau, apakah kata-katanya yang tajam terhadap Cina semasa kampanye pemilu hanya untuk membelokkan perhatian orang dari neraca politik ekonominya yang buruk? Bukan hanya Cina, negara barat seperti AS dan Jerman juga memperingatkan Chen untuk tidak melakukan petualangan poltik. Chen diharapkan menghindari eskalasi militer dengan Cina. Sebuah harapan yang masuk akal. Namun, harga moral yang harus dibayar untuk politik ini, tinggi. Karena berbeda dengan Cina daratan, Taiwan sementara ini membuka pintu menuju demokrasi, sekalipun baru dinyatakan dan belum dilaksanakan. Tetapi, negara-negara barat mengirim pesan: hal yang baik jika kalian mengupayakan demokrasi di Taiwan, tetapi tolong jangan melebih-lebihkan pernyataan dan juga jangan mengharapkan dari kami pengakuan diplomatis karena kami tidak mau mengambil resiko konflik dengan Cina.

Tentu, politik yang riil ini mudah dimengerti. Namun politik itu tidak mendorong demokratisasi lebih lanjut di Taiwan.