Cemas Saat Ajukan Cuti Kerja, Bolehkah Kantor Menolak?
18 Februari 2025Mengambil cuti kerja sangat penting untuk menjaga keseimbangan kehidupan kerja yang baik. Bisa untuk menambah hari liburan, atau hanya ingin rehat sejenak di rumah usai pekan kerja yang padat. Dan, banyak penelitian menyebut bahwa karyawan yang cukup istirahat lebih bahagia, lebih sehat, dan lebih produktif daripada mereka yang kelelahan dan terlalu banyak bekerja.
Banyak karyawan akhirnya mencoba mencari berbagai alasan agar bisa dapat izin untuk cuti. Suryani, seorang karyawan di bidang jasa kesehatan, mengaku bahwa saat mengambil cuti, dia harus menyebutkan ke mana dia akan berlibur.
"Iya, ditanya mau ngapain dan mau ke mana. Apalagi kalau cutinya agak panjang, sampai ditanya siapa yang gantiin terus nanti kalau ada masalah harus ke siapa follow up-nya," katanya kepada DW Indonesia.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Dia menyebutkan lokasi tempat cutinya kepada atasannya langsung, direktur, dan kepala HRD-nya. Hal ini dilakukannya lantaran dia menyadari bahwa cuti yang diambilnya cukup lama. Sesungguhnua, dia tak masalah sampai ada sebuah kejadian yang kurang menyenangkan terjadi.
"Usai cuti, tiba-tiba teman-teman saya di kantor menyapa dan bilang ‘enak ya habis jalan-jalan,' sampai minta oleh-oleh. Padahal saat itu saya enggak cerita ke mereka atau posting di sosmed, tapi sampai hampir sekantor tahu saya cuti ke mana."
Kejadian itu membuatnya harus memutar otak mencari alasan saat ingin cuti. Dia akan menjelaskan alasan cuti jika terpaksa dan disampaikan secara lisan dan ke HRD yang diserahkan lewat sistem hanya akan diberi keterangan singkat seperti "cuti tahunan" atau "hari raya."
Dia berpendapat karyawan tidak perlu memberi tahu tujuan cuti. Karena kadang memang cuti hanya buat istirahat."
Haryo Suryadi, seorang karyawan swasta di Jakarta juga beranggapan hal yang sama.
"Enggak perlu dikasih tahu, di form cuti paling nulis annual leave saja, enggak bilang lokasinya ke mana. Kepo banget," ucapnya sembari diiringi tawa.
Hanya saja dia memastikan sebelum cuti, sudah ada penyesuaian dan delegasi ke tim terlebih dulu.
Aturan cuti di Asia Tenggara
Stefani Rara, seorang pekerja media di Singapura, mengaku tak rumit untuk mengajukan cuti karena pengajuan cutinya dilakukan online.
"Pengalamanku di beberapa kantor itu aku punya jatah libur tahunan, jatah sakit, dan beberapa hari libur lain (pernikahan, kedukaan). Jadi, selama masih masuk di budget kita, enggak pernah ada pertanyaan," katanya kepada DW Indonesia.
Dia menyebut bahwa alurnya pun sederhana karena sudah ada HR portal yang bisa dipakai.
"Paling ngabarin ke immediate line manager supaya dia lihat. Kasih tahu tanggal.... Enggak ngabarin sih sebenarnya enggak apa-apa karena kan keliatan di sistem. Tapi ya, courtesy saja lah."
Di Singapura, menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, orang yang sudah bekerja setidaknya 1 tahun, berhak untuk mendapatkan cuti tahunan 7 hari. Di Kamboja, pekerja akan mendapatkan cuti sebanyak 18 hari per tahun, Laos sebanyak 15 hari, Myanmar sebanyak 10 hari. Di Malaysia, karyawan mendapat cuti sebanyak 8 hari, Thailand sejumlah 6 hari, Brunei Darussalam 7 hari, Filipina 5 hari, Vietnam, dan Laos sejumlah 12 hari per tahun.
Sementara jumlah cuti tahunan di Indonesia, sama dengan Vietnam dan Laos yaitu 12 hari per tahun. Ketentuan soal hak cuti ini sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2023 dan UU Cipta Kerja.
Menurut UU Ketenagakerjaan pasal 79 ayat 1 dan UU Ciptaker, pengusaha dan perusahaan wajib memberikan waktu cuti kepada para pekerjanya, yang jumlah minimalnya 12 hari dalam setahun. Jatah cuti ini diberikan setelah karyawan bekerja selama 12 bulan terus-menerus.
"Tentang alur atau prosedur pengajuan cutinya diatur oleh perusahaan itu sendiri lewat peraturan perusahaan. Jika ada serikat pekerja, maka diatur lewat perjanjian kerja bersama antara serikat pekerja dan managemen perusahaan,” ucap L.I. Dika, salah satu staf HR di sebuah bank di Jakarta.
Dia menyebut, pada dasarnya mengungkapkan alasan cuti ke HRD sebenarnya tidak diperlukan. HRD hanya memfasilitasi karyawan dan alasannya yang mengambil cuti dengan memberikan formulir berisi deskripsi cuti.
"Untuk alasan cuti misalnya mau pergi ke mana atau ada apa, tapi biasanya ke atasannya langsung. HRD biasanya enggak akan tanya. Kalau ambil cutinya panjang biasanya perlu. Tapi kembali lagi ke peraturan perusahaan, apakah wajib mencantumkan alasannya dan lokasi cuti atau tidak."
"Beberapa perusahaan yang punya peraturan ketat, biasanya meminta karyawan untuk tidak ambil cuti panjang, tapi andaikan ada yang ambil panjang biasanya kasih alasan kenapa ambil cuti panjang, alasan itu lebih kepada kesinambungan pekerjaan dia sehingga apa yang dikerjakan dia bisa di-backup orang lain atau atasannya."
Dika menyebut bahwa cuti ini sebenarnya adalah hak karyawan tapi juga sebuah kewajiban. Artinya, karyawan boleh mengambil hak cuti, namun juga berkewajiban untuk menyelesaikan dan mendelegasikan pekerjaan selama mereka cuti.
Senada dengan Dika, Irene yang bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan farmasi juga mengungkapkan bahwa sebelum cuti, tugas dan tanggung jawab karyawan harus diselesaikan terlebih dulu. Ini terutama berlaku untuk cuti panjang yang direncanakan jauh-jauh hari dan biasanya mengarah untuk kepentingan bersenang-senang.
"Kalau misal hanya ambil cuti 1 atau 2 hari, mungkin alasan cuti diberitahukan tapi tidak terlalu mendetail juga tidak masalah karena itu hak karyawan. Balik lagi, yang penting ketika cuti, tanggung jawab pekerjaan sudah selesai sehingga tidak mengganggu cutinya," kata Irene.
Bagaimana aturan cuti di Jerman?
Aturan Federal Jerman menyebutkan bahwa semua karyawan di Jerman dengan 5 hari kerja seminggu berhak mendapatkan cuti minimal 20 hari cuti setahun. Jumlah harinya juga bervariasi, tergantung faktor lain seperti jenis industri dan apakah karyawan tersebut bekerja penuh waktu atau paruh waktu.
Meski cuti diperlukan sebagai bentuk penerapan work life balance dan menjadi hak karyawan, Jerman juga memiliki aturan larangan cuti atau Urlaubssperre. Dengan larangan cuti, perusahaan diperbolehkan melarang karyawan untuk mengambil cuti selama periode tertentu.
Di Jerman, ini hanya diperbolehkan jika ada alasan mendesak terkait bisnis. Beberapa alasan bisnis yang mendesak antara lain kebutuhan tenaga kerja yang lebih tinggi dari biasanya, misalnya ketika menjelang Natal untuk bidang jasa pengiriman.
Cuti bisa juga ditolak ketika perusahaan menghadapi kebangkrutan atau dalam keadaan krisis, saat menjelang tanggal-tanggal penting di perusahan (misalnya laporan tahunan atau invetarisasi). Selain itu, ketika banyak karyawan mengambil cuti dalam waktu yang sama, perusahaan juga diperbolehkan untuk tidak menyetujui permohonan cuti.
Editor: Arti Ekawati