1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cara Jerman Hadapi Serangan Cyber di Pemilu Dini 2025

11 Desember 2024

Jelang pemilu Februari 2025, Jerman khawatir aktor antidemokrasi memanipulasi opini publik. Seperti di Rumania, yang berujung pemilu ulang.

https://p.dw.com/p/4o09G
Kode biner ditampilkan di ponsel pintar dan layar komputer di Chania, Yunani, pada 9 Agustus 2024.
Pengaruh digital, manipulasi, serangan siber. Semua ini dapat membahayakan pemilu demokratis.Foto: Nikolas Kokovlis/NurPhoto/IMAGO

Jerman bersiap menghadapi ancaman digital menjelang pemilu federal dini pada awal tahun depan. Pemilu akan berlangsung pada 23 Februari 2025.

Menurut pihak berwenang dan peneliti, berbagai aktor mungkin mencoba memengaruhi opini publik lewat serangan dunia maya dan kampanye disinformasi menjelang pemilu. Tujuannya kemungkinan besar untuk meningkatkan perpecahan di dalam masyarakat.

Kantor Federal untuk Perlindungan Konstitusi BfV memperingatkan adanya kemungkinan upaya negara asing untuk ikut memberuikan pengaruh.

"Tentu saja ada kekuatan dari dalam dan luar yang berkepentingan menyerang proses pemilu dan mengganggu tatanan demokrasi," ujar Presiden Kantor Federal untuk Keamanan Informasi BSI, Claudia Plattner.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Pemilu ini tidak hanya berlangsung tidak terduga, tetapi juga ada tantangan pengadaan logistik bagi pihak berwenang. Semua ini terjadi seiring meningkatnya ketegangan politik.

"Ada berbagai masalah, mulai dari situasi ekonomi hingga situasi geopolitik, yang memecah belah masyarakat," Josef Lentsch, CEO konferensi Political Tech Summit, yang berlangsung di Berlin pada akhir Januari, mengatakan kepada DW.

Dia menambahkan: "Kaum populis dan ekstremis sangat pandai menggunakan perpecahan sosial untuk meningkatkan polarisasi ini."

Serangan siber terhadap kredibilitas politisi

Menurut para ahli, ancaman signifikan datang dari serangan dunia maya yang menargetkan orang atau organisasi terkemuka. Setelah dicuri, data sensitif kemudian dapat dirilis dalam operasi hack-and-leak yang terkoordinasi. Data sensitif ini berpotensi diubah atau dikutip di luar konteks untuk melemahkan kredibilitas kandidat atau partai.

"Dengan latar belakang perang agresi Rusia terhadap Ukraina, Rusia mungkin memiliki kepentingan terbesar dan paling jelas dalam mempengaruhi pemilu," BfV memperingatkan dalam analisisnya pada akhir November.

Pada saat yang sama, pemain domestik Jerman juga menimbulkan risiko, demikian peringatan pakar teknologi Lentsch. "Ruang publik telah berubah," katanya.

"Aktor antidemokrasi menggunakan channel mereka sendiri di aplikasi pesan seperti WhatsApp atau Telegram atau di platform seperti TikTok untuk menerabas fungsi filter media klasik atau aktor terpercaya lainnya." 

Pelajaran dari pemilu Rumania

Contoh yang terjadi di Rumania menunjukkan seberapa besar pengaruh digital terhadap pemilu dari luar negeri. Pada Jumat (06/12), pengadilan tertinggi negara itu menyatakan putaran pertama pemilihan presiden tidak sah.

Hakim mengatakan pemilu tersebut telah menjadi target dari "serangan hibrida agresif oleh Rusia." Kampanye pemilu nasionalis radikal sayap kanan Călin Georgescumassiv dipromosikan dengan bantuan akun terkoordinasi, algoritme rekomendasi, dan iklan berbayar.

Kemenangan Georgescu mengejutkan dan kini telah dibatalkan. Sebagai seorang pengagum Presiden Rusia Vladimir Putin, kemenangannya di pemilu Rumania menunjukkan kekuatan politik infrastruktur digital, kata Lentsch.

“Rumania adalah negara UE. Apa yang terjadi di sana juga dapat terjadi di tempat lain, termasuk di Jerman," Lentsch memperingatkan.

Era propaganda AI

Tidak ada partai besar di Jerman yang membangun infrastruktur digital sedemikian rupa untuk menyebarkan pesan-pesannya seperti Partai AfD, kata Katja Muñoz, peneliti di Pusat Geopolitik, Geoekonomi, dan Teknologi di Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman.

Di jaringan ini, banyak akun media sosial saling berinteraksi untuk mendorong algoritme platform meningkatkan jangkauan postingan, kata Muñoz kepada DW.

"Ini adalah langkah yang diatur untuk mendorong narasi tertentu."Pada saat yang sama, program kecerdasan buatan (AI) generatif ini memungkinkan partai dan individu untuk membuat postingan, mulai dari teks, gambar, hingga video, jauh lebih cepat dibandingkan sebelumnya," ujar Muñoz.

"Aktor-aktor dari berbagai spektrum politik sudah mulai menggunakan teknologi ini, misalnya untuk membuat ilustrasi untuk postingan media sosial. Namun "partai di Jerman yang paling banyak menyebarkan konten buatan AI adalah AfD," kata Muñoz, mengacu pada analisis yang dia lakukan sehubungan dengan pemilu Eropa dan beberapa pemilu negara bagian Jerman pada tahun 2024. 

"Kontennya sendiri belum tentu salah, namun menyesatkan dan dimaksudkan untuk menegaskan keyakinan yang ada. Ini adalah propaganda AI," katanya.

Sebagai contoh, dia mengutip video berdurasi 78 detik yang dibuat oleh AI yang diterbitkan AfD pada bulan September hanya beberapa hari sebelum pemilihan negara bagian.

Klip tersebut menunjukkan skenario di mana penggambaran orang-orang yang sebagian besar berambut pirang dan bermata biru dikontraskan dengan orang-orang kulit berwarna, yang ditampilkan dalam konteks negatif.

Bagaimana cara Jerman lindungi pemilu demokratis?

Untuk melindungi integritas pemilu, tindakan harus diambil di berbagai tingkat, kata para ahli.

Kantor Federal untuk Perlindungan Konstitusi telah membentuk satuan tugas untuk memantau situasi ancaman terhadap serangan dunia maya. Kantor Federal untuk Keamanan Informasi juga menawarkan seminar online untuk kandidat dan partai. Salah satu pelatihan yang akan dibagikan adalah bagaimana para kandidat melindungi perangkat dan akun online mereka dari serangan siber.

Tinggal dua setengah bulan lagi menuju pemilu Jerman. Peneliti Muñoz menambahkan bahwa pihak berwenang juga harus melakukan lebih banyak penjangkauan publik untuk meningkatkan kesadaran terhadap disinformasi dan propaganda yang dihasilkan oleh AI.

"Mereka harus menjelaskan kepada masyarakat bagaimana opini publik dimanipulasi dan bagaimana hal ini menjadikan isu-isu pinggiran menjadi pusat perdebatan."

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman.